Pantau Pemikiran dan Ucapan Tokoh, Pemerintah Dinilai Panik
Refly khawatir tim ini tak ubahnya Kobkamtib (Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) di era Soeharto.
Ahli hukum tata negara sekaligus pengamat politik Indonesia, Refly Harun mengkritisi pembentukan Tim Hukum Nasional yang bertugas memantau pemikiran dan ucapan Tokoh. Menurutnya, tim yang diinisiasi Menkopolhukam Wiranto ini tidak produktif. Dia khawatir tim ini tak ubahnya Kobkamtib (Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) di era Soeharto.
Menurutnya, ini bisa mengantarkan kembali Indonesia ke arah otoritarianisme. Demokrasi yang sudah dinikmati sejak 1998 mestinya bisa dipelihara dan dijaga dengan baik.
-
Kapan Jenderal Wismoyo menjabat sebagai Kepala Staf TNI AD? Jenderal TNI Wismoyo Arismunandar menjabat Kepala Staf TNI AD dari tahun 1993 sampai 1995.
-
Kapan Wibowo Wirjodiprodjo meninggal? Di akhir hidupnya, Ari dan Ira Wibowo menceritakan bahwa sang ayah pergi dengan tenang, tanpa rasa sakit, dan dikelilingi oleh keluarga tercinta.
-
Apa yang diresmikan oleh Jokowi di Jakarta? Presiden Joko Widodo atau Jokowi meresmikan kantor tetap Federasi Sepak Bola Dunia (FIFA) Asia di Menara Mandiri 2, Jakarta, Jumat (10/11).
-
Kapan Bendungan Jenderal Soedirman diresmikan? Pada tahun 1989, Bendungan Jenderal Soedirman, juga dikenal sebagai Waduk Mrica, diresmikan oleh Presiden Soeharto.
-
Di mana Widodo merintis usaha kerajinan limbah kayu jati? Setelah pensiun tahun 1994, ia pindah ke Desa Tempurejo, Kabupaten Boyolali. Saat pensiun itulah Widodo merintis usaha kerajinan yang diolah dari limbah kayu jati.
-
Siapa yang menyerahkan kekuasaan atas wilayah Jakarta Raya kepada Pemerintah Republik Indonesia? Hal tersebut diawali dengan penandatanganan dokumen-dokumen peralihan kekuasaan atas wilayah Jakarta Raya dari tangan Co Batavia en Ommenlenden kepada Basis Co Jakarta Raya.
"Jadi menurut saya kenapa kita mau set back ke belakang. Demokrasi yang sudah kita nikmati sejak tahun 98 ini, banyak itu kan penuh dengan darah dan air mata kan," kata Refly Harun saat dihubungi Liputan6.com, Rabu (8/5).
Menurutnya, keributan di Indonesia hanya terjadi di media sosial tidak sampai ke realitas. Hal tersebut terbukti dengan amannya penyelenggaraan pemilu pada 17 April lalu. Refly menilai bahwa tidak ada keributan yang berarti dalam pemilu lalu.
"Tidak ada korban jiwa yang terkait dengan bentrokan kan. Tapi kalau terkait penyelenggara yang kelelahan itu soal manajemen pemilu yang harusnya kita tinjau kembali ya," tutur Refly.
Refly menekankan tugas negara bukanlah untuk mengganggu kebebasan sipil dengan mengawasi ucapan dan pemikiran warga negara. Tugas negara ialah menjaga dan memelihara kondisi yang kondusif.
"Kalau memang ada yang melanggar hukum dari misalnya kegiatan masyarakat sipil ya, maka ya diproses saja secara hukum. Tapi hukum yang fair, adil dan demokratis ya. Bukan hukum yang menyasar orang-orang kritis misalnya," tegas Refly.
Menurutnya pemerintah tidak perlu merasa khawatir dengan warga negaranya. Karena tidak ada warga negara Indonesia yang berniat negaranya rusak.
"Kita tidak usah bicara 01 dan 02 sekarang ini, yang kita harus bicarakan adalah bagaimana kita memelihara demokrasi konstitusional kita yang sudah kita nikmati dan saya pikira tinggal mengelolanya," kata Refly.
Terkait persaingan politik, Refly menilai bahwa hal itu merupakan hal yang wajar bagi megara yang mengaku dirinya demokratis. Asalkan situasi keamanan tetap terjaga. Jika ada yang melanggar, menurut Mantan Komisaris Utama Jasamarga itu, bisa ditindak. Akan tetapi harus sesui dengan rambu-rambu hukum yang ada.
"Kalau ada yang melanggar ditindak, tapi melanggar yang benar ya. Bukan melanggar karena menjalankan kebebasan untuk berserikat berkumpul dan mengeluarkan pendapat," terang Refly.
Lingkaran Jokowi
Refly sendiri merasa heran dengan orang-orang di lingkaran Presiden Jokowi yang menurutnya kerap kali mencanangkan wacana-wacana tidak produktif. Menurutnya jika ada massa yang menyampaikan protes itu sah-sah saja, asalkan negara menjaga kondusifitasnya supaya jangan sampai berkembang ke arah anarkis.
"Tapi misalnya mencegah (mencegah protes/kritik) wah itu menurut saya sudah tidak produktif," kata Refly.
Refly juga melihat bahwa wacana tidak produktif tersebut jelas bertentangan dengan konstitusi yang diadopsi oleh negara ini.
"Bertentangan dengan UU HAM, hal hak dasar dan masyarakat sipil. Karena itulah menurut saya pemerintah tak perlu seperti alergi ya seperti panik," tuturnya.
Dirinya membandingkan dengan era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menurutnya tidak pernah terdengar wacana-wacana kontra produktif.
"Saya lihat masa pemerintahan SBY kok ndak ada yang sampai ada wacana untuk mengerem kebebasan sipil seperti ini. Jangan sampai saat sipil yang menang justru muncul otoritarianisme yang baru karena diboncengi anasir-anisir otoriter gitu loh," tandasnya.
(mdk/ded)