Mencegah Kepunahan Elang Bondol si Maskot Jakarta
Elang bondol, si maskot DKI Jakarta saat ini populasinya sangat terbatas.
Mencegah Kepunahan Elang Bondol si Maskot Jakarta
Sebagai simbol ibu kota yang gagah, Elang Bondol, maskot yang seharusnya melayang anggun di angkasa Jakarta, kini tergantung pada benang tipis keberlanjutan.
Keberadaannya yang semakin langka, membuat hewan tersebut dilindungi oleh Peraturan Republik Indonesia UU No. 5 tahun 1990 dan diatur dalam PP No. 7 tahun 1999 dan Peraturan Menteri KLHK No. 106 tahun 2018.
Selain itu, International Union for Conservation of Nature (IUCN) menetapkan status Elang Bondol sebagai least concern (risiko rendah).
Hamparan angkasa Jakarta pun memperdengarkan narasi pilu tentang kurangnya perhatian, dan bagaimana perdagangan ilegal menyiksa populasi Elang Bondol. Namun, dalam keheningan itu, terdengar suara sang pecinta satwa menyuarakan kepeduliannya.
Femke den Haas, Pendiri Organisasi Jakarta Animal Aid Network (JAAN), akhirnya memutuskan untuk memulai perjalanan rehabilitasi di Pulau Kotok Besar.
- Momen Prabowo Masak Besar, Joget Gemoy hingga Bagi-Bagi Kaos di Jakarta Utara
- Sosok Ayah dan Anak Ditemukan Tewas Membusuk di Koja Jakarta Utara di Mata Tetangga
- Bukan WFH, Ini Penyebab Polusi Udara Jakarta Sempat Membaik
- ASN WFH Bukan Solusi, Warga Tagih Kebijakan Jangka Panjang Pemerintah Atasi Polusi di Jakarta
Dalam melodi pemulihan, Femke dan tim-nya (JAAN) bekerja sama dengan Taman Nasional Kepulauan Seribu, BKSDA DKI, Kiki Adjie dan Pemda DKI.
Dia menegaskan bahwa populasi Elang Bondol terus terkikis sebab perdagangan ilegal yang tidak kunjung reda.
"Pada tahun 2004, kita survei tim biologi, nah dinyatakan di sana populasinya sudah punah, tidak ada lagi burung Elang Bondol," kata Femke kepada merdeka.com, Rabu (6/12).
Kala itu, populasi dikatakan punah sebab hanya ditemukan empat ekor burung Elang Bondol.
Seperti cahaya di ujung gelap, Pulau Kotok Besar yang berada di Kepulauan Seribu menjadi panggung kehidupan baru bagi Elang Bondol, yang terguris oleh perdagangan ilegal.
Femke dan timnya dari JAAN memulai perjalanan membangun kembali keberadaan Elang Bondol. Mereka menyambut sejumlah Elang Bondol yang diperoleh dari hasil sitaan perdagangan ilegal.
"Jadi karena kita banyak burung Elang Bondol hasil sitaan dari perdagangan ilegal, mulailah program rehabilitasi burung Elang Bondol di Pulau Kotok Besar," lanjutnya.
Dengan berbagai macam latar belakang kondisi elang bondol, JAAN menerima semuanya, sebab mereka sadar masa depan burung-burung tersebut berhak mendapatkan kehidupan yang bebas dan lebih baik.
"Ada yang masih anakan, ada yang dipelihara masyarakat, nah ini yang sering ada masalah. Kakinya lumpuh, kakinya bumblefoot (penyakit yang terjadi karena burung tak berada di atas ranting). Jadi sehari-hari hanya berdiri di atas kandang di atas besi atau di atas semen gitu," tuturnya.
Femke tidak habis pikir, begitu kejamnya perbuatan manusia terhadap makhluk hidup di sekitarnya. Bahkan, ada yang tega memotong sayap Elang agar kemampuan berburunya tak optimal. Parahnya, Elang tersebut tak dapat bertahan hidup akibat kemampuannya direnggut.
"Jadi pedagang sering sekali memotong sayapnya, atau yang memelihara memotong sayapnya. Ada beberapa cara mereka memotong sayapnya, ada yang sampai ke tulang itu fatal, itu elangnya akan cacat seumur hidup. Ada juga yang masih bisa dibantu medis, kita bisa bantu operasi," tegasnya.
Tidak sembarangan, semua prosedur kesehatan dilakukan agar kondisi satwa dalam keadaan baik. Sehingga, saat dipindahkan ke Pulau Seribu, satwa sudah dalam keadaan bebas dari penyakit.
"Semua prosedur medis itu dilakukan di Jakarta, kita juga memeriksa kesehatan satwanya sebelum dipindah ke pulau. Satwa kalau udah pindah ke pulau otomatis bebas dari penyakit yang bisa menular. Nah, itu yang kita cek sebelum dibawa ke Kepulauan Seribu. Kalau sudah di Pulau Seribu, mungkin yang cacat, yang pengobatan lain, seperti untuk pengobatan sayap, untuk kaki itu ya bisa dilakukan di sana juga," ungkap Femke.
Kendati demikian, tidak selalu masalah kesehatan fisik, beberapa elang bondol terbelenggu oleh masalah mental. Terlalu terikat dengan manusia, mereka memerlukan waktu yang tidak dapat diukur dengan detik dan menit. Kadang, proses ini butuh bertahun-tahun, melewati lembaran waktu yang mengajarkan kebebasan.
"Waktunya enggak tentu untuk dilepasliarkan ke alam. Kadang ada masalah mental, jadi dia terlalu fokus kepada manusia. Itu kadang butuh waktu lama sekali, bertahun-tahun di kita," imbuhnya.
Nantinya, setelah melewati proses karantina, elang bondol akan menghadapi kandang isolasi, yang menjadi langkah awal menuju pemulihan yang menyeluruh. Di sana, tiap detik dihabiskan untuk memastikan kesehatan dan adaptasi sebelum menginjakkan kaki di kandang sosialisasi.
Setelah itu, satwa akan ditempatkan pada kandang prerelease yang menjulang di atas laut. Tempat di mana Elang Bondol bisa mencicipi kebebasan dan menyesuaikan diri dengan lingkungan alami mereka. Bangunan di atas laut ini memberi kesempatan bagi elang untuk merasakan dan menangkap ikan langsung dari laut, menyimak keahlian mereka dalam berburu.
Kandang prerelease seolah menjadi ujian terakhir sebelum elang bondol dilepaskan ke alam bebas. JAAN melakukan observasi mendalam, mencatat setiap gerakan dan perilaku elang. Poin-poin evaluasi diberikan, menentukan apakah Elang-Elang tersebut telah siap untuk merajut sayapnya di langit lepas.
"Kita tujuannya memang ingin mereka bisa hidup kembali bebas di alam, tapi tentu hanya kalau mereka memang bisa kembali ke alam. Jadi jangan kita maksa, kalau kita ragu ya kita belum bisa melakukannya," katanya.
Dengan pengamatan yang teliti, JAAN menjamin bahwa setiap pelepasliaran satwa menjadi puncak keberhasilan rehabilitasi.
"Kita berhasil melepaskan puluhan Elang Bondol kembali ke alam di Kepulauan Seribu, dan sudah ada bukti bahwa yang kita lepas sudah ada yang bertelur, beranak, ada yang beregenerasi di sana. Bahkan, kita dapat laporan dari berbagai pulau bahwa elang hasil pelepasliaran sudah berhasil berkembang biak di alam," ucap Femke.
Kini, JAAN setidaknya sudah melepasliarkan lebih dari puluhan ekor burung elang bondol sedari awal program rehabilitasi dimulai.
"Dengan program rehabilitasi, kita sudah melepaskan lebih dari 100 ekor elang, dan saat ini tengah merehabilitasi sebanyak 38 ekor elang bondol, dua elang laut, dan dua elang kepala abu," bebernya.
Namun, bukan hanya perawatan dan kehangatan yang diberikan, teknologi canggih juga turut dilibatkan untuk memastikan jejak mereka aman.
Semua elang bondol dilengkapi dengan microchip, bahkan dilacak menggunakan sistem GPS. Pendekatan ini memungkinkan tim JAAN untuk memantau setiap gerak dan perjalanan elang setelah dilepaskan kembali ke habitat aslinya.
Femke kembali menceritakan saat seekor elang bondol hasil pelepasan, kembali tertangkap oleh seseorang dari Tangerang. Berkat teknologi GPS, keberadaan elang segera terungkap, dan tim JAAN dengan sigap mengamankannya kembali.
Teknologi dan kepedulian bersatu di Pulau Kotok Besar, menjadi penjaga setiap langkah elang bondol yang berusaha kembali merasakan kebebasan di langit Kepulauan Seribu.
Setiap bulannya, biaya perawatan untuk elang bondol bisa mencapai puluhan juta rupiah. Semua sumber dana berasal dari donatur-donatur JAAN Indonesia.
"Biaya perawatan itu rata-rata perbulan 20-an juta ya, semua dana kita itu berasal dari donatur JAAN Indonesia. Jadi dana semua dari pribadi yang peduli dengan satwa liar," jawabnya.
Undang-undang menjadi saksi bisu, mengumandangkan larangan dan hukuman bagi mereka yang berani mengusik kedamaian Elang Bondol. Namun, seperti catatan usang yang menunggu waktu, Undang-Undang dari tahun 90-an ini terdiam dalam ketidakjelasan.
Bagi Femke, Undang-Undang yang melindungi Elang Bondol sudah semestinya diperbarui. "Ini memang sudah waktunya untuk meng-update aturan atau Undang-Undang. Undang-undang ini dari tahun 90 dan ya, menurut kami sudah waktunya untuk diupdate lagi" ucapnya.
Dengan harapan yang membara, Femke mendambakan regulasi baru sebagai cambuk bagi para pelaku yang semakin mengerdilkan keberadaan Elang Bondol. Keinginan kerasnya adalah agar pemerintah memberikan tindakan tegas dengan menutup Pasar Burung Pramuka dan Pasar Jatinegara, pusat perdagangan satwa yang semakin hari tercemar oleh ilegalitas.
"Jadi pasar-pasar seperti Pramuka, Jatinegara ini adalah pusat perdagangan satwa yang cukup ilegal, sangat kejam lah, mereka ditangkap dari alam, terus diperdagangkan di sana, kami berharap agar ditutup" tegasnya.
Dia turut menyuarakan bahwa melalui edukasi satwa sejak dini dapat menjadi fondasi megah yang akan melahirkan generasi penerus. Tidak hanya cerdas secara akademis, melainkan penuh dengan kesadaran moral yang mendalam terhadap lingkungan dan setiap hela napas makhluk hidup di sekitarnya.
"Itu diimplementasikan di sekolah-sekolah, kurikulum, jadi anak-anak itu udah belajar dari kecil, mengenai kepentingan kita melindungi satwa. Itu yang saat ini sama sekali kita lihat belum terjadi, jadi bagaimana kita mau membangun kepedulian atau rasa sayang terhadap satwa, satwa liar Indonesia kalau ga dididik dari kecil ya," jelasnya.
JAAN pun menjadi sinar terang bagi Elang Bondol. Program rehabilitasi burung Elang Bondol yang dilakukan mereka bahkan diapresiasi penuh oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada tahun 2016. Sebuah sertifikat khusus juga diberikan yang membuat pulau tersebut dikenal sebagai Suaka Elang.
Reporter magang: Anisah Rahmawaty