Kesederhanaan 5 menteri Indonesia ini bikin terharu (2)
Gaya 'opo anane' mereka patut ditiru karena selalu menolak kemewahan saat menjabat posisi penting di pemerintahan.
Kalau saja menteri-menteri Indonesia saat ini punya kelakuan yang sama dengan para menteri zaman dulu, pastinya publik bangga. Bukannya ribut soal mobil dinas menteri yang mewah, seharusnya para menteri saat ini tetap memegang prinsip hidup sederhana.
Belakangan memang pemerintahan Indonesia sedang dilanda polemik pemakaian mobil dinas menteri setelah Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla (JK) akan duduk di pemerintahan baru menggantikan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Singkat cerita, beberapa waktu lalu pemerintah sudah memutuskan untuk membatalkan pengadaan mobil dinas bagi menteri dan pejabat setingkat menteri serta mantan presiden dan wakilnya. Akhirnya kontrak dengan perusahaan pemenang tender pengadaan mobil dinas untuk menteri dan non-menteri, PT Mercedes Benz, otomatis dibatalkan.
Pemerintah era SBY mengatakan akan menyerahkan sepenuhnya kebijakan mobil dinas menteri itu pada pemerintahan Jokowi mendatang. Apalagi pihak pemerintah saat ini baru melakukan proses lelang belum teken kontrak.
Tapi lupakan dulu soal fenomena mobil dinas menteri itu. Seharusnya para menteri Indonesia saat ini perlu mengingat kisah keteladanan menteri zaman dahulu. Gaya 'opo anane' mereka patut ditiru dan diacungi jempol karena tak jarang selalu menolak kemewahan saat menjabat posisi penting di pemerintahan.
Berikut beberapa kisah keteladanan menteri-menteri Indonesia zaman dulu seperti dirangkum merdeka.com, Rabu (17/9):
-
Kapan Dewan Banteng resmi dibentuk? Sebanyak 612 anggota aktif dan pensiunan menyetujui pembentukan Dewan Banteng ini yang dipimpin oleh Letkol Ahmad Husein. Dewan Banteng resmi terbentuk pada tanggal 25 November 1956.
-
Apa yang di ekspor oleh Kementan? Wakil Presiden RI, KH Maruf Amin melepas ekspor komoditas pertanian ke 176 negara dengan nilai transaksi sebesar 12,45 triliun.
-
Bagaimana Doni Ahmad Ramadhani memulai bisnis "Kerajaan Mobil"? Usai lulus SMA, Doni tidak melanjutkan pendidikan karena terkendala biaya. Ia bekerja sebagai pemetik apel di Malang hingga akhirnya bisa membeli sebuah mobil bekas dengan harga Rp25 juta.Jalan itu pula yang membuat Doni meraih kesuksesan.
-
Dimana pusat pemerintahan Kerajaan Singasari? Pusat pemerintahan Singasari saat itu berada di Tumapel.
-
Apa yang dikampanyekan Kementerian Perhubungan? Kemenhub kampanyekan keselamatan pelayaran kepada masyarakat. Indonesia selain negara maritim, juga merupakan salah satu negara di dunia yang memiliki lalu lintas pelayaran yang sangat padat dan ramai dan keselamatan pelayaran menjadi isu penting.
-
Apa makna dari kata "mobil" ? Kata "mobil" memiliki dua arti, yakni kendaraan dan kemampuan untuk bergerak dengan mudah.
Lopa, menteri yang beli kado Rp 7.500 di mal untuk cucu
Baharuddin Lopa adalah legenda tentang aparat negara yang jujur, sederhana serta tegas. Baharuddin Lopa menjadi teladan tentang pentingnya kejujuran dalam menjalani tugas-tugas keseharian sebagai abdi negara.
Banyak cerita kesederhanaan mantan jaksa agung dan menkumham itu. Salah satunya tentang rumahnya yang sangat sederhana di kawasan Pondok Bambu, Jakarta Timur. Begitu pula mobil Toyota Kijangnya yang juga sangat sederhana untuk ukuran seorang pejabat setingkat menteri.
Di luar itu, ada sebuah cerita menggetarkan tentang kesederhanaan Baharuddin Lopa seperti ditulis dalam buku Apa dan Siapa Baharuddin Lopa, karya Hendro Dewanto dkk. Peristiwa ini terjadi saat Lopa menjabat sebagai menkumham pada kurun Februari sampai Juni 2001.
Suatu ketika, Lopa pulang dari kantor di Depkumham di Jl Rasuna Said, Kuningan menuju rumahnya di Pondok Bambu. Kepada ajudannya, Enang Supriyadi Samsi, Lopa meminta mampir dulu ke Bekasi untuk menjenguk cucunya, anak dari putrinya Aisyah. Sopir pun mengarahkan mobil menuju rumah Aisyah di Bekasi.
Di tengah perjalanan, Lopa singgah lebih dulu di sebuah mal, membeli sesuatu untuk cucunya. Menurut Enang S Samsi, saat itu pengunjung mal menatap Lopa dengan penuh hormat. Lopa lantas membeli sebuah mainan anak-anak yang terbuat dari plastik.
Menurut Enang S Samsi, mainan itu susah disebut namanya. Dia hanya mengingat, bentuknya sederhana hanya tangkai plastik, di atasnya berbentuk lingkaran yang apabila diputar mengeluarkan bunyi-bunyian. Harganya murah hanya Rp 7.500.
Kasir pun terheran-heran saat Lopa membayar mainan itu. Pikir kasir itu, hanya menteri Lopa yang membeli mainan untuk cucunya semurah itu.
Enang pun mengaku merenung sepanjang perjalanan menuju rumah Aisyah. Jika dirinya menteri, masih sempatkah singgah di mal untuk membelikan mainan buat cucunya.
Itulah perhatian Lopa untuk cucunya. Bukan harga mainan yang penting tetapi ketulusan kakek yang dalam kelelahan setelah bekerja sempat memberikan sisa tenaga untuk cucunya. Sungguh sebuah teladan yang luar biasa dari Baharuddin Lopa.
Siauw Giok Tjhan, menteri Soekarno yang jago kungfu & sederhana
"Lahir di Indonesia, besar di Indonesia, menjadi Putra-Putri Indonesia."
Semboyan yang dikumandangkan Kwee Hing Tjiat, seorang penulis ini menjadi keyakinan hidup Siauw Giok Tjhan. Melalui kata-kata itu, membuatnya yakin, dia tidak jauh berbeda dengan anak-anak pribumi lainnya.
Semboyan itu pula yang membuat Giok Tjhan ikut berjuang untuk Indonesia.
Giok Tjhan sangat menentang diskriminasi. Berbekal keahlian kungfu dari kakeknya, dia nekat berkelahi dengan anak-anak Belanda, Indo dan Ambon karena sering menghinanya. Keteguhan itulah membuatnya terus memperjuangkan keadilan ketika tumbuh di dalam lingkungan hidup yang keras.
Giok Tjhan berpendapat, bangsa Indonesia atau ras Indonesia tidak ada. Baginya, yang ada hanyalah 'Nation' Indonesia. Tjhan berpendapat, sejak tahun 50-an, golongan Tionghoa yang sudah bergenerasi di Indonesia, harus memperoleh status suku. Dengan demikian suku Tionghoa adalah bagian dari 'Nation' Indonesia.
Dari prinsip itu, Tjhan berkeyakinan bahwa setiap suku dapat mempertahankan nama, bahasa dan kebudayaannya. Di saat bersamaan, atas nama negara, siapapun, termasuk Tionghoa, dapat berperan serta membangun Indonesia.
Tak heran jika banyak yang menganggap Tjhan menganut konsep Integrasi, yakni setiap warga negara dapat menjadi bagian dari bangsa tersebut tanpa menghilangkan identitasnya. Konsep integrasi ini dinilai sangat identik dengan teori 'pluralisme' atau 'multikulturalisme'.
Meski berasal dari bangsa Tionghoa, Tjhan dikenal hidup sederhana. Kondisi ini nampak jelas saat dia menjabat sebagai Menteri Negara Urusan Minoritas di masa kabinet Amir Syarifudin.
Sebagai negara yang belum lama merdeka dan masih mendapat rongrongan balatentara Belanda, Tjhan belum mendapatkan mobil dinas sebagai mana layaknya pejabat negara. Untuk menjalani tugasnya, dia selalu naik andong (kereta kuda) setiap menuju Istana.
Sayang, andong yang digunakannya dilarang masuk ke dalam Istana. Dia pun terpaksa berjalan kaki dari jalanan ke dalam Keraton Yogyakarta.
Tak cuma mobil dinas, dia pun tidak mendapatkan rumah dinas sebagai tempat tinggalnya selama menjabat. Pemerintah pun mempersilakan para menterinya untuk tinggal di Hotel Merdeka. Demi menghemat keuangan negara, Tjhan menolaknya.
Kepada Amir, Tjhan memilih tinggal di gedung kementerian negara di Jalan Jetis, Yogyakarta. Meski pilihannya itu membuat dia tidur di atas meja tulis.
Setiap menjalani kerjaannya, sehari-hari Tjhan hanya mengenakan kemeja lengan pendek, biasanya berwarna putih, di sambungkan dengan celana drill pentalun serta sepatu sandal.
Djuanda Kartawidjaja, perdana menteri sederhana yang tepat waktu
Juanda Kartawijaya merupakan Perdana Menteri Indonesia ke-10 sekaligus yang terakhir. Dia lahir di Tasikmalaya, Jawa Barat, 14 Januari 1911 dan meninggal di Jakarta, 7 November 1963 pada umur 52 tahun.
Putri bungsu Juanda Nurwati mengaku gembira dengan pemberian penghargaan yang merupakan bentuk wujud perhatian terhadap jasa ayahnya.
"Sebagai salah satu putri sangat bahagia, senang karena sampai saat ini menghargai apa yang telah dilakukan ayah saya," ungkap Nurwati saat berbincang dengan merdeka.com, Kamis (11/1).
Sebagai anak bungsu, dia melihat sosok Juanda sebagai orang yang amat disiplin dan tertib.
"Saya melihat salah satu contoh bapak seorang disiplin, dulu terkenal jika ada rapat seperempat jam belum mulai beliau sudah hadir. Sehingga semua berjalan lancar. Bapak orangnya tertib sampai buku dan obat-obatan dikasih tanggal, orang lain menilai seperti itu," terangnya.
Sumbangan terbesar Juanda dalam masa jabatannya adalah Deklarasi Djuanda tahun 1957. Deklarasi itu menyatakan laut Indonesia adalah termasuk laut sekitar, di antara dan di dalam kepulauan Indonesia menjadi satu kesatuan wilayah NKRI atau dikenal dengan sebutan sebagai negara kepulauan dalam konvensi hukum laut United Nations Convention on Law of the Sea (UNCLOS).
Artinya laut di sekitar pulau Indonesia merupakan kedaulatan republik Indonesia, bukan sebuah perairan bebas.
Sepanjang karirnya, Juanda menjabat 14 kali sebagai menteri. Tapi dia tetap sederhana dan selalu memberikan yang terbaik untuk bangsa dan negaranya.
Nama Juanda juga diabadikan sebagai nama lapangan terbang di Surabaya, Jawa Timur yaitu Bandara Djuanda atas jasanya dalam memperjuangkan pembangunan lapangan terbang tersebut. Selain itu juga diabadikan untuk nama hutan raya di Bandung yaitu Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda, dalam taman ini terdapat Museum dan Monumen Ir. H. Djuanda.
Sutami, menteri sederhana yang kurang gizi
Siapa orang di balik pembangunan Jembatan Musi di Palembang? Atau Jembatan Semanggi yang menjadi ikon Jakarta? Atau orang yang menghitung kontruksi Gedung DPR? Dialah Sutami, lulusan Teknik Sipil ITB tahun 1956. Sutami lahir Surakarta, Jawa Tengah, 19 Oktober 1928.
Usia 36 tahun, Sutami sudah menjadi menteri pekerjaan umum. Dia menjadi Menteri Pekerjaan Umum sejak tahun 1964 pada Kabinet Dwikora I pada masa pemerintahan Presiden Soekarno hingga tahun 1978 pada Kabinet Pembangunan II pada masa pemerintahan Presiden Soeharto. Mungkin Sutami adalah menteri pekerjaan umum paling lama di Indonesia. Karena prestasinya, Sutami menjadi kesayangan Soekarno sekaligus Soeharto.
Semua orang yang bekerja dengannya, selalu menangkap kesan pendiam dan sederhana. Menteri ini sama sekali tidak pernah bermewah-mewahan. Bahkan rumahnya di Jl Imam Bonjol, Jakarta Pusat dibeli dengan cara mencicil. Baru saat akan pensiun, rumah itu lunas.
Sutami tak pernah mau memanfaatkan fasilitas negara secara berlebihan. Saat lengser tahun 1978, dia mengembalikan semua fasilitas negara. Kemudian seorang pengusaha berniat memberinya mobil. Pengusaha itu tahu mobil dinas Sutami ikut dikembalikan. Tapi dengan halus Sutami menolak. Dia hanya meminta diberi sedikit diskon saja dari pengusaha itu.
Sutami tidak pernah banyak berbicara. Tidak berbusa-busa bicara politik dan mengumbar janji belaka seperti pejabat sekarang. Sebagai insinyur sipil lulusan Institut Teknologi Bandung, dia sangat menyukai pekerjaan lapangan.
Maka Sutami dikenal sebagai 'menteri yang tak punya udel'. Apa maksudnya? Ternyata julukan ini diberikan para wartawan yang selalu diajak meninjau ke daerah-daerah terpencil. Sutami kuat jalan kaki puluhan kilometer selama berjam-jam. Kalau ada ojek, dia naik ojek. Kalau tidak ada, maka dia akan jalan kaki untuk langsung bertemu masyarakat kecil.
Dia ingin melihat sendiri manfaat dari pembangunan. Atau permasalahan yang ada di daerah guna dicari penyelesaiannya. Sutami lebih suka terjun langsung daripada menerima laporan ABS alias Asal Bapak Senang.
Saat era Orde Lama, Soekarno sering mengundang Sutami sarapan di istana. Keduanya sarapan ketela yang mengepul. Di masa Orde Baru, Presiden Soeharto sangat memperhatikannya. Soeharto kerap menjenguk Sutami saat sakit. Soeharto pula yang meminta Sutami mau berobat ke luar negeri.
Hal ini menunjukkan Sutami bekerja bukan untuk golongan tertentu. Bukan untuk satu presiden atau satu rezim saja. Sutami bekerja untuk bangsa dan rakyat Indonesia.
Sutami meninggal dunia 13 November 1980 pada umur 52 tahun. Dia menderita sakit lever, diduga karena terlalu sibuk bekerja tanpa memikirkan kesehatannya sendiri.
Ki Mangunsarkoro, menteri sederhana selalu setia pakai sarung
Kesederhanaan dan kesahajaan sulit sekali ditemukan pada para pejabat sekarang. Bukannya memberi teladan ke bawahan, banyak pejabat doyan korupsi. Lebih parah lagi, segala macam pengadaan barang bisa jadi ajang korupsi.
Baru lalu ditemukan kasus korupsi sapi impor, mesin jahit, hingga sarung. Belakangan ini, muncul tersangka korupsi pengadaan Alquran dan baju dinas.
Pahlawan nasional Ki Mangunsarkoro barangkali akan prihatin melihat korupsi makin mengemuka di kalangan generasi penerusnya. Ki Mangunsarkoro adalah mantan menteri pendidikan, pengajaran, dan kebudayaan yang dikenal sangat sederhana dan bersahaja. Tidak pernah ada dalam pikirannya untuk memperkaya diri. Dia hanya berpikir bagaimana memajukan bangsa dan negara.
Ki Mangunsarkoro nama lengkapnya adalah Ki Sarmidi Mangunsarkoro. Dia lahir 23 Mei 1904 di Solo. Dibesarkan di lingkungan keraton, dia memilih karir sebagai guru. Ki Mangunsarkoro pernah menjabat sebagai kepala sekolah HIS Budi Utomo Jakarta. Atas permintaan penduduk Kemayoran dan restu Ki Hadjar Dewantoro, dia mendirikan Perguruan Tamansiswa di Jakarta. Perjuangannya di bidang pendidikan berpuncak sebagai menteri pendidikan, pengajaran, dan kebudayaan pada kabinet Hatta II.
Sewaktu menjabat menteri, dia ikut menjadi pelopor lahirnya universitas tertua di Indonesia, Universitas Gadjah Mada. Dia juga pendiri Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta, sekarang Institut Seni Indonesia (ISI). Orang kepercayaan Ki Hajar Dewantoro ini adalah salah satu peletak dasar sistem pendidikan nasional di Indonesia.
Ki Mangunsarkoro juga aktif di politik. Dia tokoh yang tak mau kompromi (non-kooperasi) dengan Belanda. Dia pernah terpilih sebagai Ketua Partai Nasional Indonesia (PNI). Penjara juga bukan tempat asing bagi pejuang seperti Ki Mangunsarkoro. Pada saat agresi Belanda II di Yogyakarta, Ki Mangunsarkoro pernah ditahan di penjara Wirogunan.
Untuk menghormati jasanya, pada November 2011, dia ditetapkan sebagai pahlawan nasional bersama Buya Hamka, IJ Kasimo, Pakubuwono X, I Ketut Pudja, Idham Chalid, dan Sjafroeddin Prawiranegara. Sebuah jalan di kawasan Menteng, Jakarta diberi nama Jl Ki Mangunsarkoro.
Selain sumbangan gagasan dan pemikiran bagi kemajuan bangsa dan negara, Ki Mangunsarkoro dikenal sebagai pribadi yang sederhana. Bersama Mohammad Syafei (INS Kautaman, mantan menteri pendidikan), Mohammad Isha Anshary (ulama Masyumi), dan Buya Hamka, dia dikenal sebagai sosok yang setia dengan sarung dan peci.
Busana bagi dia tidak perlu bermewah-mewah. Busana yang penting bisa menguatkan identitas. Meskipun menjadi menteri, kemanapun dia pergi, ke istana maupun gedung parlemen, tetap mengenakan sarung. Oleh karena itu, sering namanya dipelesetkan menjadi Ki Mangun Sarungan. Lebih bersahaja lagi, sewaktu menjabat menteri, dia tidak pernah mau tinggal di rumah dinas menteri!
Kalau dibandingkan dengan pejabat sekarang, sulit menemukan tandingan bagi kesahajaan Ki Mangunsarkoro. Jangankan memakai sarung ke setiap acara kenegaraan, sarung pun dikorupsi. Alamak!