Pimpinan KPK sebut draf revisi UU KPK tidak sesuai kesepakatan awal
"Kita awalnya setuju revisi karena memperkuat, tetapi setelah diberi draf ternyata melemahkan," kata Laode.
Wakil Pimpinan KPK Laode Muhammad Syarif menceritakan sebelum dirinya dan empat pimpinan yang lain resmi menduduki lembaga antirasuah terdapat kesepakatan antara pimpinan lama KPK dan pemerintah. Salah satunya, kata Laode, yaitu sepakat untuk setuju revisi Undang-undang No.30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
"Kita awalnya setuju karena isinya memperkuat KPK tapi setelah kita diberikan draf revisi UU KPK dari Badan Legislatif bukan menguatkan tapi melemahkan," ujar Laode dalam diskusi bertajuk "Pemberantasan Korupsi yang Memberikan Efek Jera" di Gedung Pusat Perfilman Umar Ismail, Jakarta, Kamis (18/2).
Laode menceritakan, empat poin yang awalnya sudah disetujui akan direvisi pada saat kesepakatan yaitu pertama, KPK boleh mengangkat penyidik dan penyelidik sendiri. Kedua, Jika penyadapan tidak perlu izin pengadilan. Ketiga, ada dewan pengawas etika, dan keempat, KPK akan diberikan kewenangan baru untuk menerbitkan SP3.
"Awalnya itu menguatkan KPK tapi coba lihat empat poin sekarang? Tidak ada satu pun yang menguatkan KPK," bebernya.
Laode pun mengakui sudah menyurati pihak Baleg untuk menolak revisi UU KPK. "Maka dari itu kami menegaskan untuk menolak revisi UU KPK," tandasnya.
Diketahui sebelumnya, empat poin revisi UU KPK yang baru yaitu KPK tidak berwenang mengangkat penyidik dan penyelidik independen, penyadapan harus berdasarkan ijin dewan pengawas, adanya dewan pengawas, dan KPK dapat menerbitkan SP3.
Selain itu, pekan lalu Baleg juga telah menyepakati 12 poin RUU KPK yang nantinya bakal dibahas di rapat Paripurna yang rencananya akan di gelar pada (23/2) nanti. Isi dari ke 12 poin tersebut:
1. Nomenklatur "Kejaksaan Agung Republik Indonesia" dalam pasal 11 ayat 2, pasal 45 ayat 1 dan 2, pasal 45A ayat 2, dan pasal 45B diubah menjadi "Kejaksaan' sebagaimana tertulis dalam undang-undang No 30 tahun 2002 tentang KPK.
2. Nomenklatur "kepolisian Negara Republik Indonesia" dalam pasal 11 ayat 2, 43 ayat 1 dan 2, pasal 43A ayat 2, pasal 43B, pasal 45 ayat 1 dan ayat 2, pasal 45A ayat 2, pasal 45B diubah menjadi "kepolisian" sebagaimana tertulis dalam undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK.
3. Frasa "Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana" dalam pasal 38 dan pasal 46 ayat 1 diubah menjadi "Undang-Undang yang mengatur mengenai hukum acara pidana.
4. Pasal 32 ditambahkan ketentuan bahwa "Pimpinan KPK yang mengundurkan diri, dilarang menduduki jabatan publik".
5. Pasal 32 ayat 1 huruf c ditambahkan ketentuan pemberhentian tetap pimpinan KPK yang dijatuhi pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
6. Pasal 37D, tugas dewan pengawas ditambah yakni; a. memberikan izin penyadapan dan penyitaan b. menyusun dan menetapkan kode etik pimpinan KPK.
7. Pasal 37D, dalam memilih dan mengangkat dewan pengawas, presiden membentuk panitia seleksi.
8. Pasal 37E, ditambahkan 1 ayat dengan rumusan "anggota dewan pengawas yang mengundurkan diri dilarang menduduki jabatan publik".
9. Pasal 40 mengenai SP3, pemberian SP3 harus disertai alasan dan bukti yang cukup dan harus dilaporkan pada dewan pengawas, serta dapat dicabut kembali apabila ditemukan hal-hal baru yang dapat membatalkan alasan penghentian perkara.
10. Pasal 43 ditambah ketentuan bahwa pimpinan KPK dapat mengangkat penyelidik sendiri sesuai dalam persyaratan dalam undang-undang ini.
11. Pasal 45, ditambah ketentuan bahwa pimpinan KPK dapat mengangkat penyidik sendiri sesuai persyaratan dalam undang-undang ini.
12. Pasal 47A dalam keadaan mendesak, penyitaan boleh dilakukan tanpa izin dari dewan pengawas terlebih dahulu.