Nelangsa keluarga penambang Gunung Botak hidup di tenda darurat
Penambang emas ilegal ini menuntut janji pemerintah setempat yang akan memfasilitasi pemulangan.
Sejak penutupan area penambangan emas ilegal Gunung Botak, Pulau Buru, Maluku, ratusan penambang memilih keluar meninggalkan Namlea menuju daerah asalnya. Namun tidak sedikit masih bertahan dengan kondisi mengenaskan, lantaran tak cukup uang untuk pulang.
Ratusan penambang memenuhi kawasan sekitar pelabuhan feri maupun Namlea. Para penambang tersebut telah menempati areal sekitar emperan dan pagar sekitar kedua pelabuhan sejak Sabtu (14/11), menyusul tindakan tegas pengosongan dan penutupan tambang Gunung Botak oleh tim terpadu bentukan Pemprov Maluku.
Kondisi para penambang tersebut sangat memprihatinkan karena hanya tinggal di bawah selembar terpal yang dipasang agar terlindung dari terik matahari, dan tidur beralaskan tikar atau barang bawaan mereka.
Tampak puluhan anak kecil dan balita serta kaum perempuan yang merupakan keluarga para penambang, duduk dan bermain di antara tumpukan barang-barang yang dibawa keluar dari lokasi tambang tersebut.
"Saya bersama keluarga sudah menempati areal pelabuhan Namlea sejak tiga hari lalu, setelah keluar dari kawasan Gunung Botak pada Sabtu (14/11)," kata penambang asal Makassar, Sulsel, Rohmin kepada Antara, Rabu (18/11).
Rohmin bersama ratusan penambang asal Sulawesi maupun Jawa, terpaksa berbaur bersama keluarga mereka di sekitar areal pelabuhan hanya dengan membangun tenda darurat dari terpal seadanya, sebagai tempat tinggal sementara.
"Kalau malam kami hanya makan seadanya saja, karena uang yang dimiliki juga terbatas dan tersisa untuk kembali ke kampung halaman. Yang penting istri dan anak-anak bisa makan saja, sambil menunggu kapal untuk pulang ke kampung," ujar Rohmin.
Jika harus mandi, para penambang meminta izin dari petugas pelabuhan itu atau menumpang pada rumah-rumah warga yang berada di sekitar lokasi pelabuhan. Itu pun hanya diprioritaskan untuk anak-anak dan kaum perempuan saja.
Rohmin dan para penambang lainnya mengaku kecewa dengan keputusan pemerintah provinsi Maluku maupun kabupaten Buru yang berjanji akan menampung dan mendata mereka di pelabuhan Namlea, setelah itu akan difasilitasi dan ditanggung biaya pemulangan ke masing-masing daerah asal.
"Saat sosialiasi, kami dijanjikan akan didata dan ditampung pada tempat yang telah disediakan di pelabuhan. Setelah itu akan dibiayai untuk dipulangkan dengan kapal ke masing-masing daerah asal, tetapi ternyata semuanya bohong," ujar penambang lainnya, Achmad.
Tidak ada tempat yang disediakan untuk menampung para penambang bersama keluarga mereka, sehingga terpaksa berteduh dan tidur di bawah tenda-tenda darurat yang dibuat seadanya.
"Kalau kami yang dewasa tidak masalah karena sudah terbiasa dengan kondisi ini, tetapi kasihan anak-anak dan kaum perempuan harus tidur di alam terbuka," ujar penambang lainnya asal Bone, Achmad.
Sejumlah penambang lainya mengaku tidak memiliki uang untuk pulang ke daerah asalnya memilih tetap bertahan di areal sekitar pelabuhan, sambil menunggu kejelasan dari Pemprov Maluku maupun Pemkab Buru.
"Kami tidak memiliki uang untuk kembali ke daerah asal karena baru seminggu datang untuk menambang di Gunung Botak," ujar penambang asal Ternate, Maluku Utara, Baco.
Dia mengakui bersama delapan teman dan kerabatnya datang ke Gunung Botak dengan menumpang kapal milik PT. Pelni dengan harapan dapat menambang dan memperoleh hasil tambang yang lumayan untuk dikirim kepada keluarga mereka.
"Kami baru mengumpulkan material tanah dan membuat kolam rendaman, tetapi belum sempat diolah, sudah disuruh keluar meninggalkan Gunung Botak oleh tim gabungan TNI/Polri dan Satpol PP," ujar Baco.
Lebih dari 500 penambang telah meninggalkan Kota Namlea menggunakan feri menuju Kota Ambon dalam dua hari terakhir.
Feri Tanjung Kabat yang berangkat dari Namlea pada Senin (16/7) malam dipadati sekitar 300-an penumpang, di mana 80 persen di antaranya adalah para penambang dan keluarganya.
Sedangkan pada Minggu (15/11) malam hanya sekitar 100-an penambang berangkat menggunakan feri Wayangan menuju Kota Ambon.
Sedangkan sebagian penambang yang umumnya penambang dari Sulawesi, Maluku Utara dan beberapa daerah di Pulau Jawa masih bertahan di pelabuhan untuk menunggu masuknya kapal Pelni yang akan digunakan untuk kembali ke daerah asalnya.