Kisah Akil kritik hakim terlibat asusila, narkotika, dan korupsi
Pesan Akil kepada penegak hukum: marilah secara sungguh-sungguh kita memberi contoh baik juga.
Citra Indonesia di mata luar negeri sudah rusak. Hakim tertinggi yaitu Ketua Mahkamah Konstitusi ternyata bisa dibeli. Kasus yang menimpa Akil Moctar sangat ironis dibandingkan dengan niatnya suatu ketika untuk membuat sistem yudikatif yang kokoh. Niat itu pernah disampaikannya saat wawancara khusus dengan merdeka.com, April lalu.
Menurut Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar, jalan keluar harus dilakukan oleh lembaga yudikatif adalah membuat sistem, mulai rekrutmen terbuka dan transparan untuk menghindari penyalahgunaan wewenang.
"Sampai sekarang, kewenangan KY (Komisi Yudisial) menerapkan sanksi masih cakar-cakaran dengan MA (Mahkamah Agung) karena sistemnya tidak ada, tidak dibangun dengan baik. Jadinya melawan semua," katanya saat wawancara khusus dengan Alwan Ridha Ramdani, Islahuddin, Arbi Sumandoyo, Ahmad Baiquni, dan juru foto Imam Buhori dari merdeka.com di ruang kerjanya, Selasa (9/4).
Akil menyampaikan sikapnya soal ketidakpercayaan publik yang sangat tinggi terhadap para penegak hukum. Ini jawabannya.
"Semua penegak hukum harus menyikapi hasil survei ketidakpuasan masyarakat dengan kerja keras, kita kerja baik. Jangan lagi hukum hanya jadi komoditas pelayanan saja, marilah secara sungguh-sungguh kita memberi contoh baik juga. Kalau sudah sampai tahap masyarakat tidak lagi percaya hukum, negara itu tidak ada. Makanya yang berlaku hukum rimba, seenaknya kita saja. Disharmonisasi aturan-aturan hukum dibuat pada masa sekarang kualitasnya rendah memberi implikasi juga, ditambah lagi perilaku penegak hukum, termasuk hakim, banyak terlibat masalah. Mulai asusila, narkotika, sampai terlibat korupsi. Harus ada revitalisasi hukum kita. Kalau kita tidak peduli kondisi seperti itu, kita tunggu waktu.
Bagaimana Akil melihat wibawa hakim saat ini? "Terlalu banyak hakim kita, hakim itu nama generiknya. Kalau dikualifikasi macem-macem lagi, ada hakim agung, hakim Tipikor, perindustrian. Terlalu banyak hakim ribet juga. Hakim itu harusnya satu saja. Itulah bagaimana kita menciptakan sistem itu keliru. Belum lagi akan ada hakim hak asasi, pemilihan kepala daerah, pajak, Asal ada masalah itu bikin."
Akil juga tidak mempermasalahkan jika DPR masih memilih hakim konstitusi.
"Sebenarnya orang dipilih di mana pun tidak ada masalah. Kenapa orang mempermasalahkan orang dipilih DPR? Karena ada politisasi, padahal tidak semua dipolitisasi. Stigma anggota DPR perilakunya buruk, jadi apapun dihasilkan DPR stigmanya buruk. Adakah jaminan dipilih KY atau MA, lalu yang dipilih DPR tidak bisa dipercaya? Hakim dipilih DPR cuma hakim agung, tidak lebih dari 50 orang. Di bawah itu dipilih lembaga itu sendiri. Jadi hakim negeri, daftar jadi calon hakim, lulus pendidikan, direkrut bersama-sama KY. Hanya hakim agung dan tiga hakim konstitusi dipilih DPR karena pejabat negara," papar Akil. Sayang, niat Akil memperbaiki sistem, kini rusak akibat ulahnya.