Konflik SARA masih ganggu kerukunan warga di Indonesia
Masyarakat Indonesia yang beragam memendam potensi konflik.
Konflik bernuansa suku, agama, ras dan golongan (SARA) kembali terjadi di Indonesia tepatnya di Tanjungbalai, Sumatera Utara (Sumut), Jumat (29/7) malam. Akibat kerusuhan itu, vihara dan klenteng diamuk sampai dibakar massa.
Awal mula konflik terjadi sekitar pukul 23.00 WIB. Diduga, kejadian dipicu oleh sikap sepasang suami istri di Jalan Karya, Tanjungbalai melarang kumandang azan dari Masjid Al Makhsun. Ribuan warga yang mendengar kabar itu lantas turun ke jalan untuk mengkonfirmasi hal tersebut.
Keadaan diperparah, setelah pasutri memberi jawaban yang menyulut emosi warga ketika mempertanyakan larangan tersebut. Emosi warga dilampiaskan dengan merusak bahkan membakar rumah pasutri ini.
Amukan massa berlanjut setelah jumlah warga terus bertambah. Warga yang tersulut emosinya bergerak ke rumah ibadah di Jalan Asahan - Tanjungbalai. Sedikitnya, 5 unit bangunan dan perlengkapan ibadah di Vihara dan Klenteng dirusak.
Dari catatan petugas kepolisian, massa melakukan pembakaran terhadap 1 unit Vihara dan 3 unit klenteng. Kemudian, 3 unit mobil, 3 unit sepeda motor dan 1 unit betor di Pantai Amor. Selain itu, di Jalan Hamdoko massa juga merusak barang-barang 1 unit Klenteng di Jalan Sudirman, barang-barang dalam 1 unit Klenteng dan 1 unit praktik pengobatan Tionghoa serta 1 unit sepeda motor di Jalan Hamdoko.
Selanjutnya, massa merusak barang-barang 1 Klenteng di Jalan KS Tubun dan 1 unit bangunan milik Yayasan Putra Esa di Jalan Nuri. Pembakaran juga terjadi terhadap barang-barang dalam 1 unit Vihara di Jalan Imam Bonjol. Lalu, bangunan Yayasan Sosial dan 3 unit mobil di Jalan WR Supratman dirusak. Terakhir, pagar Jalan Ahmad Yani dan barang-barang yang ada di dalam 1 unit Klenteng di Jalan Ade Irma juga dibakar massa.
Kerusuhan parah pun membuat Kapolri Jenderal Tito Karnavian turun gunung. Tito mendatangi lokasi untuk meninjau langsung situasi kejadian tersebut. Tito meminta warga tetap tenang dan beraktivitas seperti biasa.
"Situasi di Sumut dan sudah tenang. Yang di Tanjungbalai sudah ditangani juga sudah dilokalisir," kata Tito.
Tito menyesalkan kerusuhan yang terjadi di Tanjungbalai apa lagi insiden terjadi antar tetangga. Dia menyebut, kerusuhan terjadi lantaran adanya kesalahpahaman antar warga.
"Yang terjadi adalah kesalahpahaman, miskomunikasi," jelas dia.
Konflik bernuansa SARA bukan kali ini saja membetot perhatian tanah air. Sebelumnya, kerusuhan dengan pembakaran musala dan rumah warga pun terjadi di Karubaga, Kabupaten Tolikara, Papua pada Jumat 17 Juli 2015 lalu.
Konflik berawal dari adanya surat yang berisi larangan bagi umat muslim mengadakan salat Idul Fitri di Tolikara. Namun, setelah polisi mengkonfirmasi surat larangan tersebut kepada pihak yang bersangkutan, surat itu dibantah dan dinyatakan tidak resmi.
Dianggap clear lantaran surat larangan itu dibantah keras pihak GIDI, warga lantas dipersilakan melakukan salat ID. Namun, pada takbir ketujuh massa berdatangan dan meminta warga yang salat dibubarkan. Tidak ada titik terang dari diskusi antar warga dengan polisi, insiden pun tak terbendung.
Sejumlah tempat dihancurkan bahkan dibakar oleh warga yang mengamuk. Dari kejadian itu, dua warga Karubaga berinisial JW (31) dan AK (26) yang diduga terlibat pembakaran ditangkap petugas kepolisian.
JW dan AK ditangkap diduga telah mengerahkan massa untuk melakukan pembakaran terhadap musala tersebut. Presiden Jokowi berterimakasih kepada para pemimpin lintas agama, ketua adat, dan tokoh masyarakat yang telah membantu proses pemulihan atas insiden di Tolikara. Jokowi mengutuk keras insiden pembakaran puluhan kios hingga merembet ke musala tersebut.
"Saya sangat berterimakasih kepada para pimpinan lintas agama, ketua adat, dan tokoh masyarakat yang telah membantu proses pemulihan keadaan di Tolikara, Papua. Saya mengutuk keras pembakaran dan tindak kekerasan di Tolikara tersebut," kata Jokowi.