MK Minta Judul Gugatan Kaesang Dilarang Jadi Gubernur Dihapus, Dinilai Tak Etis dan Provokatif
Jadi selain berhukum berdasarkan rule of law, seluruh warga negara juga mesti memegang teguh rule of etik.
Mahkamah Konstitusi (MK) memberikan saran terhadap Aufaa Luqmana Re A, warga Surakarta yang juga putra dari Boyamin Saiman, atas gugatan Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, khususnya Pasal 7 ayat (2) huruf e UU Pilkada yang mengatur batas usia para calon kepala daerah. Salah satunya soal penggunaan judul gugatan yang secara langsung menyebutkan nama Kaesang Pangarep.
Hakim Konstitusi Arsul Sani menyampaikan dalam persidangan, bahwa hasil dari putusan MK tentu akan mengikat untuk semua pihak. Sebab itu, penggunaan nama Karsang Pangarep dalam gugatan tersebut dinilai kurang tepat.
- Eks Gubernur Malut Abdul Gani Kasuba Divonis 8 Tahun Penjara
- MK Tolak Gugatan Syarat Usia Calon Kepala Daerah, Kaesang Terganjal Maju Pilgub
- Begini Respons Aufaa Adik Almas Tsaqibbirru Usai Diminta MK Hapus Judul Gugatan Kaesang Dilarang Jadi Gubernur
- Kaesang Siap Jadi Gubernur Jateng, Ganjar: Bagus, Ikuti Saja
"Ini saran, yang namanya perkara yang dituangkan dalam bentuk permohonan dari pemohon di Mahkamah Kontitusi itu adalah permohonan uji formil atau uji materil yang putusannya itu bersifat mengikat semua. Jadi sebagai sebuah permohonan yang nanti apakah putusannya nanti dikabulkan, apakah dikabulkan seluruhnya atau dikabulkan sebagian, atau pun ditolak ya, itu berlaku mengikat untuk semua. Jadi ini bukan permohonan tentang orang perorangan atau pun tentang terhadap orang tertentu," tutur Arsul di Gedung MK, Jakarta Pusat, Senin (5/8).
"Oleh karena itu, saran penasehatan yang pertama sebaiknya judul permohonan yang berbunyi Kaesang dilarang jadi gubernur itu tidak perlu ada," sambungnya.
Arsul juga memberikan pemahaman, bahwa MK memiliki kewenangan untuk menguji norma Undang-Undang dengan norma Undang-Undang Dasar, namun bukan menguji putusan lembaga peradilan lain atau lembaga lain yang bukan pembentuk Undang-Undabg dengan Undang-Undang Dasar.
"Jadi ya pemohon sebaiknya fokus saja bahwa yang dimohonkan dalam perkara ini adalah pemaknaan untuk memperjelas tentang Pasal salah satu poin syarat pencalonan, itu saja dimaknai," jelas dia.
"MK itu bukan de juris-nya dari lembaga peradilan lain ataupun lembaga lain. Kalau pun mau de juris-nya itu ada pembentuk Undang-Undang yakni DPR dan Presiden. Jadi saran yang kedua adalah sebaiknya tidak dikaitkan. Kenapa, meskipun itu sebagai sebuah fakta ada putusan yang lain tetapi Mahkamah Konstitusi juga tidak bisa tergantung ada atau tidaknya putusan lain. Itu yang perlu pemohon ingat," lanjut Arsul Sani.
Hakim Konstitusi Arief Hidayat juga menilai judul gugatan yang dilayangkan Aufaa Luqmana Re A tidak lazim dan jauh dari etika. Sebab itu, dia berharap pemohon dapat mempertimbangkan untuk mengubah judul dari permohonan tersebut.
"Permohonan itu bagaimanapun harus memenuhi unsur kepatutan, kewajaran, dan kesopanan. Ini kalau begini nih ya setelah kepada Ketua Mahkamah Konstitusi perihal ada heading Kaesang dilarang jadi gubernur ini tidak memenuhi kaidah-kaidah kepatutan, kaidah-kaidah kepantasan, dan itu tidak ada dan itu tidak lazim," ujar Arief.
"Supaya dihapus, ini provokatif ndak boleh permohonan begini. Seolah-olah memprovokasikan orang Indonesia atau memprovoksi hakim supaya memutus seperti apa yang diinginkan ini enggak benar ini," imbuhnya.
Sebagai masyarakat yang tinggal di Indonesia, Arief menjelaskan, tentu berhukum harus sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, termasuk soal kepatutan dan etika hukum yang baik. Jadi selain berhukum berdasarkan rule of law, seluruh warga negara juga mesti memegang teguh rule of etik.
"Ini permohonan yang nggak etis kalau saya mengatakan, tidak boleh dikasih begini. Apalagi ini kuasa hukumnya dan pemohonnya adalah anak-anak muda, tadi sudah disinggung oleh Yang Mulia Doktor Arsul, nggak perku dikasih begitu, enggak etis, ya," bebernya.
Arief meminta semua pihak dapat membiasakan diri untuk berhukum di Indonesia sesuai dengan ideologi dasar negara yakni Pancasila. Selain tidak melanggar hukum, juga sangat penting untuk tidak melanggar etika.
"Harus patut dan wajar, tidak provokatif begini, ya. Tolong ini dihapus, tapi terserah saudara mau dihapus atau tidak. Tapi dari sisi saya sebagai orang tua memberi nasihat ya, yang hukum itu juga dibalik hukum juga ada moral, etika, kepatututan, kepantasan, kewajaran, dan ada semangat tidak saling menyakiti, itu harus kita lakukan. Jadi kalau nganu ya dihapus saja," Arief menandaskan.