Pengelolaan hutan dan lahan di Indonesia sangat buruk
Sektor hutan dan lahan memperoleh angka indeks tata kelola terburuk dibandingkan sektor pendidikan, kesehatan.
Saat ini, Indonesia menghadapi berbagai persoalan terkait pengelolaan hutan dan lahan yang tidak berkelanjutan. Di tingkat daerah, persoalan menjadi semakin komplek karena adanya otonomi daerah.
Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas FITRA) telah menyelesaikan suatu kajian yang menganalisis kebijakan perencanaan dan penganggaran nasional dalam pengelolaan hutan dan lahan di Indonesia. Hasilnya, pemerintah kabupaten dalam mengelola hutan dan lahan masih sangat perlu ditingkatkan.
"Kinerja pengelolaan hutan dan lahan di sembilan kabupaten yang kita teliti masih buruk," ujar peneliti Seknas FITRA, Hadi Prayitno di Hotel Arya Duta, Rabu (18/12).
Studi ini meliputi wilayah Sintang, Paser, Muba, Kubu Raya, Mura, Banyuasin, Bulungan, Berau dan Kayong Utara. Kesembilan kabupaten tersebut tersebar di tiga provinsi yakni Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Barat.
Sektor hutan dan lahan memperoleh angka indeks tata kelola terburuk jika dibandingkan dengan sektor pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur.
"Studi ini menduga, minimnya porsi anggaran yang dialokasikan menjadi salah satu penyebab buruknya tata kelola hutan," jelasnya.
Faktor selanjutnya, minimnya ketersediaan wahana partisipasi minimnya pelibatan masyarakat.
"Indeks transparansi dari 9 daerah tersebut hanya 11,4 dari skala 100. Kemudian indeks partisipasi hanya 15,6 dari skala 100," terangnya.
"Kemudian koordinasi antar institusi secara horizontal maupun vertikal dalam pengelolaan hutan dan lahan belum berjalan sebagaimana diharapkan. Indeks 31,34 persen mengindikasikan rendahnya koordinasi pemerintah kabupaten," tutupnya.
Perlu diketahui, dalam konferensi nasional 2013 bertajuk 'Tata Kelola Hutan dan Lahan' ini diikuti berbagai pemangku kepentingan. Baik itu dari kementerian dalam negeri, kementerian kehutanan, BPK, kepala daerah, LSM dan lainnya.