Mengenang KH Ahmad Idris Marzuqi, putra kiai yang ahli tasawuf
KH Marzuqi Dahlan atau Gus Juqi adalah putra dari Kiai Dahlan bin KH Sholeh asal Bogor.
Di kalangan pesantren nusantara siapa yang tidak mengenal nama Kiai Marzuqi Dahlan, tiga serangkai pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo Kediri yang juga ayahanda KH Ahmad Idris Marzuqi pengasuh Pesantren Lirboyo yang wafat pada Senin (9/5) kemarin pukul 09.50 di RS Dr Soetomo akibat komplikasi.
Sebagai ulama yang zuhud, Ahmad Idris Marzuqi dilahirkan dari seorang yang ahli tirakat, seorang penuntut ilmu yang luar biasa. KH Marzuqi Dahlan atau Gus Juqi adalah putra dari Kiai Dahlan bin KH Sholeh asal Bogor yang juga pengasuh Pesantren Jampes yang berjarak lima kilometer dari Pesantren Lirboyo arah utara.
Dari pernikahan KH Dahlan dengan Nyai Artimah binti KH Sholeh Banjarmlati Kediri ini melahirkan empat orang anak (satu perempuan dan tiga putra) dua di antaranya menjadi ulama besar, yakni, KH Marzuqi Dahlan penerus tampuk kepemimpinan Pondok Pesantren Lirboyo Kediri dan KH Ihsan Jampes pengarang kitab Sirajuttholibin, sebuah syarah atau komentar dari Kitab Minhajul Abidin karya Imam Ghozali. Kitab ini menjadi bahan literatur universitas Islam seantero dunia.
KH Marzuqi Dahlan dilahirkan dan dibesarkan di lingkungan yang dekat dengan alim ulama, sehingga sejak anak-anak sudah tak lepas dari bimbingan kiai, terutama Kiai Sholeh kakeknya.
Selain berguru kepada kakeknya Marzuqi Dahlan juga pernah nyantri di Pesantren Tebuireng Jombang yang diasuh oleh Hadratussyeh Hasyim Asya’ari, pernah juga nyantri di Ponpes Mojosari Nganjuk yang diasuh oleh KH Asy’ari. Pesantren Lirboyo Kediri kepada KH Abdul Karim (pendiri Pesantren Lirboyo, 1910)
Sebagai penuntut ilmu yang ulung, Gus Juqi panggilan akra Kiai Marzuqi juga tidak sungkan-sungkan berguru pada kakaknya yang alim allamah di bidang tasawuf yakni KH Ikhsan Dahlan di Jampes Kediri. Yang tak kalah pentingnya, Gus Juqi juga ahli ziarah kubur ke makam ulama-ulama besar.
Penguasaan ilmu tasawuf Gus Juqi semakin nampak setelah beliau menjadi kiai, terbukti ketika suatu saat mengaji kitab Bidayatul Hidayah, yakni salah satu kitab tasawuf, dengan tanpa menggunakan teks, karena beliau telah hafal di luar kepala.
Karena kealimannya, oleh sang paman KH Abdul Karim, Gus Juqi dijodohkan dengan dengan putri keempatnya yakni Maryam. Menariknya pernikahan Gus Juqi dengan Maryam, oleh sang mertua, Gus Juqi diwajibkan tetap menuntut ilmu selama 30 tahun. Rupanya KH Abdul Karim mempersiapkan sang keponakan yang juga menantunya itu untuk menjadi penerus pengasuh Pesantren Lirboyo.
Pernikahan Gus Juqi dengan Nyai Maryam melahirkan delapan anak yakni, Ruqoyyah, Ahmad Idris Marzuqi, Salimah, Muslikah, Khusnul Khotimah, Mohammad Thohir, Malihah, Bahrul Ulum dan yang paling bungsu Muhammad Ahlish.
Setelah kelahiran putra bungsunya, Nyai Maryam meninggal dunia. Agak lama menduda kemudian oleh sang mertua, Gus Juqi dinikahkan dengan Nyai Qomariyah yang juga adik bungsu Nyai Maryam. Dari pernikahan tersebut dikaruniai putra yang bernama Hasyim, namun Allah tidak memberikan umur panjang kepadanya.
Bukti kesufian, Gus Juqi selain ahli menuntut ilmu adalah terlihat dari kesehariannya. Pada masa itu ke mana-mana Gus Juki selalu naik sepeda sendiri meski dia ulama besar. Yang paling mencolok adalah dalam hal berpakaian, Gus Juqi tidak pernah memakai baju yang bagus, selalu menggunakan baju yang lusuh dan selalu menolak untuk disetrika.
Sebagai penerus KH Abdul Karim, dan karena kealimannya, Gus Juqi tetap merendah kepada siapapun meski dia pandai. Salah satunya sekitar tahun 1957 KH Marzuqi Dahlan pernah mendapat tantangan dari pengurus pondok agar beliau mengaji Kitab Ihya’Ulumuddin karya Imam Ghozali. Jika tidak mau maka seluruh pengurus akan pindah mengaji di pesantren lain.
Tetapi meskipun Gus Juqi cukup menguasai kitab tersebut, malah dengan merendah beliau mengatakan "Biar Gus Idris (KH Ahmad Idris Marzuqi) yang akan membacanya". Namun atas desakan lurah pondok, akhirnya beliau mengiyakan.
Tidak main-main, saat mengaji kitab kuning 'Ihyak Ulumuddin' Gus Juqi menggunakan kitab baru yang belum pernah dibuka sama sekali kosong tanpa makna (terjemahan). Bahkan dalam mengaji beliau justru yang dibawa adalah silet, untuk memudahkan membuka lembaran-lembaran yang kadang masih merekat. Setelah tiga setengah tahun mengaji karya Imam Ghozali itu, kemampuan KH Marzuqi Dahlan teruji.
Tahun 1973, menunaikan ibadah haji, dua tahun kemudian kesehatan Gus Juqi, semakin menurun karena faktor usia. Akhir bulan Syawal tahun 1975 beliau sakit keras, dalam usia yang ke 70 tahun tepatnya 18 November 1975 sang kiai alim ahli tasawuf itu pergi menghadap Allah SWT selama-lamanya. Kabut duka bergelayut di atas pesantren yang didirikan oleh paman sekaligus mertuanya pada tahun 1910.
Selanjutnya tampuk kepemimpinan pesantren Lirboyo diteruskan oleh KH Mahrus Aly, asal Dusun Gedongan Desa Ender Kecamatan Astanajapura Kabupaten Cirebon, seorang ulama besar yang alim dan juga pejuang kemerdekaan. Beliau adalah menantu dari KH Abdul Karim pendiri Pesantren Lirboyo, yang dinikahkan dengan Nyai Zaenab.