Pemerintah didesak buat pengakuan pelanggaran HAM kasus Mei '98
"Rekonsiliasi ini tidak bisa dilakukan tanpa pengakuan," kata Rafendi.
Pemerintahan Jokowi melalui Jaksa Agung, Menko Polhukam, Kemenkum HAM membentuk tim pengusutan kasus Hak Asasi Manusia (HAM). Namun pegiat HAM melihat pengungkapan kasus masa lalu sulit dilakukan jika tak ada pengakuan dari negara tentang terjadinya pelanggaran HAM di masa lalu.
Pemerintah juga membuka kemungkinan untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM yang tergolong berat melalui pendekatan rekonsiliasi. Dengan demikian, penyelesaiannya tidak melalui jalur hukum atau yudisial.
Wakil Ketua Setara Institute, Bonar Tigor Naipospos menjelaskan, misalnya dugaan pelanggaran kasus HAM pada tragedi Mei 1998, hal itu sulit diungkap jika tak ada pengakuan dari negara bahwa dalam kasus itu memang benar adanya pelanggaran HAM.
"Misalnya peristiwa 98, yang penting adalah pengakuan dari negara. Dulu Gus Dur pernah, tapi presiden, bukan negara," kata Bonar, Minggu (24/5).
Bona juga menyayangkan tidak ada sedikitpun permintaan maaf atas tragedi 1998 itu dari negara kepada para keluarga korban. Apalagi, untuk mengungkap siapa aktor intelektual di balik tragedi '98 itu.
"Minta maaf harus perseorangan, ini memang sulit, tapi kan bentuk tanggung jawab negara," tutur dia.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Human Rights Working Group (HRWG) Rafendi Djamin berpendapat bahwa rekonsiliasi tidak dapat dilakukan tanpa adanya pengakuan dari negara. Karena itu dia mendesak agar negara lebih dulu mengakui bahwa ada terjadi pelanggaran HAM khususnya dalam kasus penculikan dan penembakan sejumlah aktivis mahasiswa pada Mei '98.
"Rekonsiliasi ini tidak bisa dilakukan tanpa pengakuan," ungkapnya.