Puluhan pegiat di Aceh tuntut pemerintah perangi kekerasan seksual
Mereka minta pemerintah segera mengesahkan undang-undang penghapusan kekerasan seksual.
Puluhan aktivis Solidaritas Aceh Korban Kekerasan Seksual menggelar aksi di Simpang Lima, Banda Aceh, Rabu (11/5). Pada aksi itu, para pegiat mendesak pemerintah segera mengesahkan undang-undang penghapusan kekerasan seksual, dan memberikan jaminan agar kasus serupa tidak terjadi lagi.
Selain berorasi, peserta aksi yang tergabung dari berbagai elemen sipil di Aceh juga membawa sejumlah spanduk yang bertuliskan kecaman terhadap pelaku kekerasan seksual. Salah satu tulisan misalnya 'Stop Kekerasan' dan juga 'Ayo perang terhadap kekerasan seksual anak.'
Peserta aksi juga menggunakan pita hitam sebagai bentuk kecaman terhadap kekerasan seksual. Mereka membawa peluit dan meniupkannya dalam aksi. Peluit itu ditiupkan sebagai simbol menghentikan kekerasan seksual terhadap anak.
Aksi ini juga dihadiri oleh Kepala Kantor Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (PPKB) Kota Banda Aceh, Badrunnisa, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Darwati. Bahkan Darwati sempat berorasi mengecam kekerasan seksual di Indonesia.
Koordinator aksi, Eva Khovivah mengatakan, aksi ini berkaca dari kasus kekerasan seksual menimpa Y (14) di Bengkulu, hingga meninggal dunia, D (6) pada 2013 lalu, dan sekarang ada kabar kembali terjadi kekerasan seksual di Nagan Raya menimpa anak usia delapan tahun diperkosa seorang pemuda.
"Y di Bengkulu dan D di Banda Aceh, serta yang di Nagan Raya dan ratusan lainnya menjadi korban kekerasan seksual, merupakan potret kelam situasi sosial budaya kita yang sudah rapuh," kata Eva Khovivah.
Kejadian ini, katanya, terjadi karena lemahnya penegakan hukum. Kemiskinan, kurangnya jaminan sosial hingga pendidikan layak diduga terakumulasi dan memicu tindakan kekerasan seksual.
Hal ini selaras dengan data Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh. Tingkat kemiskinan di Aceh tahun 2015 tertinggi di Sumatera (17,16 persen) setelah Bengkulu. Sedangkan di Indonesia, Aceh menempati urutan ketujuh (16,54 persen) angka kemiskinan di Indonesia, di bawah Nusa Tenggara Barat.
"Kemiskinan dan ketimpangan sosial telah menyebabkan meningkatnya angka kekerasan," imbuh Eva.
Angka kekerasan seksual di Aceh, dari catatan Jaringan Pemantau Aceh (JPA) dalam dua tahun belakangan mencapai 231 kasus. Mayoritas pelaku adalah orang terdekat korban.
"Pemerkosaan merupakan kasus yang tinggi. Menurut catatan Komnas Perempuan ada 400.939 kasus kekerasan terhadap perempuan dilaporkan selama 13 tahun terakhir, 93.960 kasus atau setara 23 persen merupakan kekerasan seksual," ucap Eva.
Oleh karena itu, Eva mendesak pemerintah agar serius dan memiliki komitmen membahas undang-undang penghapusan kekerasan seksual. Korban harus diperhatikan hak-haknya atas keadilan, kebenaran, dan jaminan pemulihan serta jaminan tidak kembali terjadi.
"Kami juga ingin mengajak seluruh pihak untuk memberikan pendidikan tentang penghormatan atas tubuh, martabat, dan seksualitas perempuan anak untuk pencegahan kekerasan seksual. Pendidikan ini harus dimulai sejak dini," tutup Eva.