Nama orang-orang ini melegenda karena jadi tempat prostitusi
Tak sedikit dari nama lokalisasi-lokalisasi itu merujuk atau identik dengan nama seseorang yang dianggap sudah berjasa.
Ada banyak lokasi prostitusi di negeri ini, mulai prostitusi besar, menengah hingga kecil. Menariknya, tidak sedikit dari nama lokalisasi-lokalisasi itu yang merujuk atau identik dengan nama seseorang. Misalnya nama Tante Dolly yang kemudian diabadikan menjadi nama Gang Dolly, lokalisasi prostitusi di Surabaya.
Pada zaman Belanda dulu, Tante Dolly memang pendiri wisma PSK di Jalan Jarak, Kelurahan Putat Jaya, Kecamatan Sawahan, Kota Surabaya, ini. Hingga akhirnya tumbuh menjadi kawasan prostitusi besar, Dolly masih identik dengan nama daerah itu.
Tante Dolly diabadikan sebagai nama gang prostitusi agaknya wajar. Lalu bagaimana dengan nama orang baik-baik yang kemudian dipelesetkan menjadi nama tempat prostitusi? Misalnya nama Sunan Kuning (SK) di Semarang, Jawa Tengah, yang lebih dikenal sebagai tempat prostitusi daripada wisata sejarah petilasan pejuang dan penyiar agama Islam dari China.
Selain Tante Dolly dan Sunan Kuning masih ada nama orang lain lagi yang melegenda karena jadi tempat prostitusi. Berikut ini kisahnya yang dirangkum merdeka.com dari berbagai sumber, Rabu (26/11) pagi:
-
Siapa yang sering mengalami peradangan prostat? Pada pria dengan rentang usia 30–40 tahun, masalah umum yang sering dihadapi terkait dengan prostat adalah prostatitis, yang merupakan kondisi peradangan pada prostat.
-
Apa itu Prasi? Prasi adalah cerita bergambar, layaknya komik. Mengutip Liputan6.com, Prasi memuat cerita-cerita tradisional yang bersumber dari naskah kuno, termasuk memuat gambar makhluk-makhluk mitologi.
-
Apa itu prosa? Prosa adalah sebuah karya sastra dalam bentuk cerita yang disampaikan menggunakan narasi.
-
Apa saja gejala radang prostat? Gejala radang prostat bisa bervariasi, tergantung pada jenis dan penyebabnya. Beberapa gejala umum yang bisa muncul antara lain:Nyeri saat buang air kecil, buang air besar, atau ejakulasiNyeri di perut, pangkal paha, penis, testis, perineum (area antara pangkal testis dan anus), atau punggung bawahDemamMenggigilMual dan muntah Aliran urine melemahDarah dalam urine atau spermaUrine keruh, berbusa, dan berbau tidak sedapSering buang air kecil di malam hari (nokturia)Inkontinensia urine (kebocoran urine yang tidak terkontrol)
-
Siapa yang berisiko terkena radang prostat? Faktor risiko untuk infeksi bakteri radang prostat adalah perilaku seks berisiko, seperti hubungan seks tanpa pengaman, serta kondisi medis lainnya yang melemahkan sistem kekebalan tubuh.
-
Apa itu pronomina? Pronomina adalah Kata Ganti Nomina, Berikut Jenis dan Contohnya Penggunaan pronomina membantu menghindari pengulangan kata benda yang sama dalam sebuah wacana atau percakapan, sehingga membuat ungkapan lebih efisien dan jelas.
Tante Dolly
Nama Tante Dolly memang populer sebagai nama gang sebuah lokalisasi di Surabaya, Jawa Timur. Legenda Tante Dolly dikenal karena perannya sebagai pencetus komplek lokalisasi di Jalan Jarak, Kelurahan Putat Jaya, Kecamatan Sawahan, Kota Surabaya, ini.
Dalam beberapa kisah tutur masyarakat Surabaya, awal pendiriannya, tante Dolly hanya menyediakan beberapa gadis untuk menjadi pekerja seks komersial. Melayani dan memuaskan syahwat para tentara Belanda. Seiring berjalannya waktu, ternyata pelayanan para gadis asuhan tante Dolly tersebut mampu menarik perhatian para tentara untuk datang kembali.
Dalam perkembangannya, gang Dolly semakin dikenal masyarakat luas. Tidak hanya prajurit Belanda saja yang berkunjung, namun warga pribumi dan saudagar yang berdagang di Surabaya juga ikut menikmati layanan PSK. Sehingga kondisi tersebut berpengaruh kepada kuantitas pengunjung dan jumlah PSK.
Dolly juga menjelma menjadi kekuatan dan sandaran hidup bagi penduduk di sana. Terdapat lebih dari 800 wisma esek-esek, kafe dangdut dan panti pijat plus yang berjejer rapi. Setidaknya setiap malam sekitar 9.000 lebih penjaja cinta, pelacur di bawah umur, germo, hingga ahli pijat yang siap menawarkan layanan kenikmatan kepada para pengunjung.
Tidak hanya itu, Dolly juga menjadi tumpuan hidup bagi ribuan pedagang kaki lima, tukang parkir, dan calo prostitusi. Semua saling berkait menjalin sebuah simbiosis mutualisme.
Kisah lain tentang Dolly juga pernah ditulis Tjahjo Purnomo dan Ashadi Siregar dalam buku berjudul "Dolly: Membedah Dunia Pelacuran Surabaya, Kasus Kompleks Pelacuran Dolly" yang diterbitkan Grafiti Pers, April 1982. Dalam buku itu disebutkan dulu kawasan Dolly merupakan makam Tionghoa, meliputi wilayah Girilaya, berbatasan dengan makam Islam di Putat Gede.
Baru sekitar tahun 1966 daerah itu diserbu pendatang dari berbagai daerah. Setahun kemudian, 1967, muncul seorang pelacur wanita bernama Dolly Khavit di kawasan makam Tionghua tersebut. Dia kemudian menikah dengan pelaut Belanda, pendiri rumah pelacuran pertama di jalan yang sekarang bernama Kupang Gunung Timur I. Wisma miliknya antara lain bernama T, Sul, NM, dan MR. Tiga di antara empat wisma itu disewakan pada orang lain. Demikian asal muasal nama Dolly.
Dolly semakin berkembang pada era tahun 1968 dan 1969. Wisma-wisma yang didirikan di sana semakin banyak. Adapun persebarannya dimulai dari sisi jalan sebelah barat, lalu meluas ke timur hingga mencapai sebagian Jalan Jarak. Namun Gang Dolly kini sudah ditutup melalui kebijakan pemerintah kota setempat pada 19 Juni lalu.
Pak Girun
Di Surabaya ada nama Tante Dolly, maka di Malang, Jawa Timur ada nama Pak Girun. Dia merupakan tokoh pendiri bisnis prostitusi di Desa Gondanglegi Wetan, Kecamatan Gondanglegi. Lokalisasi itu kemudian diberi nama Lokalisasi Girun.
Tokoh masyarakat di area Lokalisasi Girun, Sukartadji Nugroho, menceritakan sejarah berdirinya tempat prostitusi yang sejak Senin, 24 November 2014 kemarin ditutup operasinya itu. Walaupun sebagian besar dikelola oleh perseorangan, namun hanya Girun yang menggunakan nama pendirinya.
"Awalnya, sekitar 1980 seorang tokoh bernama Buaman menampung tuna wisma di rumahnya. Kemudian dibuatkan petak-petak rumah untuk tempat tinggal," katanya.
Pertama berdiri tidak di tempat sekarang ini, melainkan di tanah kosong di kidul (selatan) pasar. Jadi sebenarnya pendiri pertamanya adalah Buaman, baru sekitar tahun 1985 pindah ke tangan Pak Girun.
Saat di kidul pasar mereka diusir warga setempat karena dianggap mengganggu, sehingga pindah ke selatan kuburan. Seperti kebanyakan lokalisasi yang lain, mereka diprotes karena persoalan asusila dan dianggap mengotori lingkungan.
Tidak begitu lama, karena alasan pembongkaran kemudian pindah ke tanah PT KAI sekitar 1983. Di sini kemudian terjadi peralihan dari Buaman ke Pak Girun. Sejak saat itu lokalisasi ini dinamakan Girun. "Saat awal berdiri ada 2 anak di masing-masing rumah. Seingat saya ada 8 rumah, ya sekitar 16 PSK beroperasi," katanya.
Kini Girun ditutup bersama enam lokalisasi lain yakni Suko (Kecamatan Sumberpucung), Slorok (Kromengan), Kebobang (Wonosari), Kalikudu (Pujon), Embong Miring (Ngantang) dan Pulau Bidadari (Sumbermanjing Wetan). Total ada 308 PSK penghuni panti dan 90 mucikari yang harus meninggalkan tempat.
Hingga ditutup, lokalisasi Girun hanya tercatat memiliki 89 orang PSK. Namun sejatinya jumlah mereka jauh dari yang tercatat, karena memang kerap berpindah-pindah dari satu lokalisasi ke lokalisasi lain.
Sunan Kuning
Mendengar nama Sunan Kuning (SK) di Semarang, Jawa Tengah, maka sebagian besar pikiran orang akan tertuju pada lokalisasi di barat Kota Semarang itu. Pada 1966, tempat itu awalnya bernama Lokalisasi Argorejo. Namun entah kemudian dipelesetkan hingga namanya berubah menjadi Lokalisasi Sunan Kuning yang lebih terkenal, karena memang letaknya berdekatan dengan petilasan pejuang dan penyebar Agama Islam dari China, Sunan Kuning (Soen Koeng Ing).
Sunan Kuning adalah lokalisasi resmi terbesar di Kota Semarang. SK terletak di Kelurahan Kalibanteng Kulon, Kecamatan Semarang Barat, menempati areal 4 hektare, terdiri atas 1 RW dan 6 RT. Resosialisasi ini dibuka pada 1966, pertama disebut lokalisasi Sri Kuncoro sesuai nama jalan utama di situ. Dari nama Sri Kuncoro inilah diambil inisial SK, lalu diplesetkan jadi Sunan Kuning.
Sunan Kuning adalah julukan untuk seseorang. Menurut Remy Silado dalam bukunya 9 Oktober 1740: Drama Sejarah, dalam catatan seorang Tionghoa di Semarang, Liem Thian Joe, dikatakan bahwa Sunan Kuning adalah sebutan populer bagi Raden Mas Garendi. Sunan Kuning berasal dari kata Cun Ling (bangsawan tertinggi), yang merupakan salah satu tokoh yang berperan penting dalam peristiwa Geger Pacinan (1740-1743).
Dalam Geger Pacinan 1740-1743, Persekutuan Tionghoa-Jawa Melawan VOC, R.M. Daradjadi menyebut Raden Mas Garendi bersama Kapitan Sepanjang (Khe Panjang) dan Raden Mas Said (Pangeran Sambernyawa) mengobarkan perlawanan sengit terhadap VOC di wilayah kekuasaan Mataram. Perlawanan ini disebut sebagai pemberontakan terbesar yang dihadapi VOC selama berkuasa di Nusantara.
Para pemberontak Jawa-Tionghoa menobatkan Raden Mas Garendi sebagai raja Mataram bergelar "Sunan Amangkurat V Senopati Ing Alaga Abdurahman Sayidin Panatagama" pada 6 April 1742 di Kabupaten Pati Jawa Tengah. Ketika itu, cucu Amangkurat III yang dibuang VOC ini baru berumur 16 tahun - sumber lain menyebut 12 tahun. Dia pun dianggap sebagai 'Raja orang Jawa dan Tionghoa'.
Saritem
Selanjutnya nama lokalisasi populer di Bandung, yakni Saritem. Menelusuri jejak dan sejarah Saritem memang susah, namun konon nama sebuah gang itu diambil dari nama seorang perempuan bernama Sari. Memang banyak versi sejarah nama orang yang merujuk pada asal mula nama gang yang terkenal sebagai lokasi bisnis prostitusi tersebut.
Konon ada yang bilang kalau Saritem itu nama seorang tukang jamu berkulit hitam manis bernama Sari. Ada juga yang menyebutkan, nama Saritem diambil dari nama seorang penjaga warung remang-remang yang nongkrong di pinggir jalan.
Versi lainnya menyebutkan, Saritem adalah nama seorang primadona pekerja seks komersial (PSK) tempo dulu, bernama Nyi Sari. Perempuan itu berkulit hitam manis, sehingga untuk mengabadikan namanya, jalan dari arah Gardujati diberi nama Jalan Saritem.
Namun ada versi lain yang menolak bila nama Sari dikait-kaitkan dengan bisnis prostitusi. Sebab Sari yang pada akhirnya dijadikan nama jalan itu merupakan nama orang baik-baik, orang kaya sukses yang terkenal di daerah itu.
Hauber
Tempat prostitusi lainnya yang konon merujuk pada nama orang adalah Gang Hauber. Hauber merupakan nama orang Belanda yang riwayatnya tidak diketahui. Hauber menjadi nama Gang di Kota Batavia sejak zaman kolonial Belanda, hingga pada 1960-an ramai menjadi tempat prostitusi kelas menengah terkenal di Jakarta.
Meskipun nama gang itu kemudian diganti menjadi Gang Sadar oleh Wali Kota Sudiro. Namun para PSK yang mangkal di sana tetap ramai dan tidak sadar-sadar juga. Gang itu baru sepi sebagai tempat prostitusi pada zaman Gubernur DKI Ali Sadikin.
Soal nama orang Belanda yang menjadi nama jalan di Jakarta, Alwi Sahab menulis dalam bukunya berjudul: Saudagar Baghdad dari Betawi. Dalam buku itu dia mengatakan banyak nama jalan-jalan tempo dulu di Jakarta yang diambil dari nama raja, ratu, pangeran atau pejabat tinggi serta tokoh masyarakat Belanda. Contohnya Gang Scott yang sekarang berubah nama jadi Jalan Budi Kemuliaan.
Gang Scott disebut-sebut merujuk pada nama Robert Scott, seorang pejabat kompeni yang pernah menjadi kepala pelabuhan di Semarang dan setelah pensiun tinggal di Batavia. Kemudian kediamannya itu menjadi nama jalan. Kemudian di Tanah Abang ada nama Jalan Thomas. Dia adalah Indo-Belanda yang tidak diketahui pekerjaannya.