KH Ahmad Dahlan berdakwah dengan rasionalitas
Dahlan gigih membangun dan membina angkatan muda agar melaksanakan upaya dakwah yang sistematis dan kolektif.
"Buat apa kita mengaji, banyak-banyak surah, tapi hanya untuk dihafal," ujar Ahmad Dahlan pada santrinya dalam cuplikan film Sang Pencerah.
Muhamad Darwis atau yang dikenal dengan KH Ahmad Dahlan, seorang santri yang pada usia 15 tahun sudah berangkat ke Makkah. Cara pembelajarannya bukanlah dengan khutbah massal. Dia belajar santri di langgar, metode diskusi bukan sekadar menghapal surah dengan santri yang awalnya hanya segelintir orang.
Dahlan pun dicibir karena meluruskan arah kiblat yang dianggap salah. Bahkan, untuk meluruskan arah kiblat tersebut, Dahlan memberikan argumen dengan menggunakan kompas dan peta di hadapan para kiai.
Dalam laman Muhammadiyah.or.id, disebutkan untuk membangun upaya dakwah, Dahlan gigih membina angkatan muda untuk bersama-sama melaksanakan upaya dakwah yang sistematis dan kolektif.
Strategi yang dipilihnya untuk mempercepat dan memperluas gagasannya tentang gerakan dakwah Muhammadiyah ialah dengan mendidik para calon pamongpraja (calon pejabat) yang belajar di OSVIA Magelang dan para calon guru yang belajar di Kweekschool Jetis Yogyakarta. Karena ia sendiri diizinkan oleh pemerintah kolonial untuk mengajarkan agama Islam di kedua sekolah tersebut.
Dengan mendidik para calon pamongpraja diharapkan segera memperluas gagasan pembaharuannya. Karena mereka akan menjadi orang yang mempunyai pengaruh luas di tengah masyarakat.
Dia juga mendidik para calon guru untuk mempercepat proses transformasi ide tentang gerakan dakwahnya, karena mereka mempunyai murid yang banyak. Oleh karena itu, Dahlan juga mendirikan sekolah guru yang kemudian dikenal dengan Madrasah Mu'allimin (Kweekschool Muhammadiyah) dan Madrasah Mu'allimat (Kweekschool Putri Muhammadiyah).
Gagasan pembaharuan disebarluaskan oleh Ahmad Dahlan dengan mengadakan tabligh ke berbagai kota. Di dalam kota Yogyakarta, Ahmad Dahlan menganjurkan pada jemaah dan perkumpulan untuk mengadakan pengajian dan menjalankan kepentingan Islam.
Oktober 1922, Ahmad Dahlan memimpin delegasi Muhammadiyah dalam kongres Al-Islam di Cirebon. Kongres ini diselenggarakan oleh Sarikat Islam (SI) guna mencari aksi baru untuk konsolidasi persatuan ummat Islam. Dalam kongres tersebut, Muhammadiyah dan Al-Irsyad, dikabarkan terlibat perdebatan yang tajam dengan kaum Islam ortodoks dari Surabaya dan Kudus. Muhammadiyah dipersalahkan menyerang aliran yang telah mapan dan dianggap membangun mazhab baru di luar mazhab empat yang telah ada.
Menanggapi hal tersebut, Ahmad Dahlan menjawabnya dengan argumentasi. "Muhammadiyah berusaha bercita-cita mengangkat agama Islam dari keadaan terbelakang. Banyak penganut Islam yang menjunjung tinggi tafsir para ulama dari pada Quran dan Hadis. Umat Islam harus kembali kepada Quran dan Hadis. Harus mempelajari langsung dari sumbernya, dan tidak hanya melalui kitab-kitab tafsir," katanya kala itu.