Perjalanan orang Tionghoa sebarkan agama Islam di Pulau Jawa
Kesultanan Demak, Cirebon dan para Wali Songo merupakan bukti nyata jejak mereka di Nusantara.
Benda-benda kuno, tembikar, kapak batu giok yang diperkirakan sudah ada sejak zaman Neolithikum merupakan salah satu bukti orang Tionghoa sudah menginjakkan kakinya di Indonesia sejak masa itu.
Bahkan orang Tionghoa pun ikut andil dalam penyebaran agama Islam di Indonesia.
Bukti-bukti orang Tionghoa ikut menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa sebenarnya ada dalam tulisan-tulisan Tionghoa yang disimpan di Klenteng Sam Po Kong selama 400-500 tahun oleh Residen Poortman. Hal ini diungkapkan dalam buku berjudul 'Tionghoa dalam Pusaran Politik' yang ditulis Benny G Setiono dan diterbitkan TransMedia tahun 2008.
Pada tahun 1928, dengan alasan menumpas pemberontakan komunis, Residen Poortman menggeledah Klenteng Sam Po Kong dan berhasil merampas 3 gerobak yang berisi berbagai catatan Tionghoa. Dari catatan inilah terlihat bagaimana peranan orang Tionghoa dalam penyebaran agama Islam dan pembentukan sejumlah kerajaan Islam di Jawa.
Klenteng Sam Po Kong atau Klenteng Gedong Batu ini menjadi sumber penelitian bagaimana peranan orang Tionghoa dalam penyebaran agama Islam dan pembentukan sejumlah kesultanan Islam di Jawa.
Klenteng Sam Po Kong dibangun di Kota Semarang, Jawa Tengah untuk menghormati Laksamana Cheng Ho. Laksamana Cheng Ho yang pertama membentuk masyarakat Tionghoa Islam di Nusantara.
Jejak-jejak peranan orang Tionghoa dalam menyebarkan Islam di Pulau Jawa cukup banyak terlihat. Di antaranya, pembentukan kerajaan Islam Demak dengan rajanya Raden Patah alias Jin Bun yang merupakan cikal bakal dari Kerajaan Mataram.
Kemudian ada masjid-masjid Walisongo di jalur Pantura Jawa yang menunjukkan adanya pengaruh kebudayaan Tionghoa di dalamnya.
Masjid Agung Demak (Masjid Gelagah Wangi) atau makam Sunan Gunung Jati di Cirebon, Jawa Barat merupakan satu di antara banyak bukti kebudayaan Tionghoa berada. Di tembok-tembok masjid ini, terdapat guci-guci antik yang tak ternilai harganya.
Masjid Agung Demak ini juga menggunakan teknologi batu pembuatan jung, kapal niaga Tiongkok dari Dinasti Ming yang terbuat dari kayu.
Konon, Sunan Ngampel juga disebut mempunyai nama asli Bong Swi Hoo alias Raden Rachmat. Bong Swi Hoo berasal dari Yunnan dan cucu penguasa tertinggi di Campa, Bong Tak Keng (Carmain).
Bong Swi Hoo punya anak bernama Bong Ang (Bonang) yang menjadi Sunan Bonang. Begitu juga dengan Sunan Kali Jaga atau Raden Said adalah Gan Si Cang anak Gan Eng Cu alias Arya Teja, seorang kapten Tionghoa yang berkedudukan di Tuban. Arya Teja adalah mertua Bong Swi Hoo atau Sunan Ngampel.
Tak cuma Masjid Agung Demak, Kesultanan Cirebon pada tahun 1552 juga didirikan oleh orang Tionghoa bernama Haji Tan Eng Hoat alias Maulana Ifdil Hanafi bersama Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayat Fatahillah atau Faletehan). Tahun 1553, Sunan Gunung Jati menikah dengan putri Haji Tan Eng Hoat bernama Ong Tin yang disebut sebagai Putri China. Upacara perkawinan keduanya pun berlangsung bak raja-raja Tiongkok.
Sunan Gunung Jati adalah Toh A Bo (Pangeran Timur), putra Pangeran Trenggana (Tung Ka Lo) anak dari Jin Bun (Raden Patah). Namun hal ini banyak menjadi perdebatan karena selama ini masyarakat masih mengacu pada sejarah yang dituliskan dalam buku Prof Husain Djajadiningrat yang terbit di Belanda tahun 1913. Dalam buku itu tertulis jika Sunan Gunung Jati adalah Faletehan, seorang ulama dari Pasai. Ketika Pasai dikuasai Portugis, Faletehan meninggalkan Pasai dan menetap di Demak.
Dari sini tampak jelas bahwa peranan orang Tionghoa dalam penyebaran agama Islam cukup dominan di Indonesia. Meskipun sampai sekarang masih menjadi banyak perdebatan. Apalagi muncul pernyataan dari KH Said Agil Siradj bahwa KH Abdurrahman Wahid atau dikenal Gus Dur juga mempunyai garis keturunan Tionghoa, yakni Raden Patah.
Terlepas dari itu, sejarah nyata sudah menunjukkan bahwa kebudayaan etnis Tionghoa sudah tertoreh di sejumlah masjid di Indonesia.
Baca Juga:
Buru angpao, 2 ribu pengemis serbu Wihara di Petak Sembilan
Beretnis Tionghoa, Brigadir Zhiang sukses bekuk bandar narkoba
Cerita wanita Tionghoa yang diamuk ayah saat daftar jadi polwan
Cerita warga etnis Tionghoa tinggal di negeri syariah
Kekhusyukan doa warga Tionghoa sambut Tahun Baru Imlek 2565
-
Bagaimana tradisi mengucapkan "Gong Xi Fa Cai" di Tahun Baru Imlek? Mengucapkan "gong xi fa cai" tidak sama dengan mengucapkan "selamat Tahun Baru Imlek."
-
Mengapa ucapan "Gong Xi Fa Cai" diberikan saat Imlek? Dalam budaya Tionghoa, ucapan Gong Xi Fa Cai dipercaya dapat membawa keberuntungan dan kebahagiaan bagi penerimanya. Ucapan ini juga menjadi bagian penting dalam perayaan Tahun Baru Imlek, di mana orang-orang saling mengucapkannya untuk mengawali tahun baru dengan harapan yang baik.
-
Kapan Tahun Baru Imlek dirayakan? Selamat Tahun Baru Imlek! Semoga tahun ini membawa kebahagiaan, kesehatan, dan kemakmuran yang melimpah kepada kita semua. Semoga keluarga dan sahabat kita dianugerahi keberuntungan dan kesuksesan dalam setiap langkah hidup.
-
Apa yang menarik dari perayaan Tahun Baru Imlek? Hal ini lantaran, perayaan Imlek menyajikan kebudayaan dan tradisi yang begitu kental. Selain itu, ada berbagai macam festival dalam menyambut perayaan Imlek.
-
Apa makna di balik ucapan selamat Tahun Baru Imlek? Memberikan ucapan selamat Imlek 2024 memiliki makna penting karena itu merupakan bentuk penghargaan dan kebersamaan dalam merayakan perayaan Tahun Baru Imlek. Ucapan selamat tersebut tidak hanya sebagai ungkapan formalitas, tetapi juga mencerminkan rasa hormat terhadap budaya dan tradisi yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Tionghoa.
-
Kapan "Gong Xi Fa Cai" sering diucapkan? "Gong Xi Fa Cai" lebih sering digunakan saat menyapa rekan kerja atau rekan bisnis saat Tahun Baru Imlek.