LP3ES Catat 13 Pernyataan Blunder Pemerintah Soal Covid-19
Penelitian yang diberi judul "Petaka Karena Kata: Blunder Komunikasi Politik Kabinet Jokowi di Masa Pandemi" ini, dilakukan dengan menganalisis isi media masa baik media mainstream, seperti berita daring dan TV maupun media sosial seperti facebook, twitter dan youtube dari periode 1 Januari hingga 5 April 2020.
Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) merilis hasil penelitian tentang komunikasi politik kabinet Jokowi dalam menghadapi pandemi Corona atau Covid-19.
Penelitian yang diberi judul "Petaka Karena Kata: Blunder Komunikasi Politik Kabinet Jokowi di Masa Pandemi" ini, dilakukan dengan menganalisis isi media masa baik media mainstream, seperti berita daring dan TV maupun media sosial seperti facebook, twitter dan youtube dari periode 1 Januari hingga 5 April 2020.
-
Bagaimana Presiden Jokowi saat ini? Presiden Jokowi fokus bekerja untuk menuntaskan agenda pemerintahan dan pembangunan sampai akhir masa jabaotan 20 Oktober 2024," kata Ari kepada wartawan, Senin (25/3).
-
Kenapa Presiden Jokowi mendukung Timnas Indonesia? Dalam unggahan yang sama, Jokowi menyisipkan doa dan harapan agar Timnas Indonesia mampu melaju hingga ke babak berikutnya. “Selangkah lagi untuk melaju ke fase kualifikasi babak ketiga Piala Dunia 2026, Teruslah berjuang dengan penuh semangat” ungkapnya.
-
Siapa yang menggugat Presiden Jokowi? Gugatan itu dilayangkan Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) melayangkan gugatan terhadap Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
-
Kapan Presiden Jokowi meresmikan Bandara Panua Pohuwato? Presiden Joko Widodo atau Jokowi meresmikan Bandar Udara Panua Pohuwato di Provinsi Gorontalo.
-
Kapan Jokowi mencoblos? Presiden Joko Widodo atau Jokowi telah melakukan pencoblosan surat suara Pemilu 2024 di TPS 10 RW 02 Kelurahan Gambir, Jakarta Pusat, Rabu (14/2).
-
Bagaimana cara Presiden Jokowi memberikan ucapan selamat kepada pasangan pengantin? Presiden dan Ibu Negara memberikan ucapan selamat kepada kedua mempelai yang telah resmi menjadi suami istri.
"Untuk triangulasi data, penelitian ini juga melihat hasil analisis big data untuk melihat sentimen publik dan respons mereka terhadap kinerja pemerintah seperti yang dilakukan oleh INDEF," tulis Direktur Center untuk Media LP3ES, Wijayanto dalam hasil penelitiannya yang diterima, Selasa (7/5).
Dia pun membagi dalam 3 fase dari 5 fase komunikasi yang ada, dalam pemerintah saat ini. Fase pra krisis, awal krisis dan krisis.
Adapun fase krisis adalah pemerintah berkomunikasi dengan publik untuk memberikan pengetahuan awal, agar publik memahami dan menyiapkan diri terhadap krisis yang dihadapi. Kemudian fase awal krisis, adalah menyediakan informasi melalui satu pintu, memudahkan sirkulasi dan mencegah kesimpangsiuran berita. Sedangkan fase krisis, adalah pemerintah perlu menyalurkan informasi mutakhir secara berkala agar masyarakat yakin krisis dapat dilalui.
"Namun kita belum tiba pada fase resolusi dan evaluasi," kata Wijayanto.
Menurut dia, di fase orang krisis sejak akhir Januari sampai Maret, pemerintah tampak tidak menanggapi secara serius, menyepelekan bahkan menolak kemungkinan bahwa corona Covid 19 sudah tiba di Indonesia, meskipun peringatan sudah diberikan sejak akhir Januari.
"Ada 13 statemen blunder pemerintah dalam wujud penolakan kemungkinan corona yang dinyatakan oleh 10 pejabat mulai dari Presiden, Wakil Presiden, Menteri Kesehatan, Menkomaritim, Menko Polkam, Menko Perekonomian, Menhub, Kepala BNPB, Menteri Pariwisata hingga Dirjen Perhubungan," jelas Wijayanto.
Dia beranggapan, bahwa ini berdampak, sikap publik yang gagal untuk menyiapkan diri untuk menghadapi apa yang terjadi, sehingga yang muncul adalah kepanikan dalam berbagai bentuk mulai dari panic buying, stigma kepada pengidap corona yang melahirkan perisakan pada pasien corona pertama dengan menyebar data pribadi di media sosial, dan termanifestasi dalam penolakan untuk isolasi bagi mereka yang ODP, bahkan lari dari rumah sakit dan menolak diobati bagi pasien PDP atau positif Covid 19.
"Penolakan ini juga berdampak pada gagalnya kita untuk menyiapkan sistem kesehatan lebih awal yang terwujud dalam ketidaksiapan rumah sakit kita untuk menghadapi corona baik dari sisi personal, kesiapan ruang hingga ketersediaan APD," tulis Wijayanto.
Untuk fase krisis awal, di mana Presiden Jokowi mengumumkan Covid-19 sudah masuk pada 2 Maret sampai 14 Maret, ada 4 statement atau pernyataan yang blunder.
Menurutnya, blunder pertama terjadi pada keterlambatan pengumuman oleh Presiden karena pengumuman itu begitu terlambat mengingat peringatan Corona sudah disampaikan sejak Januari dan hasil investigasi media, yang menyebut satu pasien positif di Cianjur
"Jubir Covid-19 yang awalnya menolak kasus itu kemudian mengakui bahwa pasien memang benar positif. Pada fase ini, ternyata Presiden masih tetap tidak menyadari keseriusan kasus yang ada dan tetap bicara tentang insentif wisata. Wapres juga setali tiga uang dengan melemparkan guyonan bahwa Corona bisa sembuh dengan minum susu kuda liar," tuturnya.
Pada fase krisis, lanjut dia, Jokowi kembali blunder dengan menyampaikan darurat sipil, yang kemudian diralat dan dijadikan darurat kesehatan. Selain itu, ada juga dari Mendagri Tito Karnavian dan Menko Kemaritiman dan Investigasi Luhut B. Pandjaitan.
"Jika yang pertama menyampaikan tingkat kematian yang rendah (pernyataan Tito), yang terakhir menyebut Corona tak betah di suhu panas (pernyataan Luhut)," ulas Wijayanto.
Blunder juga datang dari Jubir Covid-19 Achmad Yurianto, terkait pernyataannya orang miskin dan orang kaya. Kemudian datang dari Kapolri Jenderal Polisi Idham Aziz, Menkumham Yasonna, dan Jubir Presiden Fadjroel Rachman.
"Kapolri mengancam akan menahan kerumunan dan penghina selama Corona, Yasonna yang ingin membebaskan tahanan karena Corona. Ada 2 statemen blunder terkait pemberian keringanan kredit. Blunder Presiden terjadi manakala janji penangguhan kredit ternyata tidak berlaku di lapangan. Statemen ini lalu diralat oleh Jubir Presiden yang menyatakan bahwa keringanan baru diberi kalau sudah dinyatakan positif Corona," tuturnya.
Selain itu, masih kata dia, blunder terbanyak di Fase Krisis terjadi dalam polemik mudik lebaran. Ada 9 pejabat yang menurutnya melakukan blunder.
"Presiden mulanya memberi larangan mudik untuk menghindari penularan Corona yang diamini oleh Jubir Covid, Jubir Presiden, Mensesneg. Namun pernyataan itu kemudian direvisi oleh Jubir Presiden dan Menko Kemaritiman yang menyampaikan bahwa mudik diperbolehkan asal melakukan isolasi. Presiden pun akhirnya juga meralat pernyataan sendiri dengan memperbolehkan mudik lebaran," jelas Wijayanto.
Dia pun memberikan rekomendasi, bahwa komunikasi yang berkualitas akan menghasilkan trust dan solidaritas. Untuk itu diperlukan adanya konsistensi dan transparansi.
"Konsistensi dibutuhkan agar pesan itu sampai dan mudah dipahami sampai akar rumput. Konsisten ini berarti Presiden dan kabinetnya harus menyampaikan pesan yang sama dari waktu ke waktu. Ini juga berarti bahwa antara presiden, wapres dan para menteri harus menyampaikan pesan yang sama dan bukannya saling bertentangan satu sama lain," tukasnya.
Selain itu, transparansi dibutuhkan agar pesan bisa dipercaya. Publik harus diberitahu secara jujur apa alasan dari satu kebijakan.
"Transparansi dan konsistensi adalah kunci untuk mengembalikan kepercayaan publik. Hanya dengan kepercayaan dan dukungan publik kita akan bisa bersama-sama selamat dari bencana ini. Dan, yang paling penting, kemanusiaan dan penyelamatan manusia adalah segala-galanya. Dialah yang seharusnya menjadi panglima," pungkasnya.
Reporter: Putu Merta Surya Putra
Sumber: Liputan6.com