Rangkap jabatan Harmoko jadi bumerang bagi Soeharto
Gara-gara meminta Soeharto turun jabatan, Harmoko kemudian dilengserkan di Munaslub Golkar.
Lengsernya Soeharto juga tidak lepas dari posisi Golkar sebagai mesin politiknya kala itu. Ketika ramai desakan meminta Soeharto lengser, Golkar yang saat itu diketuai oleh Harmoko justru ikut terjangkit polemik di internal mereka sendiri.
Hal ini tak lepas karena Harmoko yang rangkap jabatan (sebagai ketua DPR/MPR RI dan Ketua Umum Golkar). Harmoko di satu sisi merupakan penyambung lidah rakyat melalui parlemen, dan di satu sisi merupakan nakhoda dari mesin politik Golkar.
Polemik di internal Golkar ini dikisahkan langsung oleh Akbar Tandjung kepada merdeka.com, saat ditemui di Akbar Tanjung Institute kawasan Pancoran, Jakarta Selatan. Golkar saat itu tidak mendesak Soeharto lengser.
"Kalau dari kelembagaan Golkar secara resmi, setahu saya tidak ada (desakan agar Soeharto mundur)," ujar Akbar saat ditemui merdeka.com pada Kamis (19/5) kemarin.
"Yang ada adalah bahwa Pak Harmoko, yang saat itu adalah Ketua DPR/MPR RI dan juga Ketua Umum Golkar ke-VI, mendapat tekanan dari publik terutama mahasiswa, sehingga akhirnya beliau menyampaikan pernyataan untuk menyelesaikan masalah sulit yang dihadapi bangsa Indonesia pada saat itu, dengan menganjurkan supaya Pak Harto mundur," ujarnya menambahkan.
Saat itu, Akbar menilai jika di satu sisi pernyataan Harmoko tersebut menuai pujian dari masyarakat yang merasa diwakili oleh parlemen, tapi di sisi lain Golkar secara kelembagaan pun mengecam keras pernyataan Harmoko tersebut. Hal ini karena walaupun Harmoko menyampaikan pernyataan itu dengan kapasitasnya sebagai Ketua DPR/MPR RI, namun kapasitas lainnya yang juga ikut melekat sebagai Ketua Umum Golkar, membuatnya harus mempertanggungjawabkan pernyataannya tersebut.
"Karena dari perspektif internal Golkar dianggap, tidak pada tempatnya dan tidak seharusnya Pak Harmoko sebagai Ketua Umum Golkar, menghendaki Pak Harto yang merupakan Ketua Dewan Pembina Golkar untuk mundur sebagai presiden," ujar Akbar.
Tak main-main, rangkap jabatan yang saat itu dipikul Harmoko inilah yang membuatnya harus lengser dari kursi Ketua Umum Golkar, akibat proses Munaslub yang merupakan dampak lanjutan dari tuntutan di internal Golkar, yang menagih pertanggungjawaban Harmoko atas pernyataannya sebagai Ketua DPR/MPR RI tersebut.
"Itulah yang sebetulnya menjadi awal dari pada tuntutan di internal Golkar kepada Pak Harmoko, di mana Pak Harmoko harus mempertanggungjawabkan masalah pernyataan dia tentang Pak Harto harus mundur itu. Sehingga menjadi pemicu diadakannya Munaslub Golkar," kata Akbar.
"Hingga, terjadi lah pergantian kepemimpinan Ketua Umum Golkar, di mana saya lah yang akhirnya terpilih di Munaslub tersebut. Dan inilah pertama kalinya pemilihan ketua umum Golkar dilakukan secara demokratis melalui pemilihan suara," ujar Akbar menambahkan.
Ketika ditanya hal apa yang membuat Harmoko begitu berani ikut-ikutan mendesak Soeharto untuk lengser dari jabatannya, Akbar mengaku pernah mendengar bahwa Soeharto telah menyampaikan kepada Harmoko, jika dirinya tak ragu untuk mundur sebagai presiden apabila suara rakyat menginginkannya berbuat demikian.
Dalam kapasitas sebagai Ketua DPR/MPR RI itu lah, Harmoko yang di parlemen juga mendapat desakan dari seluruh fraksi serta mahasiswa yang menuntut Soeharto lengser akhirnya melontarkan pernyataannya tersebut. Hal ini dipahami Harmoko sebagai 'suara rakyat', seperti yang sebelumnya pernah dibicarakannya bersama Presiden Soeharto mengenai desakan masyarakat agar dirinya mundur sebagai presiden.
"Yang saya dengar, pada waktu pembicaraan-pembicaraan Pak Harmoko dengan Pak Harto, Pak Harto pernah mengatakan kepada Pak Harmoko, 'Kalau memang rakyat yang menghendaki saya mundur, ya saya tentu harus memperhatikan suara rakyat'. Yang saya dengar juga dikatakan oleh Pimpinan DPR, Pak Harmoko menanyakan, 'Maksud Bapak suara rakyat itu yang bagaimana ?', 'Ya misalnya DPR', ujar Soeharto," ujar Akbar menirukan dialog keduanya.
"Nah mungkin hal inilah yang membuat Pak Harmoko hingga pada suatu kesimpulan, di mana setelah para pimpinan DPR bertemu, akhirnya mereka sepakat untuk menyatakan apa yang Pak Harmoko sampaikan itu tadi, bahwa Pak Harto harus mundur. Akhirnya ya Pak Harto mundur," pungkasnya.
-
Kapan Soeharto mendapat gelar Jenderal Besar? Presiden Soeharto mendapat anugerah jenderal bintang lima menjelang HUT Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) ke-52, tanggal 5 Oktober 1997.
-
Siapa yang berencana meracuni Soeharto? Rupanya tamu wanita yang tidak kami undang itu berencana meracuni kami sekaluarga," kata Soeharto.
-
Kapan Presiden Soeharto biasanya berangkat ke kantor? Pak Harto Terbiasa Berangkat ke Kantor Jam 09.00 Atau Jam 10.00 WIB Pagi harinya dia akan bekerja di Jl Cendana, seperti memanggil menteri atau memeriksa laporan dari para pejabat.
-
Kenapa Soeharto selalu tersenyum? Presiden Indonesia Kedua Soeharto dikenal dengan sebutan ‘The Smiling General’ atau Sang Jenderal yang Tersenyum. Ini karena raut mukanya senantiasa tersenyum dan ramah.
-
Kapan Soeharto bertugas di Sulawesi Selatan? Soeharto dan keluarga BJ Habibie sudah saling kenal dan dekat sejak tahun 1950. Kala itu, Soeharto berdinas di Sulawesi Selatan dan kebetulan rumah BJ Habibie tepat di depan markasnya, Brigade Mataram.
-
Apa yang dilakukan Soeharto saat rombongan presiden akan melintasi Jalan Tol Semanggi? Di tol Semanggi, tiba-tiba Soeharto menepuk pundak ajudannya, Kolonel Wiranto. "Wiranto, Beri Tahu Polisi itu Kendaraan di Jalan Tol, Tidak Perlu Dihentikan." Mereka itu membayar untuk jalan bebas hambatan, bukan malah disetop gara-gara presiden mau lewat," kata Soeharto. "Kalau Mereka Dibiarkan Jalan Pelan-Pelan kan Tidak Mengganggu Rombongan."
Baca juga:
Cendana menghidupkan Soeharto lewat padi
Cerita Habibie umpat Soeharto 'Bapak kurang ajar' sebelum lengser
Teka-teki mundurnya 14 menteri Ekuin sebelum Soeharto lengser
14 Menteri bikin Soeharto lengser lebih cepat
Curhatan Soeharto di depan sepuluh tokoh sebelum lengser keprabon
Detik-detik kejatuhan Orde Baru 21 Mei 1998