KPK 'tangkis' nota keberatan Setya Novanto
KPK 'tangkis' nota keberatan Setya Novanto. Menurut jaksa, splitsing baru dapat terjadi ketika jaksa penuntut umum menerima satu berkas perkara yang memuat beberapa tindak pidana dan beberapa tersangka.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menanggapi nota eksepsi yang diajukan tim kuasa hukum terdakwa korupsi proyek e-KTP, Setya Novanto. Salah satu poin yang ditanggapi JPU adalah splitsing atau pemisahan berkas perkara.
Pada pembacaan eksepsi atau keberatan, Rabu (20/12) lalu, tim kuasa hukum Setya Novanto menyoroti pemberkasan mantan ketua DPR itu dengan berkas terdakwa lainnya seperti Irman, Sugiharto, dan Andi Narogong.
-
Siapakah Letkol Atang Sendjaja? Nama Atang Sendjaja diketahui berasal dari seorang prajurit kebanggaan Jawa Barat, yakni Letnan Kolonel (Letkol) Atang Sendjaja.
-
Kapan Adi Suryanto meninggal? Kabar duka datang dari salah satu instansi pemerintah, Lembaga Administrasi Negara (LAN). Kepala LAN, Prof Dr. Adi Suryanto, meninggal dunia di Yogyakarta pada Jumat (15/12).
-
Siapa Serka Sudiyono? Serka Sudiyono adalah anggota TNI yang bekerja sebagai Babinsa di Desa Kemadu, Kecamatan Sulang, Rembang.
-
Kapan Atang Sendjaja meninggal? Pada 29 Juli di tahun itu menjadi hari duka bagi AURI.
-
Mengapa Stupa Sumberawan penting? Stupa melambangkan nirbana (kebebasan) yang merupakan dasar utama dari seluruh rasa dharma yang diajarkan Guru Agung Buddha Gautama. Nirbana juga menjadi tujuan setiap umat Buddha.
-
Kenapa Rawon Setan Mbak Endang disebut "setan"? Mengapa disebut dengan rawon setan? Sebab warung ini hanya buka di malam hari saja.
Maqdir Ismail selaku kuasa hukum menyatakan keberatan dengan perbedaan locus dan tempus delicti yang didakwakan pada Setya Novanto, mengingat jaksa mendakwa kliennya tersebut melakukan tindak pidana korupsi bersama-sama yang mestinya memiliki kesamaan locus dan tempus delicti.
Jaksa Abdul Basir menilai poin eksepsi tersebut sangat bertentangan dengan norma dan logika hukum yang sehat. Menurut jaksa, splitsing baru dapat terjadi ketika jaksa penuntut umum menerima satu berkas perkara yang memuat beberapa tindak pidana dan beberapa tersangka.
Sementara dalam perkara korupsi e-KTP, jaksa penuntut umum selalu menerima satu berkas perkara dengan satu tindak pidana dan satu tersangka.
"Proses pemisahan surat dakwaan berbasis pada berkas perkara, sehingga dapat disimpulkan dalam surat dakwaan sangat dipengaruhi fakta-fakta penyidikan," ujar jaksa Abdul saat membacakan tanggapan eksepsi, di Pengadilan Tipikor.
Sebagai contoh, jaksa pun menggambarkan dakwaan pria yang akrab disapa Setnov dengan dua orang yang mencuri di rumah kosong. Pada kasus pencurian tersebut, pelaku pertama mengambil uang sebesar Rp 1 juta di kamar. Sementara pelaku kedua mencuri di kamar pembantu.
Pelaku pertama telah tertangkap dan disidik oleh jaksa penuntut umum, sedangkan pelaku kedua belum tertangkap. Dalam dakwaan, jaksa penuntut umum tetap akan mendakwa pelaku pertama melakukan pencurian bersama-sama tanpa menjelaskan detail tentang tindak pidana yang dilakukan pelaku kedua. Setahun kemudian pelaku kedua baru tertangkap dan diketahui mencuri 10 gram perhiasan. Mereka pun disidangkan secara terpisah.
Oleh karena itu, menurut jaksa, segala argumentasi tim kuasa hukum mengenai perbedaan sejumlah fakta dalam dakwaan Setnov dengan terdakwa e-KTP lainnya merupakan dasar hukum yang keliru dan tidak tepat.
Adapun pencantuman sejumlah nama yang muncul maupun hilang dalam dakwaan, lanjut jaksa, tak lantas menghilangkan unsur penyertaannya.
"Pencantuman nama dalam berkas perkara masing-masing tersangka memuat perbuatan orang lain, namun belum tentu tersangka," katanya.
Sementara jaksa enggan menanggapi poin keberatan tim kuasa hukum yang membantah penerimaan uang USD 7,3 juta dan satu buah jam tangan Richard Mille kepada Setnov. Menurut jaksa poin keberatan itu telah memasuki materi pokok perkara.
"Penuntut umum tidak akan menanggapi karena sudah memasuki pokok perkara. Apalagi keberatan itu telah dipertimbangkan dalam putusan Andi Narogong," ujarnya.
Selain itu, mengenai hilangnya sejumlah nama yang diduga turut menerima aliran dana dari proyek e-KTP. JPU menilai ada tidaknya nama-nama dalam surat dakwaan tidak bisa disamaratakan dengan surat dakwaan milik terdakwa lainnya.
Jaksa Wawan Yunarwanto mengatakan, pencantuman nama pihak-pihak dalam sebuah surat dakwaan mengacu dari perbuatan terdakwa dalam satu perkara. Lebih lanjut dia menjelaskan, meski pencantuman nama sejumlah pihak dalam surat dakwaan tidak berstatus tersangka, hal tersebut tidak menghilangkan penyertaannya dalam satu peristiwa.
"Adapun pencantuman nama semata-mata dalam berkas perkara masing-masing tersangka memuat perbuatan orang lain selain tersangka namun orang lain belum tentu tersangka, tidak menghilangkan unsur penyertaannya," ujar Wawan.
Mengenai keberatan Novanto atas audit Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang menyimpulkan ada kerugian negara dari proyek senilai Rp 5,6 triliun, JPU menilai BPKP memiliki wewenang dalam melakukan audit.
Wawan Yunarwanto mengatakan wewenang BPKP dalam melakukan audit telah diatur dalam peraturan presiden nomor 192 tahun 2014 tentang BPKP Pasal 3 huruf b. Dalam Perpres tersebut, ujar Wawan, BPKP berwenang melakukan audit investigatif terhadap kasus-kasus penyimpangan yang berindikasi merugikan keuangan negara.
Dia menambahkan, dalam proses penanganan perkara korupsi hasil audit BPKP mengenai kerugian keuangan negara telah digunakan dan diterima pada pengadilan serta menjadi best practice.
"Merujuk pada ketentuan dan best practice tersebut maka audit BPKP dalam perkara dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah untuk membuktikan perbuatan terdakwa," ucapnya.
Dia mengatakan dalil-dalil tim kuasa hukum Setya Novanto atau akrab disapa Setnov itu tidak berdasar. Atas pertimbangan itu, Wawan berharap agar majelis hakim mengesampingkan eksepsi tim kuasa hukum Setnov.
"Berdasarkan argumentasi tersebut maka dapat disimpulkan dalil-dalil penasehat hukum merupakan dalil yang tidak berdasar dan harus dikesampingkan," tandasnya.
Dalam eksepsinya juga, Novanto yang mempertanyakan peran dirinya. Wawan Yunarwanto menuturkan, sejatinya peran Setya Novanto telah tercantum dalam Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP tentang turut serta.
Dia menyebut ada tiga bentuk penyertaan seperti yang diatur dalam pasal tersebut yakni; yang melakukan (pleger), yang menyuruh melakukan (doenpleger), dan yang turut serta melakukan (medepleger).
"(Pertanyaan tim kuasa hukum) kualifikasi terdakwa diletakan pada forum keliru. Untuk mengetahui pelaku atau turut serta harus dibuktikan terlebih dahulu yang di ranah pembuktian," ujarnya.
Wawan pun memaparkan lima peristiwa yang melibatkan mantan ketua umum Partai Golkar itu.
Pertama, terdakwa melakukan pertemuan di Hotel Grand Melia bersama Andi Agustinus alias Andi Narogong, Irman, Sugiharto, dan Diah Anggraini. Kedua, PT Murakabi Sejahtera dipersiapkan terdakwa dan Andi sebagai perusahaan pendamping merupakan perusahaan yang dikendalikan terdakwa melalui Irvanto yang tidak lain keponakan Setnov. Serta ada tiga kali pertemuan yang melibatkan dirinya terkait pembahasan e-KTP.
Baca juga:
Diizinkan hakim, Setya Novanto akan berobat ke RSPAD Gatot Soebroto
2017, Tahun kejatuhan karier politik Setya Novanto
KPK hormati keputusan hakim jika Novanto boleh berobat dan dibesuk
Setya Novanto cuek soal nama hilang dari dakwaan korupsi e-KTP
Setya Novanto cuek soal nama hilang dari dakwaan korupsi e-KTP
Hakim Tipikor kabulkan permintaan berobat Setya Novanto