Ketua PKI sebut Indonesia salah urus gara-gara presiden poligami
Semua tahu pada siapa sindiran Aidit itu dialamatkan kalau bukan Presiden Soekarno yang memiliki lima istri.
Pidato Aidit malam itu benar-benar tak terduga. Di depan ribuan anggota Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI), Aidit berpidato menyindir Indonesia yang salah urus. Padahal ada Presiden Soekarno hadir di sana.
"Indonesia belum mencapai kemajuan dan kemakmuran. Negara ini memang tidak akan bisa maju kalau diurus oleh pemimpin yang mempunyai empat atau malahan lima orang istri!" teriak Aidit.
Sejumlah hadirin terkesiap. Wakil Komandan Tjakrabirawa Kolonel Maulwi Saelan menggeleng-gelengkan kepala mendengar pidato Aidit.
"Kasar sekali, pernyataan Aidit itu kasar sekali," kata Saelan menceritakan pidato tanggal 28 September 1965 itu pada merdeka.com.
Semua tahu pada siapa sindiran Aidit itu dialamatkan kalau bukan Presiden Soekarno yang memiliki lima istri. Fatmawati, Hartini, Ratna Dewi, Haryati dan Yurike.
Tak ada yang berani melihat wajah Soekarno. Tapi Soekarno dengan tenang meninggalkan acara tersebut tanpa berkata apapun.
Padahal baru saja Soekarno menganugerahkan penghargaan prestisius Bintang Mahaputera pada Aidit. Soekarno pun hadir pada peringatan HUT PKI ke-45, 23 Mei 1965 di Istora Senayan. Dalam acara itu Soekarno dan Aidit berangkulan mesra.
Saat itu PKI memang menjadi pendukung utama kebijakan Soekarno. Bagi Soekarno, PKI menjadi penyeimbang bagi kekuatan politik Angkatan Darat yang dominan. Soekarno selalu berusaha menjaga keseimbangan antara Angkatan Darat dan PKI.
Selama hubungan mesra itu, tak pernah sekalipun PKI dan Gerwani menyindir Soekarno. Padahal biasanya Gerwani galak pada mereka yang berpoligami. Tapi menghadapi Soekarno, Gerwani dan PKI melempem.
Seorang pengurus Gerwani Jawa Timur, Lestari, mengenang saat itu memang tidak ada kebijakan PKI atau Gerwani untuk mengkritisi poligami Soekarno. Terkesan Gerwani melunak.
"Tidak ada-ada. Dikembalikan masing-masing saja. Hanya memang kenapa wanita mau dipoligami. Kan yang rugi wanita," kata Lestari kepada merdeka.com.
Maka periode 1960an isu-isu seperti ganyang neo kolonialisme, lawan kapitalis dan anti-imperialis menjadi lebih sering terdengar dari isu perkawinan dan poligami. Apalagi saat itu Soekarno sedang menggelorakan Trikora untuk merebut Irian Barat dan Dwikora saat konfrontasi dengan Malaysia.
Namun entah kenapa tiba-tiba Aidit berani mengkritik Soekarno soal poligami itu. Dua hari kemudian, meletuslah tragedi 30 September 1965.