Kenapa orang naik Moge cenderung arogan?
"Mereka ini berasal dari kalangan menengah ke atas yang biasanya berada di posisi penting, dan memiliki lobi yang kuat."
Pecinta motor gede atau moge, selama seminggu terakhir ini menjadi sorotan setelah konvoi mereka dianggap arogan dengan menerobos lampu lalu lintas di Yogyakarta. Aksi yang dianggap tidak simpatik tersebut mendapat perlawanan dari pesepeda bernama Elanto Wijoyono, yang kemudian menghadang rombongan tersebut di perempatan Ring Road Condongcatur, Sleman, Yogyakarta, Sabtu (15/8) sore.
Menyikapi kejadian tersebut, Ketua Harley Davidson Club Indonesia (HDCI) periode 2011-2016, yang juga mantan Wakil Kepala Polri Komjen Pol (Purn) Nanan Sukarna mengaku akan menindak tegas anggotanya yang terbukti melanggar peraturan.
"Kalau ada oknum kita tindak tegas, karena merusak organisasi. Seorang oknum harus mempertanggungjawabkan. Saya komit selalu, kalau tak ada suratnya silakan ditilang," kata Nanan di SCBD, Jakarta, Minggu (16/8).
Terkait ulah anggota moge yang kerap arogan di jalan raya, Ketua IMBI Pusat Jenderal Polisi (Purn) Roesmanhadi meminta maaf kepada Gubernur Bali Made Mangku Pastika yang kesal dengan aksi ugal-ugalan moge di Bali.
"Kami selaku Ketua Panitia Munas dan Jambore IMBI 2011 dengan ini memohon maaf yang sebesar-besarnya atas kejadian dan insiden serta arogansi peserta Ngurah Rai Tour 2011 yang berjumlah lebih dari 200 pengendara motor besar," tulis Roesmanhadi seperti disampaikan Ketua Panitia Munas dan Jambore IMBI Bali Ngurah Rai Tour 2011 Anak Agung Putu Ngurah Bagiarta, Senin (25/4/2011).
Sosiolog Musni Umar mengatakan, aksi arogan para pengendara moge didasarkan pada latar belakang mereka yang merupakan orang penting di beberapa posisi penting. Selain itu, dengan latar belakang ini mereka memiliki lobi kuat terhadap penegak hukum.
"Dalam berkonvoi, mereka ini kerap memonopoli jalan, banyak kasus tidak memperhatikan lalu lintas. Mereka ini berasal dari kalangan menengah ke atas yang biasanya berada di posisi penting, dan memiliki lobi yang kuat," kata Musni saat dihubungi merdeka.com.
Penggunaan Pasal 134 huruf G UU RI No 22 Tahun 2009 tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan yang menyebutkan kendaraan yang mendapatkan hak utama, Musni menyebut jika pasal tersebut merupakan pasal karet. Menurutnya, pasal itu bisa ditafsirkan macam-macam.
"Pasal itu pasal karet. Bisa ditafsirkan macam-macam, ada keperluan, dikawal tidak melihat urgensinya mereka kalangan menengah atas. Seharusnya mereka memberi contoh, mereka taat aturan," jelasnya.
Belajar dari kasus di Yogyakarta, Musni menambahkan, masyarakat merasa tidak ada kesamaan dalam hukum. Pemberian hak istimewa kepada pengendara moge telah melukai perasaan masyarakt kelas menengah bawah.
"Hal lain yang penting diperhatikan, kalau mereka mau melakukan bakti sosial, saya kira mereka sasarkan pada masyarakt bawah, tidak perlu di luar kota. Mereka bisa saja diekspos, menarik simpati, ketimbang bergerombol, mereka seolah manusia istimewa," ujar Musni.