Menhan mengaku tak tahu soal pembelian helikopter Kepresidenan
Menhan mengaku tak tahu soal pembelian helikopter Kepresidenan. Presiden Jokowi sudah menolak pembelian helikopter AgustaWestland AW 101. Namun setelah itu muncul perencanaan dari TNI AU atas pesawat jenis yang sama dengan peruntukan helikopter angkut berat.
Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu mengaku tidak mengetahui soal pembelian pesawat helikopter AgustaWestland AW 101. Sebab awalnya rencana pengajuan pembelian pesawat AW 101 berasal dari Sekretaris Negara. Pesawat AW 101 ini diperuntukkan untuk pesawat Kepresidenan.
"Begini itu dulu pesawat Kepresidenan. Pesawat presiden itu melalui Setneg. Uangnya dari Setneg. Jadi Menteri Pertahanan enggak tahu apa-apa, dia enggak tahu apa-apa," kata Ryamizard di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (6/2).
Setelah mendapat penolakan Presiden Joko Widodo, tiba-tiba muncul perencanaan dari TNI AU atas pesawat jenis yang sama dengan peruntukan helikopter angkut berat.
Akan tetapi, menurut Ryamizard, anggaran pembelian pesawat itu telah dibayarkan oleh Kemenkeu untuk memfasilitasi rencana pengadaan pesawat VVIP Kepresidenan dari Setneg. Untuk itu, Ryamizard membantah anggaran yang dikeluarkan Kemenkeu atas nama Kementerian Pertahanan.
"Jadi waktu dia enggak boleh, baru ke Kemhan tapi kan uang itu sudah dibayar. Bukan melalui Kemhan, melalui Kemenkeu. Karena Kemenkeu memfasilitasi kalau Kepresidenan langsung ke Setneg, gitu. Jadi waktu kerja, panglima enggak tahu. Saya juga enggak tahu. Setneg yang tahu," jelasnya.
Senada dengan Ryamizard, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo juga menyatakan tidak tahu menahu soal pembelian delapan unit helikopter AgustaWestland AW101. Gatot mengatakan tim investigasi masih bekerja menyelidiki pesawat helikopter jenis AW 101 yang diperuntukkan untuk kepentingan mengangkut pasukan dan SAR, bukan untuk VVIP.
"Ya memang enggak tahu saya, ya. Itu juga yang saya heran, makannya karena saya heran saya kirimkan tim investigasi, supaya saya tidak heran lagi, jadi jelas," kata Gatot.
Tim investigasi akan menelusuri dan memastikan prosedur pengadaan, pembayaran hingga kelayakan pesawat AgustaWestland AW101 sudah sesuai prosedur.
"Kan harus dilihat prosedurnya, pengadaannya sudah benar atau tidak, prosedur pembayarannya bagaimana apakah mencantumkan studi dan lain sebagainya, kemudian apakah itu benar-benar baru atau bekas yang lama," tegas dia.
Gatot membenarkan jika pengadaan pesawat itu berasal dari satuan angkatan udara. Meski begitu, dia memutuskan membatalkan pembelian pesawat helikopter itu karena dilarang oleh Presiden Jokowi.
"Iya (dari TNI AU). Yang jelas saya sudah membuat surat, sudah menginformasikan bahwa itu dilarang oleh presiden," jelasnya.
Sebelumnya, Presiden Jokowi mengambil sikap tegas untuk tidak menyetujui rencana pembelian helikopter AgustaWestland AW-101 bikinan Westland Helikopter di Inggris dan Agusta di Italia. Rencana pembelian helikopter AW-101 ini berdasarkan usulan TNI Angkatan Udara.
"Baru saja diputuskan presiden, pembelian heli untuk VVIP di mana AU mengusulkan heli ini yaitu AW-101 dan seperti yang diketahui bersama, untuk sekarang presiden menggunakan SuperPuma. Dengan mempertimbangkan dan masukan, presiden memutuskan untuk tidak menyetujui AW-101," kata Sekretaris Kabinet Pramono Anung di Istana, Jakarta, Kamis (3/12).
Bukan tanpa sebab Presiden Jokowi tidak menyetujui rencana pembelian helikopter AW-101. Pertama, jelas Pramono, presiden beranggapan helikopter yang ada saat ini masih bisa digunakan dengan maksimal.
"Kedua, kondisi keuangan saat ini pembelian heli dianggap tinggi. Presiden masih menggunakan heli yang ada," jelas Pramono.
Lebih lanjut, tambah Pramono, memang perlu dipikirkan untuk helikopter sebagai cadangan backup untuk Presiden ketika melakukan kunjungan-kunjungan. "Karena sekarang ini tak ada backupnya," terangnya.
Seperti diketahui, TNI AU mengusulkan akan membeli helikopter AgustaWestland AW-101 buatan Westland Helicopters di Inggris dan Agusta di Italia untuk Presiden ketika melakukan kunjungan ke daerah terpencil. Usulan tersebut banyak mendapatkan kritikan lantaran pembelian helikopter tidak melibatkan perusahaan dalam negeri, PT Dirgantara Indonesia.