Kisah pengikut Gafatar asal Sulsel, dilepas warga dengan tangis
Yang membuat mereka disenangi warga setempat adalah karena hasil pertanian yang diperoleh dibagikan ke warga sekitar.
Tidak sedikit selentingan negatif yang muncul tentang pengikut Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) jika dikaitkan dengan ideologi. Misalnya bagi penganut Agama Islam berdasarkan pengakuan mantan pengikut Gafatar yang keburu keluar karena merasa disesatkan, mereka pernah diminta buka hijab atau jilbab. Bahkan ada yang sudah tidak meyakini salat, puasa dan Haji.
Situasi lain akan berbeda jika bicara seputar eksistensi warga mantan pengikut Gafatar ini di tanah rantauannya misalnya di daerah Kalimantan Timur. Justru cerita positif yang ditemui.
Dengan warga setempat, mereka justru berbaur dengan damai, tidak saling mengganggu. Oleh warga Sulsel mantan pengikut Gafatar merasa disenangi oleh warga setempat seperti di Kecamatan Samboja. Buktinya kepulangan mereka diiringi tangis warga setempat. Sementara mereka juga tentu tidak bisa ngotot tetap berdiam di tanah rantauannya karena organisasi yang menaunginya telah dinyatakan terlarang oleh pemerintah.
"Warga Samboja yang melepas kepulangan kami dengan menangis karena memang selama ini hubungan kami dengan warga di sana terjalin baik," tutur Jalil, (28) yang mengaku sebagai koordinator lapangan rombongan warga Sulsel yang berangkat ke Kalimantan Timur sejak empat bulan lalu.
Jalil mengaku adalah alumnus Fakultas Teknik dari jurusan Teknis Sipil Universitas Hasanuddin (Unhas). Dia adalah salah satu dari 232 warga Sulsel mantan pengikut Gafatar yang dipulangkan oleh pemerintah dan tiba dengan selamat di Makassar setelah KM Bukit Siguntang yang mereka tumpangi sandar di pelabuhan Soekarno Hatta, Makassar, Rabu, (27/1) pukul 19.30 Wita tadi.
Sebelum dipulangkan, mereka sesama warga Sulsel ini disatukan di Desa Karya Jaya, Kecamatan Samboja, kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar), Kalimantan Timur. Lalu diantar ke Pelabuhan Semayang, Balikpapan untuk selanjutnya dilayarkan ke Makassar. Daerah asal warga yang dikoordinir Jalil ini dari Makassar, Maros, Sinjai, Bantaeng, Takalar, Enrekang, Gowa dan Luwu Utara serta Pinrang.
Menurut Jalil, salah satu hal yang membuat mereka disenangi warga setempat adalah karena selama mereka bertani, hasil-hasil pertanian yang diperoleh disisihkan ke warga sekitar setelah untuk konsumsi sendiri bersama keluarga dirasa cukup. Hasil pertanian yang mereka peroleh dari hasil garapan itu seperti singkong dan jagung.
"Jika kami kelebihan produksi setelah untuk kita makan sendiri sudah cukup, sebagiannya kita bagikan ke warga sekitar. Kita tidak menjual hasil panen pertanian karena target sesuai program kami adalah nanti di bulan ke tujuh baru bisa dijual. Sementara baru bulan ke empat kita berdiam di sana, kita sudah harus dipulangkan," jelas Jalil seraya menambahkan, lahan garapan itu selain dibeli sendiri oleh warga Sulsel yang datang ini, ada juga yang status pinjam di warga setempat.
Adapun nasib yang mengharuskan mereka kembali ke daerah asal masing-masing, kata Jalil itu sebagai bukti bahwa mereka kooperatif dan mau diatur oleh negara.
"Saat pemukiman warga Gafatar di Kecamatan Mempawah, Kalimantan Barat dibakar, kita bertemu dengan unsur Pemprov Kaltim. Dan kita ditanya soal itu, yah kami jawab kami siap dipulangkan yang penting suasana kondusif," tutur Jalil.
Adapun soal pro kontra terkait ibadah salat, Jalil mengaku, tidak ada itu warga pengikut Gafatar yang tidak lagi jalankan ibadah salat karena bergabung di Gafatar. "Kami tetap salat," ujarnya.