Koalisi Masyarakat Sipil Kecam Pemberian Pangkat Jenderal Kehormatan Prabowo
Koalisi Masyarakat Sipil menilai Pemberian gelar jenderal kehormatan kepada Prabowo Subianto merupakan langkah keliru
Koalisi Masyarakat Sipil menolak kenaikan pangkat kehormatan Jenderal TNI kepada
- Peringatan Keras Prabowo ke Para Calon Menteri saat Pembekalan, ini Isinya Tak Boleh Dilanggar
- Pembekalan dengan Prabowo Rampung, Gibran Tinggalkan Hambalang Diikuti Rombongan Calon Menteri
- Momen Istimewa Jenderal Prabowo Sungkem ke Perempuan Berusia 105 Tahun yang Sangat Dihormati
- Besok, Jokowi Berikan Prabowo Kenaikan Pangkat Kehormatan Jadi Jenderal Bintang 4
Koalisi Masyarakat Sipil Kecam Pemberian Pangkat Jenderal Kehormatan Prabowo
Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri atas 20 Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) dan lembaga, mengecam dan menolak kenaikan pangkat kehormatan Jenderal TNI kepada Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto yang diberikan Presiden Joko Widodo atau Jokowi hari ini, Rabu (28/2/2024).
“Hal ini tidak hanya tidak tepat, tetapi juga melukai perasaan korban dan mengkhianati Reformasi 1998. Pemberian gelar jenderal kehormatan kepada Prabowo Subianto merupakan langkah keliru,” tulis siaran pers Koalisi Masyarakat Sipil yang diterima wartawan.
“Gelar ini tidak pantas diberikan mengingat yang bersangkutan memiliki rekam jejak buruk dalam karir militer, khususnya berkaitan dengan keterlibatannya dalam pelanggaran berat HAM masa lalu,” sambungnya.
Koalisi Masyarakat Sipil menilai, pemberian kenaikan pangkat kepada Prabowo merupakan langkah politis transaksi elektoral dari Jokowi yang menganulir keterlibatannya dalam pelanggaran berat HAM masa lalu.
“Perlu diingat bahwa berdasarkan Keputusan Dewan Kehormatan Perwira Nomor: KEP/03/VIII/1998/DKP, Prabowo Subianto telah ditetapkan bersalah dan terbukti melakukan beberapa penyimpangan dan kesalahan termasuk melakukan penculikan terhadap beberapa aktivis pro demokrasi pada tahun 1998,” jelas Koalisi Masyarakat Sipil.
Berdasarkan surat keputusan itu, Prabowo Subianto kemudian dijatuhkan hukuman berupa diberhentikan dari dinas keprajuritan. Pemberian pangkat kehormatan terhadap seseorang yang telah dipecat secara tidak hormat oleh TNI sejatinya telah mencederai nilai-nilai profesionalisme dan patriotisme dalam tubuh TNI.
Selain itu, apresiasi berupa pemberian kenaikan pangkat kehormatan ini pun justru bertentangan dengan janji Presiden Joko Widodo dalam Nawacitanya untuk menuntaskan berbagai kasus Pelanggaran berat HAM di Indonesia sejak kampanye Pemilu di tahun 2014 lalu.
“Terlebih, pada 11 Januari 2023, Presiden Joko Widodo telah memberikan pidato pengakuan dan penyesalan atas 12 kasus pelanggaran HAM berat salah satunya kasus penculikan dan penghilangan paksa yang telah ditetapkan oleh Komnas HAM sebagai pelanggaran HAM berat sejak tahun 2006,” tulis Koalisi Masyarakat Sipil
Dengan demikian, hal ini haruslah beriringan dengan konsistensi, komitmen, dan langkah nyata dari pemerintah untuk mengusut tuntas kasus ini dan mengadili para pelaku alih-alih melindungi mereka dengan tembok impunitas dan memberikan kedudukan istimewa dalam tatanan pemerintahan negara ini.
Pemberian gelar kehormatan bagi Prabowo Subianto juga dinilai sebagai bentuk pengkhianatan terhadap gerakan Reformasi 1998. Bagaimana mungkin pihak yang dulu ditumbangkan oleh Gerakan 98 justru diberikan penghargaan.
“Bahkan, Prabowo Subianto belum pernah diadili atas tuduhan kejahatan yang dia lakukan. Jadi, nama Prabowo Subianto masih masuk dalam daftar hitam terduga pelaku kejahatan kemanusiaan karena belum pernah diputihkan atau dibersihkan melalui sidang pengadilan yang terbuka melalui Pengadilan HAM ad hoc yang digelar untuk mengadili kasus penculikan dan penghilangan aktivis 1997-1998,” ungkap Koalisi Masyarakat Sipil.
Serangkaian tindakan Jokowi yang kerap memberikan apresiasi dan karpet merah bagi terduga pelaku kejahatan HAM di Indonesia, disebut telah memperkuat belenggu impunitas di Tanah Air. Hal itu kembali menunjukan, bahwa human rights vetting mechanism tidak pernah dijalankan secara serius dalam sistem politik dan pemerintahan di Indonesia.
“Padahal, memeriksa latar belakang atau rekam jejak personil yang akan menduduki jabatan-jabatan publik atau yang disebut juga vetting mechanism, merupakan elemen kunci dari reformasi sektor keamanan yang efektif, tapi tidak pernah berjalan di Indonesia sejak Indonesia bertransisi dari kepemimpinan otoriter ke demokrasi dan supremasi sipil pada 1998,” lanjutnya.
Koalisi Masyarakat Sipil juga menegaskan, pemberian gelar kehormatan terhadap Prabowo Subianto akan merusak nama baik institusi TNI lantaran bagaimana mungkin seseorang yang diberhentikan oleh TNI di masa lalu akibat bersinggungan dalam kejahatan kemanusiaan malah diberi gelar kehormatan.
Artinya, Jokowi dinilai telah memaksa TNI untuk menjilat ludah sendiri demi kepentingan politik keluarga.
Presiden tidak hanya mempolitisasi TNI, melainkan meruntuhkan marwah dan martabat institusi yang telah dibangun oleh banyak prajurit dengan darah dan air mata.
“Kami memandang sudah seyogyanya TNI tidak ditarik-tarik dan dilibatkan dalam cawe-cawe politik praktis dengan melantik seorang jenderal pelanggar HAM dengan pangkat kehormatan. Kami mengingatkan agar alat pertahanan keamanan negara seperti TNI dan Polri untuk tetap netral dan tidak berpihak dalam arah politik apapun,” beber Koalisi Masyarakat Sipil.
Pemberian gelar kehormatan kepada Prabowo Subianto pun diyakini semakin memperpanjang rantai impunitas.
“Tindakan kejahatan yang dilakukan atau melibatkan prajurit militer pun akan dianggap sebagai hal normal, karena terduga pelakunya alih-alih diproses hukum namun malah diberi gelar jenderal kehormatan,” tutup Koalisi Masyarakat Sipil.
Adapun yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil adalah Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), IMPARSIAL, Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI), Asia Justice and Rights (AJAR), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM), ELSAM, HRWG, Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI), Centra Initiative, Lokataru Foundation, Amnesty International Indonesia, Public Virtue, SETARA Institute
Migrant CARE, The Institute for Ecosoc Rights, Greenpeace Indonesia, Public Interest Lawyer Network (Pil-NET Indonesia), KontraS Surabaya, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Keadilan Banten (LBH Keadilan), Lembaga Pengembangan Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia (LPSHAM), dan Federasi Kontras.