DPR-pemerintah diminta hati-hati masukkan motif politik dalam definisi terorisme
Menurut Al Araf, hal tersebut malah akan menyulitkan kepolisian untuk melakukan pengejaran terhadap jaringan teroris.
Direktur Eksekutif Imparsial, Al Araf mengingatkan dalam mendefinisikan terorisme harus hati-hati memasukkan motif politik. Menurutnya, hal tersebut malah akan menyulitkan kepolisian untuk melakukan pengejaran terhadap jaringan teroris.
"Saya setuju hati-hati masukkan motif politik, karena pemerintah sendiri yang sulit untuk jelaskan ke level politik, akhirnya tidak bisa mengejar jaringan," ujar Al Araf dalam diskusi bertema 'Pengesahan Revisi UU Anti Terorisme' di Hotel Pullman, Jakarta Pusat, Selasa (22/5).
-
Apa yang diputuskan oleh Pimpinan DPR terkait revisi UU MD3? "Setelah saya cek barusan pada Ketua Baleg bahwa itu karena existing saja. Sehingga bisa dilakukan mayoritas kita sepakat partai di parlemen untuk tidak melakukan revisi UU MD3 sampai dengan akhir periode jabatan anggota DPR saat ini," kata Dasco, saat diwawancarai di Gedung Nusantara III DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis (4/4).
-
Bagaimana cara mencegah tindakan terorisme? Cara mencegah terorisme yang pertama adalah memperkenalkan ilmu pengetahuan dengan baik dan benar. Pengetahuan tentang ilmu yang baik dan benar ini harus ditekankan kepada siapa saja, terutama generasi muda.
-
Bagaimana peran Ditjen Polpum Kemendagri dalam menangani radikalisme dan terorisme? Ketua Tim Kerjasama Intelijen Timotius dalam laporannya mengatakan, Ditjen Polpum terus berperan aktif mendukung upaya penanganan radikalisme dan terorisme. Hal ini dilakukan sejalan dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme Tahun 2020-2024.
-
Dimana serangan teroris terjadi? Serangan tersebut terjadi di gedung teater Crocus City Hall yang berlokasi di Krasnogorsk, sebuah kota yang terletak di barat ibu kota Rusia, Moskow.
-
Kenapa revisi UU Kementerian Negara dibahas? Badan Legislasi DPR bersama Menpan RB Abdullah Azwar Anas, Menkum HAM Supratman Andi Agtas melakukan rapat pembahasan terkait revisi UU Kementerian Negara.
-
Kenapa Ditjen Polpum Kemendagri menggelar FGD tentang penanganan radikalisme dan terorisme? Direktorat Jenderal (Ditjen) Politik dan Pemerintahan Umum (Polpum) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menggelar Focus Group Discussion (FGD) dalam rangka Fasilitasi Penanganan Radikalisme dan Terorisme di Aula Cendrawasih, Kantor Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Provinsi Jawa Tengah, Rabu (23/8).
Al Araf menilai lebih penting merumuskan makna teroris dengan asosiasi terhadap unsur teror. Sebab, selama ini tanpa ada definisi unsur politik saja, Densus 88 sulit melakukan penindakan terhadap jaringan.
"Hati-hati masukkan politik, yang dijelaskan unsur-unsur kejahatan, ancaman, teror," imbuhnya.
Selain itu, Al Araf mengkritisi pasal 43 huruf C yang mencontohkan pihak yang rentan terhadap paham terorisme adalah pelajar, mahasiswa, dan tokoh agama. Dia menilai seharusnya tidak perlu dirinci penyebutannya.
"Diganti aja cukup setiap orang, di pasal 43 C, bisa diperbaiki sangat singkat," katanya.
Seperti diketahui, antara DPR dan pemerintah berdebat panjang tentang frasa terorisme dalam revisi Undang-undang tersebut. Definisi itu termaktub dalam Pasal 1 angka 1 draf Revisi UU nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Bunyi pasal tersebut saat diajukan yakni: 'Tindak Pidana Terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini'.
DPR ingin definisi terorisme memasukkan unsur politik. Artinya, seorang pelaku kejahatan bisa dikategorikan sebagai terorisme jika merusak obyek vital strategis, menimbulkan ketakutan yang masif, untuk mencapai tujuan tertentu utamanya di bidang politik.
Pelaku juga harus dibuktikan memiliki atau terlibat dalam suatu jaringan kelompok teroris. Pemerintah menilai, tak perlu ada unsur politik dalam definisi terorisme itu sendiri.
Detasemen Khusus (Densus) Antiteror 88 berbeda pendapat dengan Kapolri Jenderal Tito Karnavian soal definisi terorisme dalam pembahasan Revisi Undang-undang (RUU) No 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Anggota Pansus Arsul Sani menuturkan bahwa Densus 88 sesungguhnya bukan tidak setuju memasukkan unsur politik dalam definisi. Politisi PPP ini menjelaskan Densus menginginkan frasa politik ditaruh di penjelasan, bukan batang tubuh.
Sebelumnya, Ketua Pansus Muhammad Syafii mengaku pemerintah sudah sepakat soal memasukkan frasa tujuan politik ke dalam definisi. Namun, hal itu ditentang oleh Densus 88. Padahal Kapolri Jenderal Tito Karnavian, sudah setuju.
Di lain pihak, Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Setyo Wasisto mengatakan tidak ada perbedaan pendapat antara pimpinan Polri dengan Densus. Menurutnya, Polri satu suara terkait definisi terorisme dalam revisi undang-undang.
Pembahasan revisi UU Terorisme itu sendiri akan kembali dibahas Pansus pada Rabu (23/5) besok. Termasuk di dalamnya akan dibahas frasa unsur politik dalam definisi.
Baca juga:
Ketua DPR minta Komnas HAM dan pihak tak setuju RUU antiterorisme gugat ke MK
Moeldoko minta pembahasan RUU Terorisme tidak dipolitisasi
Imparsial sebut RUU Terorisme harus pertimbangkan HAM agar tidak represif
Polri minta RUU Terorisme segera disahkan karena teror takkan berhenti
Pansus gelar rapat bahas 'tujuan politik' dalam definisi Terorisme