MK tolak gugatan UU Penyiaran soal tayangan iklan rokok
Hamdan menerangkan dalil yang diajukan pemohon dalam uji materi ini tidak kuat.
Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materi Pasal 46 ayat 3 huruf C Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Pasal ini membolehkan lembaga penyiaran untuk menayangkan iklan rokok, tetapi tidak memperagakan wujud rokok.
"Mengadili, menyatakan menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," ujar Ketua MK Hamdan Zoelva membacakan amar putusan di ruang sidang MK, Jakarta, Kamis (8/10).
Hamdan menerangkan dalil yang diajukan pemohon dalam uji materi ini tidak kuat. Hal ini lantaran MK telah mengeluarkan putusan terkait permohonan yang sama sebelumnya.
"Pokok permohonan para pemohon tidak beralasan menurut hukum," terang dia.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Arief Hidayat mengatakan, pada putusan sebelumnya MK telah menolak permohonan para pemohon. Hal ini didasarkan pada pertimbangan hukum yang menyatakan bahwa rokok masih dipandang sebagai komoditi yang legal.
"Sehingga promosi rokok juga harus tetap dipandang sebagai tindakan yang legal pula," terang Arief.
Selanjutnya, terang Arief, MK juga memandang bahwa tidak ada peraturan yang secara tegas menyatakan rokok merupakan produk yang dilarang untuk dipublikasikan. Atas hal itu, menurut dia, dalil pemohon yang menyatakan hak konstitusionalnya terganggu akibat adanya iklan rokok tidak dapat diterima.
"Mahkamah tidak pernah menempatkan rokok sebagai produk yang dilarang untuk dipublikasikan, terlebih lagi tidak ada larangan untuk diperjualbelikan begitu pun tidak pernah menempatkan tembakau dan cengkeh sebagai produk pertanian yang dilarang, sehingga rokok adalah produk yang legal, terbukti dengan dikenakannya cukai terhadap rokok dan tembakau," ungkap Arief.
Permohonan uji materi ini diajukan oleh Hilarion Haryoko, Sumiati, Normansyah, Winarti, Muhammad Fathi Akbar, Ari Subagio Wibowo, Catharina Triwidarti, Octavianus Bima Archa Wibowo, Syaiful Wahid Nurfitri, dengan menunjuk Azaz Tigor Nainggolan bersama beberapa pengacara yang tergabung dalam Solidaritas Advokat Publik untuk Pengendalian Tembakau (SAPTA INDONESIA) sebagai kuasa hukum. Mereka mendalilkan pemberlakuan pasal tersebut mengancam masa depan kesehatan masyarakat terutama generasi penerus.