Tok! MK Kabulkan Sebagian Gugatan UU Cipta Kerja
Gugatan UU Cipta Kerja ini dilayangkan sejumlah serikat pekerja di antaranya Serikat Pekerja Indonesia.
Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan Partai Buruh dan sejumlah federasi serikat pekerja lain, terkait uji materi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja.
"Amar putusan, mengadili, mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian," kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar putusan Perkara Nomor 168/PUU-XXI/2023 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis (31/10).
MK setidaknya mengabulkan pengujian konstitusional 21 norma dalam UU Cipta Kerja yang dimohonkan oleh Partai Buruh. Sementara itu, satu pasal yang dimohonkan tidak dapat diterima, sedangkan permohonan selain dan selebihnya ditolak karena tidak beralasan menurut hukum.
Adapun, pokok permohonan yang dikabulkan MK tersebut berkenaan dengan norma Pasal 42 ayat (1) dan ayat (4) dalam Pasal 81 angka 4; Pasal 56 ayat (3) dalam Pasal 81 angka 12; Pasal 57 ayat (1) dalam Pasal 81 angka 13; Pasal 64 ayat (2) dalam Pasal 81 angka 18; Pasal 79 ayat (2) huruf b dan Pasal 79 ayat (5) dalam Pasal 81 angka 25; Pasal 88 ayat (1), Pasal 88 ayat (2), serta Pasal 88 ayat (3) huruf b dalam Pasal 81 angka 27;
Kemudian, Pasal 88C, Pasal 88D ayat (2), Pasal 88F dalam Pasal 81 angka 28; Pasal 90A dalam Pasal 81 angka 31; Pasal 92 ayat (1) dalam Pasal 81 angka 33; Pasal, 95 ayat (3) dalam Pasal 81 angka 36; Pasal 98 ayat (1) dalam Pasal 81 angka 39; Pasal 151 ayat (3) dan ayat (4) dalam Pasal 81 angka 40; Pasal 157A ayat (3) dalam Pasal 81 angka 49; dan Pasal 156 ayat (2) dalam Pasal 81 angka 47 UU Cipta Kerja.
Sementara itu, satu pokok permohonan yang tidak dapat diterima adalah berkenaan dengan norma Pasal 156 ayat (4) dalam Pasal 81 angka 47 UU Cipta Kerja. MK tidak dapat menerima karena pokok permohonan terkait pasal dimaksud bersifat prematur.
Perkara Nomor 168/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh Partai Buruh, Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI).
Para pemohon mengajukan 71 poin petitum yang terdiri dari tujuh klaster dalil, yakni dalil mengenai penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA), Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), pekerja alih daya (outsourcing), cuti, upah dan minimum upah, pemutusan hubungan kerja (PHK), uang pesangon (UP), uang penggantian hak upah (UPH), dan uang penghargaan masa kerja (UPMK).
Dalam pertimbangannya, hakim MK menyinggung dalil pemohon terkait 'istirahat panjang' pada Pasal 79 ayat (2) dan Pasal 81 angka 25 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023.
Menurut MK, tidak terdapat persoalan inkonstitusionaltas dalam Pasal tersebut. Sebab, istirahat yang dimaksud sudah dijelaskan dalam Pasal 84 dalam Pasal 81.
Dalam pasal itu dijelaskan, buruh yang mengambil istirahat mingguan, cuti tahunan, istirahat panjang, termasuk ketika melakukan ibadah, serta istirahat sebelum dan setelah melahirkan, tetap mendapat upah penuh. Sehingga pekerja atau buruh mendapatkan haknya atas perlindungan hidup yang layak.
"Berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, tidak terdapat persoalan inkonstitusionaltas norma Pasal 79 ayat (2) dalam Pasal 81 angka 25 UU 6/2023 yang dikaitkan dengan norma Pasal 84 dalam Pasal 81 angka 26 UU 6/2023. Dengan demikian, dalil para Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum," kata Hakim MK Saldi Isra, Kamis (31/10).
Sementara itu, hakim MK menerima dalil pemohon terkait penghilangan frasa upah 'yang proporsional' dalam Pasal 88 ayat (3) huruf b dan Pasal 81 angka 27 UU 6 Tahun 2023. Menurut MK, frasa tersebut penting untuk mewujudkan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
"Oleh karena itu, menurut Mahkamah norma Pasal 88 ayat (3) huruf b dalam Pasal 81 angka 27 UU 6/2023 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memilki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai 'struktur dan skala upah yang proporsional'," ucap Saldi Isra.
Hakim MK kemudian menambah frasa dalam pasal tersebut menjadi berbunyi 'struktur dan skala upah yang proporsional' sebagaimana selengkapnya termuat dalam amar putusan a quo.
"Berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, dalil para pemohon berkenaan dengan inkonstitusionalitas norma Pasal 88 ayat (3) huruf b dalam Pasal 81 angka 27 UU 6/2023, terutama berkaitan dengan struktur dan skala upah' adalah beralasan menurut hukum untuk sebagian," ucapnya.
Sebagai informasi, sejumlah serikat pekerja melayangkan gugatan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang kepada Mahkamah Konstitusi (MK).
Serikat pekerja itu di antaranya Federasi Serikat Pekerja Kimia, Energi, dan Pertambangan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP KEP SPSI), Persatuan Pegawai Indonesia Power (PP IP), Serikat Pekerja Indonesia (FSPI), Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia ’98 (PPMI ’98), dan Serikat Pekerja PT Perusahaan Listrik Negara (PERSERO) (SP PLN).
Buruh Kawal Pembacaan Putusan Gugatan UU Cipta Kerja
Ribuan buruh bakal mengawal pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor Perkara 40 tentang Klaster Ketenagakerjaan dalam UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang, Kamis (31/10).
Koordinator Presidium Gerakan Kesejahteraan Nasional (Gekanas), R Abdullah meminta hakim konstitusi agar klaster ketenagakerjaan dikeluarkan dari UU Cipta Kerja dan kembali kepada regulasi awal. Gekanas merupakan gerakan aliansi dari 18 serikat pekerja yang mengajukan 'judicial review' kepada MK.
"Kami berharap majelis hakim buat keputusan seadil-adilnya untuk kepentingan masyarakat pekerja," kata dia.
Abdullah mengatakan, UU Cipta Kerja membuat ketidakpastian dalam dunia kerja dan merugikan pekerja.
Gekanas menyimpulkan UU Cipta Kerja mendegradasi nilai-nilai yang ada di aturan sebelumnya, yakni UU Nomor 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan.
Dia mengatakan, ada sejumlah hal yang membuat pekerja tidak diuntungkan seperti memberikan kemudahan kepada pemberi kerja dalam melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Padahal di regulasi sebelumnya ada mekanisme yang dilakukan agar pekerja dapat dirumahkan.
Selain itu ada kompensasi pesangon, kemudahan memberikan kemudahan bagi pekerja kontrak dan pekerja alih daya (outsourcing).
Lalu memberikan kemudahan kepada pekerja asing mendapatkan pekerjaan serta pemberi kerja cenderung memberikan upah yang tidak layak kepada pekerja.
"Ini yang coba kami mohon agar di 'judicial review' kembali oleh majelis hakim," kata dia.
Menurut dia, pembentukan UU Cipta Kerja bertujuan untuk memudahkan investasi dan membuka lapangan pekerjaan tapi dua hal tersebut tidak tumbuh hingga saat ini.
Selain itu, lapangan kerja tumbuh lima persen setiap tahun. Artinya ada 200 ribu lowongan pekerja baru dan kalau di bidang padat karya bisa 400 ribu.
Tapi jumlah itu kalah dari jumlah angkatan kerja yang tumbuh setiap tahun mencapai empat juta orang dan ini membuat suplai dan permintaan tidak seimbang.
UU Cipta Kerja ini juga memberikan kemerdekaan kepada pengusaha mulai dari penggunaan tenaga kerja fleksibel dengan upah murah hingga kemudahan melakukan PHK kepada buruh.