Media diminta tak hanya eksploitasi kesedihan saat bencana
Media diminta tak hanya eksploitasi kesedihan saat bencana. Media diminta juga hadir baik prabencana, saat bencana, usai bencana hingga fase rekonstruksi.
Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) menggelar workshop jurnalisme kebencanaan di Kantor Pusat Administrasi (KPA) Unsyiah, Kamis (29/12). Dalam workshop itu, media diminta hadir tidak hanya saat bencana terjadi dan mengeksploitasi kesedihan belaka.
Akan tetapi media diminta juga hadir baik prabencana, saat bencana, usai bencana hingga fase rekonstruksi. Demikian juga diminta hadir untuk memberikan edukasi kepada masyarakat pentingnya mitigasi bencana, dan juga selalu memberitakan simulasi-simulai yang digelar.
Hadir sebagai narasumer tunggal dalam Workshop ini wartawan Kompas, Ahmad Arif. Dalam pemaparannya, media diminta berperan dalam mengurangi risiko bencana melalui penyampaian informasinya. Informasi tersebut juga dapat membangun kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana.
"Namun, praktik ini nyatanya belum berjalan dengan baik. Media di Indonesia menurutnya masih fokus pada isu politik, ekonomi, dan korupsi, sehingga isu kebencanaan kerap dikesampingkan," tegas Ahmad Arif.
Menurut dia, umumnya pemberitaan bencana di Indonesia masih fokus kepada jumlah korban dan eksploitasi kesedihan. Padahal media juga diharapkan hadir di setiap fase, baik itu fase prabencana, saat bencana, dan pascabencana.
Dengan demikian, sebutnya lagi, akan mengedukasi sekaligus menumbuhkan mental kuat bagi masyarakat. Bencana merupakan momentum terbaik untuk mengingatkan kembali pentingnya mitigasi bencana. Kemudian mewacanakan kembali pembangunan rumah tahan gempa dan simulasi dalam menghadapi bencana.
"Tapi media kita malah cenderung mengeksploitasi kesedihan dan jumlah korban saat bencana terjadi. Padahal pemberitaan tentang bencana memiliki dimensi luas," ungkapnya.
Dia mencontohkan, media di Jepang memberitakan bencana dengan menghindari cerita sedih dan negatif agar mental masyarakat tidak semakin terpuruk. Bahkan setiap berita mengenai kerusakan selalu diikuti dengan informasi positif.
"Selain itu, setiap malam televisi di Jepang selalu menyiarkan simulasi bencana. Itu selalu dilakukan rutin di saat tidak terjadi bencana maupun saat terjadi bencana," ujarnya.
Pada kesempatan tersebut Ahmad Arif mengajak masyarakat dan pelaku media untuk mengubah pola pikir agar tidak mengesampingkan isu kebencanaan. Salah satunya dengan aktif menulis mengenai bencana di media dan media sosial. Lalu mendidik dan menyadarkan para pekerja media tentang pentingnya risiko kebencanaan.