Polemik Ide Revisi UU TNI
Dalam draf revisi UU TNI, ada sejumlah hal diubah salah satunya mengenai penambahan penempatan prajurit di kementerian dan lembaga pemerintah.
TNI tengah menggodok revisi Undang-Undang TNI. Wacana merevisi UU TNI itu masih dibahas Badan Pembinaan Hukum TNI.
Dalam draf revisi UU TNI, ada sejumlah hal diubah salah satunya mengenai penambahan penempatan prajurit di kementerian dan lembaga pemerintah. Nantinya ada tambahan prajurit TNI yang mengisi delapan pos di kementerian dan lembaga pemerintahan.
-
Di mana TNI dibentuk? Dahulu TNI dibentuk dan dikembangkan dari sebuah organisasi bernama Badan Keamanan Rakyat (BKR).
-
Siapa yang kagum dengan kekuatan TNI? Gamal Abdul Nasser Adalah Sahabat Dekat Presiden Sukarno Keduanya menjadi pelopor gerakan Non Blok. Karena dekat, Nasser bicara terus terang pada Presiden Sukarno.
-
Apa yang akan di miliki TNI AU dalam waktu dekat? Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) Marsekal TNI Mohammad Tonny Harjono menyebutkan TNI AU segera memiliki pesawat nirawak baru yang akan melengkapi alat utama sistem senjata (alutsista) nasional.
-
Bagaimana kemampuan TNI AU saat itu dibandingkan dengan negara tetangga? “Negara-negara tetangga pada tahun 1962, belum memiliki pesawat tempur supersonik seperti MiG-21,” tulis Marsekal Muda (Pur) Wisnu Djajengminardo.Hal itu dimuat dalam biografinya Kesaksian Kelana Angkasa yang diterbitkan Angkasa Bandung.
-
Di mana prajurit TNI AD ini berasal? Diungkapkan oleh pria asli Kaimana, Papua Barat ini bahwa sebelum memutuskan menikah, Ia sudah menjalin asmara atau berpacaran selama 3 tahun.
-
Kapan TNI dibentuk secara resmi? Sehingga pada tanggal 3 Juni 1947 Presiden Soekarno mengesahkan secara resmi berdirinya Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Tambahan delapan kementerian/lembaga itu meliputi Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Staf Kepresidenan, Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan, Badan Keamanan Laut, dan Kejaksaan Agung.
Sementara dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI yang berlaku saat itu ada 10 pos jabatan di kementerian/lembaga yang dapat diisi oleh prajurit TNI.
Pos jabatan itu di antaranya Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, Badan Narkotik Nasional, dan Mahkamah Agung.
Selain penambahan penempatan prajurit TNI, revisi UU TNI lainnya mencakup perpanjangan usia pensiun TNI. Dalam UU Nomor 34 Tahun 2004 mengatur usia pensiun prajurit tingkat perwira sampai 58 tahun, sementara untuk bintara dan tamtama 53 tahun.
Usulan perubahan yang masih digodok menginginkan usia pensiun seluruh prajurit 58 tahun dan dapat diperpanjang sampai 60 tahun untuk mereka yang memiliki kemampuan dan kompetensi khusus.
Dianggap Hidupkan Dwifungsi Seperti Orba
Pengamat militer dari Center for Intermestic and Diplomatic Engagement (CIDE) Anton Aliabbas mengatakan, usulan perubahan UU TNI seperti kedudukan TNI, perpanjangan usia pensiun, penambahan pos jabatan sipil diduduki prajurit aktif, hubungan kelembagaan Kementerian Pertahanan-TNI hingga kewenangan anggaran cenderung problematik.
Menurut Anton, usulan itu menyiptakan inefisiensi, bahkan berpotensi melemahkan capaian reformasi TNI termasuk mengganggu bangunan relasi Kementerian Pertahanan-TNI.
"Draf tersebut dapat dianggap menyiptakan problem baru dikarenakan beberapa hal," kata Anton dalam keterangannya dikutip Selasa (16/5).
Anton mengatakan, usulan revisi UU TNI itu menimbulkan masalah baru pertama usulan TNI merupakan alat negara di bidang Pertahanan dan Keamanan negara jelas tidak memiliki dasar kuat.
Anton menjelaskan, Undang-Undang Nomor 3/2002 tentang Pertahanan Negara, yang menjadi basis dari keberadaan UU TNI, tidak mengenal istilah pertahanan dan keamanan negara. Dalam Pasal 10 UU Pertahanan Negara jelas menyebutkan TNI berperan sebagai alat pertahanan NKRI.
"Penggunaan istilah Keamanan Negara juga berpotensi untuk menimbulkan wilayah abu-abu (gray area) dan overlappong dengan tugas Polri," kata Anton.
Selanjutnya menurut Anton, mengenai penghapusan narasi dalam Pasal 3 ayat 1 Undang-Undang TNI yang menjelaskan tentang posisi TNI di bawah presiden saat pengerahan dan penggunaan kekuatan militer jelas berbahaya.
Dia menekankan, penghilangan garis komando ini dapat membuka ruang terjadinya insubordinasi militer terhadap pemimpin sipil. Belum lagi ketentuan pelaksanaan operasi militer, baik perang dan non perang, yang mensyaratkan kebijakan dan keputusan politik negara juga ingin dianulir.
"Draf ini menginginkan pelaksanaan OMSP tidak membutuhkan kebijakan dan keputusan politik negara. Patut diingat, kebijakan dan keputusan politik negara merupakan payung dasar yang dibutuhkan prajurit di lapangan untuk dapat bergerak leluasa. Dengan begitu, mekanisme akuntabilitas dalam aktivitas militer dapat terjaga," kata dia.
Ganggu Pembinaan Karir
Sementara mengenai perluasan jabatan sipil yang dapat diduduki perwira aktif juga berpotensi mengganggu pembinaan karir Aparatur Sipil Negara. Anton mendukung jabatan yang ada pada sembilan institusi sipil yang dapat diduduki prajurit aktif sesuai Pasal 47 ayat 2 UU TNI perlu direvisi
Akan tetapi, dikatakan Anton, penambahan institusi yang sebelumnya tidak diwacanakan seperti Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tidak perlu dilakukan.
"Adanya penunjukkan perwira aktif TNI yang menduduki jabatan eselon 1 di KKP saat ini, misalnya, jelas tidak urgen untuk dijadikan ketentuan permanen. Selain semestinya bersifat ad hoc atau sementara, penempatan prajurit aktif di lembaga sipil dapat mengganggu moril ASN yang sudah meniti karir di instansi tersebut," kata dia.
Di sisi lain, ruang prajurit untuk menempati jabatan sipil semestinya merujuk pada PP No 17/2020 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil. Penempatan prajurit aktif pada pos jabatan sipil justru akan melemahkan profesionalisme militer.
Selanjutnya, draf usulan revisi UU TNI juga menyiptakan inefisiensi pengelolaan institusi angkatan bersenjata. Hal ini disandarkan pada dua hal. Pertama, adanya ide pelembagaan Wakil Panglima TNI. Sejauh ini, tidak ada justifikasi yang kuat mengenai urgensi keberadaan Wakil Panglima TNI. Selain telah dibantu oleh tiga kepala staf angkatan, kerja Panglima TNI juga ditopang Kepala Staf Umum TNI. Jika memang masih dirasa kurang maka cukup dengan penambahan tugas yang harus diampu seorang Kasum TNI.
Kemudian ide penambahan usia pensiun jenderal menjadi 60 tahun dan Bintara-Tamtama menjadi 58 tahun. Anton mengatakan, pengalaman sudah menunjukkan penambahan usia pensiun pada UU TNI telah menyiptakan adanya fenomena bottleneck dalam karir prajurit termasuk maraknya perwira non-job.
"Penambahan usia pensiun jelas hanya akan menambah ruwet problematika non-job dan akan menyasar pada semua kelompok: Tamtama, Bintara dan Perwira. Justru jika berkaca pada kebutuhan prajurit yang harus bugar, sigap dan tangkas, maka kita semestinya memiliki lebih banyak prajurit aktif yang berusia muda dan produktif. Konsekuensinya, batas usia pensiun adalah diturunkan bukan malah dinaikkan," kata Anton.
Terakhir revisi UU TNI ini berpotensi melemahkan capaian reformasi TNI termasuk posisi Kementerian Pertahanan. Hal itu terlihat adanya semangat untuk mengurangi garis koordinasi dengan Kementerian Pertahanan.
"Draf ini secara eksplisit mengusulkan Kemhan tidak lagi memberi dukungan administrasi pada TNI. Implikasinya tentu saja TNI dapat mengelola kebutuhan dan anggaran dengan lebih otonom," kata dia.
Selanjutnya pencapaian reformasi yang juga ingin dianulir dari draf ini adalah terkait Peradilan Militer. Pasal 65 UU TNI sejatinya telah mengatur pembagian kekuasaan peradilan militer dan umum.
"Implementasi ketentuan ini masih belum terwujud meskipun UU TNI sudah menginjak usia 18 tahun. Meskipun demikian, semestinya ide ini diperkuat bukan malah ingin dikembalikan seperti narasi sebelumnya," kata Anton.
Masih Dibahas TNI
Panglima TNI Laksamana Yudo Margono mengatakan wacana revisi Undang-Undang (UU) Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI masih dibahas internal dan merupakan amanat Progam legislasi nasional (Prolegnas).
Yudo melanjutkan, rencana revisi UU TNI masih butuh pembahasan yang menyeluruh. Lagi pula, draf revisi UU TNI ini itu baru disampaikan kepadanya satu kali.
"RUU TNI itu kan baru dipaparkan ke saya, itu amanat dari Prolegnas tahun 2014, 2019-2024, yang selama ini belum kita laksanakan. Ya sehingga waktu itu Babinkum mengajukan itu, rapat tingkat kecil," kata Yudo kepada wartawan di Jakarta Utara, Senin (15/5).
Yudo menambahkan, revisi UU TNI masih memerlukan proses panjang. Sebab, draf yang selama ini beredar baru tahap awal.
Menurut Yudo, draf revisi UU TNI nantinya akan diajukan kepada Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto. Kemudian setelah draf revisi UU TNI itu rampung, baru diserahkan ke DPR.
"Ya nanti, nanti kan tingkat diajukan dulu ke Menteri Pertahanan, nantinya akan ke DPR juga," tandas Yudo.
Sementara itu, Menteri Pertahanan RI Prabowo Subianto angkat bicara. Ketua Umum Gerindra ini mengatakan, UU TNI yang saat ini berlaku juga cukup baik mengatur dan menjadi panduan kinerja TNI sebagaimana yang juga dikehendaki Presiden RI Joko Widodo atau Jokowi.
"Undang-undang (TNI) sudah berjalan lama dan saya kira sudah berjalan baik. Kita mencegah kebocoran dan mencegah korupsi. Presiden sangat tegas menghendaki pengawasan yang sangat baik dan sangat kuat. Jadi, saya kira ini sudah berjalan dengan baik," kata Prabowo saat ditemui di sela kegiatannya di kantor Kemenhan, Jakarta, Kamis (11/5).
(mdk/gil)