Napi Bebas Berkat Asimilasi Tetap Harus Diawasi dan Dibina
Diakuinya, program asimilasi dan integrasi memerlukan perbaikan dari sisi pengawasan dan pembinaan. Namun, upaya itu memang harus dilakukan sejak lama. Bukan karena pembebasan narapidana ini bersamaan dengan momentum wabah Covid-19.
Lebih dari 36.000 narapidana dibebaskan Kemenkum HAM melalui program asimilasi dan integrasi di tengah pandemi virus corona atau Covid-19. Dari ribuan napi tersebut, puluhan di antaranya kembali berulah. Ada yang menjadi kurir narkoba, melakukan penjambretan hingga mencuri.
Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Erasmus Napitupulu mengatakan data yang dikantonginya, hanya 13 narapidana yang berulah. Melihat data itu, program asimilasi dan integrasi narapidana tak bisa dianggap gagal.
-
Kapan virus corona ditemukan? Virus virus adalah sekelompok virus yang meliputi SARS-CoV (virus korona sindrom pernafasan akut parah), MERS-CoV (sindrom pernapasan Timur Tengah coronavirus) dan SARS-CoV-2, yang menyebabkan Covid-19.
-
Apa yang menjadi tanda awal mula pandemi Covid-19 di Indonesia? Pada tanggal 2 Maret 2020, Indonesia melaporkan kasus pertama virus Covid-19, menandai awal dari pandemi yang memengaruhi seluruh masyarakat.
-
Bagaimana virus Covid-19 pertama kali masuk ke Indonesia? Kasus ini terungkap setelah NT melakukan kontak dekat dengan warga negara Jepang yang juga positif Covid-19 saat diperiksa di Malaysia pada malam Valentine, 14 Februari 2020.
-
Kapan virus menjadi pandemi? Contohnya seperti virus Covid-19 beberapa bulan lalu. Virus ini sempat menjadi wabah pandemi yang menyebar ke hampir seluruh dunia.
-
Apa yang terjadi pada kasus Covid-19 di Jakarta menjelang Nataru? Kasus Covid-19 meningkat di Ibu Kota menjelang Natal 2023 dan Tahun Baru 2024.
-
Kapan kasus Covid-19 pertama di Indonesia diumumkan? Presiden Jokowi mengumumkan hal ini pada 2 Maret 2020, sebagai kasus Covid-19 pertama di Indonesia.
"Jumlah pengulangan tindak pidana selama 3 tahun terakhir 10,18 persen. Pengulangan dan residivisme itu ada peluang terjadi. Ini soal narasi baca data aja menurut saya, tapi diglorifikasi seakan-akan kita dalam kondisi begitu fatalistik," kata Erasmus kepada merdeka.com, Rabu (15/4).
Diakuinya, program asimilasi dan integrasi memerlukan perbaikan dari sisi pengawasan dan pembinaan. Namun, upaya itu memang harus dilakukan sejak lama. Bukan karena pembebasan narapidana ini bersamaan dengan momentum wabah Covid-19.
"Itu umum, enggak melekat ke soal pengeluaran napi karena pandemi ini. Posisi ICJR tetap, kami mendukung langkah Kumham untuk pelepasan dan pembebasan napi," tegasnya.
Ia melanjutkan, ICJR juga mendukung rencana pemerintah menjalankan program asimilasi dan integrasi gelombang kedua bagi narapidana kejahatan narkotika serta kelompok rentan seperti orang tua dan anak-anak yang sakit. Adapun mekanisme pengawasan bagi para narapidana yang dibebaskan nanti bisa melibatkan keluarga.
"Misalnya harus dicek alamat tetap dari Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) yang bersangkutan, biar bisa dikontrol," ujarnya.
Kepada masyarakat, Erasmus berpesan tiga hal terkait pembebasan narapidana. Pertama, mengedukasi diri agar tidak termakan narasi ketakutan soal narapidana. Kedua, pembebasan narapidana bertujuan menekan penyebaran Covid-19.
"Jadi memang kesannya tiba-tiba, tapi apa yang dilakukan ini untuk kebaikan masyarakat juga. Kalau Covid masuk ke lapas, maka bisa bahaya juga untuk masyarakat," jelasnya.
Terakhir, soal stigma negatif terhadap narapidana. Erasmus berharap masyarakat tak menganggap semua orang yang dijebloskan ke jeruji besi jahat.
"tidak semua orang yang masuk lapas itu jahat, mereka perlu masyarakat untuk bisa berubah. Banyak pula di antara mereka yang mau berubah, jadi kita bantu," ucapnya.
Napi yang Berulah Dikembalikan ke Lapas
Terpisah, Kriminolog Leopold Sudaryono mengatakan pada dasarnya program asimilasi dan integrasi baik karena bertujuan membantu narapidana secara berangsur kembali ke masyarakat. Namun, memang diakui ada puluhan narapidana yang kembali melakukan kejatahan seperti penggunaan narkona dan pencurian.
Bagi mereka yang mengulangi kejahatan ini maka harus ditindak sesuai aturan yang berlaku. Yakni membatalkan asimilasi atau mengembalikan ke lapas kemudian pemidanaan untuk tindak pidana baru ditambah pemberatan (1/3 hukuman).
"Di satu sisi Pemerintah harus lebih aktif mengkomunikasikan programnya. Di lain sisi, pemerintah juga harus tetap memperkuat pengawasan dan pembimbingan napi/klien yang jadi bagian program asimilias/PB. Ini tidak mudah karena kondisi Covid dan pembatasan mobilitas," ucapnya.
Di tengah pembebasan narapidana, Leopold melihat narasi-narasi negatif berisi ancaman tentang pembunuhan, perkosaan dan kejahatan serius lain yang tidak berdasarkan data beredar luas. Ia menduga ada dua pihak yang melakukan hal ini.
"Pertama, yang membutuhkan legitimasi untuk menggunakan kekuatan coercive dalam kondisi Covid. Kedua, yang justru ingin mendelegitimasi kekuasaan saat ini," katanya.
(mdk/rhm)