LPSK Ungkap Eks Bupati Langkat Raup Untung Rp177,5 M dari Pekerja Tanpa Digaji
Eks Bupati Langkat sepenuhnya memanfaatkan situasi akut para pecandu narkotika untuk memperoleh keuntungan dengan tidak membayar upah mereka sebagai tenaga kerja demi kepentingan bisnis pribadi miliknya.
Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Edwin Partogi Pasaribu memperkirakan keuntungan yang diperoleh Bupati nonaktif Langkat Terbit Rencana Perangin Angin (TRP) mencapai sebesar Rp177,5 miliar dari pekerja tanpa digaji.
"Mengacu pernyataan Kapolda Sumut, bila setidaknya ada 600 korban dalam 10 tahun terakhir yang dipekerjakan oleh TRP di bisnisnya tanpa digaji, maka TRP diuntungkan dengan tidak membayar penghasilan mereka sebesar Rp177.552.000.000," kata Edwin dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Kamis.
-
Bagaimana KPK menangkap Bupati Labuhanbatu? Keempatnya ditetapkan tersangka usai terjaring operasi tangkap tangan (OTT) pada Kamis, 11 Januari 2024 kemarin.
-
Kenapa Bupati Labuhanbatu ditangkap oleh KPK? KPK telah menahan Bupati Labuhanbatu Erick Adtrada Ritonga sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap proyek pengadaan barang dan jasa di Kabupaten Labuhanbatu, Sumatera Utara.
-
Kapan Bupati Labuhanbatu ditangkap KPK? Keempatnya ditetapkan tersangka usai terjaring operasi tangkap tangan (OTT) pada Kamis, 11 Januari 2024 kemarin.
-
Kapan KPK menahan Bupati Labuhanbatu? Petugas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan sejumlah uang hasil Operasi Tangkap Tangan (OTT) Bupati Labuhanbatu Erik Adtrada Ritonga di Gedung Merah Putih, Jakarta, Jumat (12/1/2024).
-
Apa yang disita KPK dari Bupati Labuhanbatu? Dalam OTT Bupati Labuhanbatu Erik Adtrada Ritonga, KPK menyita uang tunai senilai Rp551,5 juta dari nilai dugaan suap Rp1,7 miliar.
-
Kenapa Lontong Opor Pak Pangat terkenal? Banyak pecinta kuliner yang rela datang dari luar kota hanya untuk mencicipi kelezatan opor Pak Pangat.
Terbit sepenuhnya memanfaatkan situasi akut para pecandu narkotika untuk memperoleh keuntungan dengan tidak membayar upah mereka sebagai tenaga kerja demi kepentingan bisnis pribadi miliknya.
Edwin juga menyebutkan terdapat banyak cerita kelam yang diperoleh tim LPSK saat melakukan kegiatan koordinasi, investigasi, dan penelaahan sejak 27 Januari hingga 5 Maret 2022.
Tim LPSK menemukan benang merah bahwa tidak ada jalan pulang bagi mereka yang menjadi penghuni kerangkeng di rumah Terbit. Hal itu diperburuk dengan ketakutan para korban terhadap Terbit yang merupakan seorang kepala daerah.
"Kalau ada TRP, jangankan makan dan minum, buang air pun para korban tidak berani," katanya.
Dari berbagai temuan tersebut, tim LPSK menduga keras telah terjadi praktik perbudakan di kasus kerangkeng milik Terbit dengan iming-iming rehabilitasi bagi para pecandu narkotika.
"Pola penguasaan total benar-benar memutus penghuni kerangkeng dari keluarganya. Bahkan ada dua orang tua dari korban yang meninggal dunia dan mereka tidak diperkenankan untuk melayat," ungkapnya.
"Konsekuensi lain bagi para korban setelah masuk ke kerangkeng tersebut adalah nyaris tidak ada jalan untuk pulang," tambahnya.
Meskipun saat masuk terdapat surat pernyataan yang ditandatangani pihak keluarga dan pihak penanggung jawab kerangkeng, dalam praktiknya untuk keluar kerangkeng hanya dimungkinkan jika menyuap kepala lapas (kalapas), melarikan diri, atau mati, jelasnya.
Mereka yang kabur juga memiliki konsekuensi untuk dicari dan dijemput paksa oleh tim pemburu. Tim pemburu tersebut ialah anak buah dari Terbit, orang suruhan Dewa, yang merupakan anak Terbit, serta oknum aparat setempat.
Tim pemburu juga mengancam keluarga korban yang kabur untuk menggantikan posisi korban dalam kerangkeng.
(mdk/ray)