Ombudsman dalami laporan FITRA soal penurunan tarif interkoneksi
Pemerintah menetapkan penurunan tarif interkoneksi antaroperator selular dengan rata-rata 26 persen dari 18 skema.
Ombudsman Republik Indonesia berencana memanggil Menteri Komunikasi dan Informatika, Rudiantara. Pemanggilan ini terkait laporan disampaikan FITRA terkait kebijakan penurunan tarif interkoneksi.
"Kita akan gelar pleno pada hari Selasa (pekan depan), kita akan putuskan poin-poin penting yang akan kita ambil. Baru akan memanggil terlapor (Rudiantara)," kata Ketua Ombusman RI, Alamsyah Saragih dalam keterangannya, Jakarta, Rabu (7/9).
Menurut dia, Ombudsman bakal mengkaji terkait aturan itu apakah melibatkan pelbagai pihak maupun operator selular lainnya. "Kan itu sebenarnya yang paling penting dalam Kasus ini. Apakah regulasi itu dikeluarkan telah melibatkan pihak lain, apakah ada interest tertentu, atau sesuai prosedur atau tidak," imbuh Alamsyah.
Putusan kebijakan itu ditetapkan Surat Edaran No. 1153/M.Kominfo/PI.0204/08/2016 dan diberlakukan mulai 1 September 2016 sampai dengan Desember 2018. Namun, karena daftar penawaran interkoneksi (DPI) belum seluruhnya diserahkan oleh operator kepada pemerintah maka mesti ditunda.
Dalam surat edaran itu, pemerintah menetapkan penurunan tarif interkoneksi antaroperator selular dengan rata-rata 26 persen dari 18 skema. Seperti misalnya, penurunan biaya panggilan sebelumnya Rp 250 menjadi Rp 204. Opsi penurunan 26 persen itu sudah melalui formula yang dikonsultasikan bersama sebuah firma konsultan independen selama 10 tahun terakhir.
Manager Advokasi dan Investigasi FITRA, Apung Widadi dalam laporannya, menyebut bila kebijakan penurunan tarif interkoneksi tetap dilakukan maka berdampak terhadap potensi kerugian negara. Berdasarkan data dihitung FITRA, ada sejumlah potensi kerugian negara berasal dari Pajak (PPh, PPN, PNBP) sebesar Rp 2,3 triliun dan deviden tidak dibayarkan ke negara sebesar Rp 51,6 triliun.
"Itu kalau dihitung selama lima tahun mendatang mulai dari tahun 2017 sampai 2022 potensi kerugiannya itu," kata Apung saat jumpa pers di kantor ORI, Jakarta, Senin (5/9). lalu.
Tarif interkoneksi sendiri merupakan biaya harus dibayar suatu operator kepada operator lain yang menjadi tujuan panggilan atau telepon. Saat ini tarif interkoneksi berkontribusi 15 persen terhadap penentuan tarif ritel.
Menurut Alamsyah, pihaknya tentu saja perlu mengkaji terlebih dahulu pengaduan dan laporan dari Fitra yang mempermasalahkan Surat Edaran Kementerian Komunikasi dan Informatika bernomor 1153/M.Kominfo/PL.0204/08/2016 yang berisi tentang pemangkasan tarif Interkoneksi dari Rp 250 menjadi Rp 204 yang dikeluarkan oleh Pelaksana Tugas Ketua Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI). Sebagai pelaksanaan dari Peraturan Menteri Nomor 8 Tahun 2006 tentang Biaya Interkoneksi per 1 September 2006.
Ombusman akan mengkaji, apakah policy itu dikeluarkan telah melibatkan pihak-pihak terkait lainnya, atau para operator seluler lainnya. "Kan itu sebenarnya yang paling penting dalam Kasus ini. Apakah regulasi itu dikeluarkan telah melibatkan pihak lain, apakah ada interest tertentu, atau sesuai prosedur atau tidak," imbuh Alamsyah.
Seperti diketahui pada 1 September lalu, penurunan tarif Interkoneksi ini mulai diberlakukan. Karena itu, Manager Advokasi dan Investigasi Forum Indonesia untuk Transparansi (FITRA) Apung Widadi mengadukan dan melaporkan kejanggalan surat edaran Kemenkoinfo ke Ombusman RI pada Senin (5/9/2016) lalu. Surat Edaran itu dinilai telah bertentangan dengan PP No. 52 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi dan PP No. 53 tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit. Padahal kedua peraturan Pemerintah itu sendiri belum direvisi.
Selain itu, FITRA juga dari dokumen yang ada, pemberlakuan penurunan tarif Interkoneksi ini berpotensi merugikan negara sebesar Rp 51,6 triliun. Angka itu diprediksi muncul dari mulai pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, penerimaan negara bukan pajak yang akan hilang dari kas negara selama 2017-2022.