Komite I DPD sebut Sumbar daerah rawan konflik sengketa lahan
Wakil Pimpinan Komite I Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD) RI, Hurdasmi Rami menyebut Sumatera Barat (Sumbar) termasuk daerah rawan kasus sengketa tanah secara nasional.
Wakil Pimpinan Komite I Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD) RI, Hurdasmi Rami menyebut Sumatera Barat (Sumbar) termasuk daerah rawan kasus sengketa tanah secara nasional.
"Sedikitnya sebanyak 353 konflik pertanahan terjadi di Sumbar, dan 82 perkara yang terselesaikan oleh Pemerintah. Begitu laporan data yang kami dapat," kata Hurdasni saat menggelar pertemuan dengan Wakil Gubernur Sumbar dan Pengurus Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Sumbar di Auditorium Gubernuran Sumbar, Selasa (17/10).
Salah satu tujuan dari kunjungan senator itu adalah untuk mengetahui penyebab utama terjadinya kasus sengketa tanah di Sumbar. Sebab saat ini pemerintah tengah menyiapkan finalisasi rancangan Undang-undang (UU) Agraria. Di mana untuk reformasi agraria membutuhkan legalisasi dan distribusi aset seluas 9 juta hektare. Serta 12,7 juta hektare lahan perhutanan sosial.
"Tujuan kunjungan kami ini adalah untuk menggali informasi di seluruh daerah terkait retribusi tanah dan legalisasi aset, maupun program sertifikasi tanah di Sumbar," kata senator asal Aceh yang menjadi ketua rombongan komite I itu.
"Jadi, dengan datang ke Sumbar, kami dapat tahu dengan pasti, apa betul masalahnya. Sehingga, dapat dicarikan solusi terbaik demi terwujudnya reformasi agraria," sambungnya lagi.
Wakil Gubernur Sumbar, Nasrul Abit mengatakan sampai hari ini baru 631.591 bidang tanah masyarakat Sumbar yang terdaftar pada Badan Pertanahan Nasional (BPN). Sedangkan jumlah lahan yang telah memiliki kepastian hukum mencapai 1.047.179,84 hektare.
"Hanya 58,83 persen kawasan yang bisa dipergunakan untuk kegiatan budidaya. Sedang 42,17 persen dari total wilayah Sumbar adalah kawasan hutan lindung," kata Nasrul.
Sistem kepemilikan tanah di Sumbar sangat spesifik, karena sistem tanah ulayat, lanjut Nasrul. Tanah ulayat itu sendiri juga terbagi empat. Pertama tanah ulayat Nagari, tanah ulayat suku, tanah ulayat kaum dan tanah ulayat Rajo yang dimiliki secara bersama-sama dengan proses turun-temurun dari mamak ke kemenakan.
Dalam pelaksanaan pembangunan di Sumbar sendiri, juga memanfaatkan tanah ulayat. Dengan cara melakukan pendekatan pada niniak-mamak kaum adat, alim ulama dan kerapatan adat.
"Karena pemilik tanah ini beragam status, itulah yang kadang kala memicu konflik. Tapi, jika semua kita rangkul, mulai dari niniak-mamak, cerdik pandai, alim ulama, bundo kanduang dan tokoh adat, insyaallah aman," kata Nasrul.
Ketua LKAAM Sumbar M Sayuti Dt Rajo Pangalu mengatakan, gagasan Pemerintah terkait percepatan sertifikasi tanah ini sangat baik. Namun untuk Sumbar sendiri, pemerintah mesti melampirkan mamak kepala waris dan persetujuan kaum.
"Kami ingin poin tambahan terhadap pengurusan sertifikat tanah. Seperti persetujuan mamak kepala waris, surat keterangan kesepakatan kaum, surat keterangan tidak akan berbuat radikalisme dan LGBT, serta mencantumkan ranji kaum," kata M Sayuti.