Ribuan pelayat antarkan Mozes Gatutkaca ke peristirahatan terakhir
Ribuan pelayat tak henti-henti mengucapkan kalimat takbir. Ratusan aparat keamanan berjaga. Suasana waktu itu mencekam.
Mozes Gatutkaca ditemukan meninggal dunia di sekitaran kawasan Mrican, Sleman, DIY pada 8 Mei 1998. Mozes yang saat itu tengah keluar mencari makan diduga menjadi korban kekejaman aparat keamanan yang sedang melakukan pembubaran aksi demonstrasi mahasiswa menuntut reformasi dan turunnya Soeharto di kawasan Jalan Gejayan. Peristiwa demonstrasi di Jalan Gejayan ini berakhir dengan bentrokan massa mahasiswa dengan aparat keamanan. Peristiwa rusuhnya demonstrasi di 8 Mei 1998 dikenal dengan nama Peristiwa Gejayan Kelabu.
Gatut, begitu biasanya Mozes Gatutkaca disapa, merupakan anak keempat dari empat bersaudara yang lahir pada 13 November 1958. Gatut, saat meninggal sudah tak lagi berstatus mahasiswa. Mozes saat itu sudah lulus dari Akademi Perindustrian dan Akademi Mesin Industri (Akprind) Yogyakarta.
Tini, kakak pertama Gatut menceritakan bahwa kabar kematian Gatut diterimanya pada Sabtu 9 Mei 1998 dini hari pukul 02.00 WIB. Sebuah telepon dari tetangga di Gang Brojolamatan, Mrican, Depok, Sleman mengabarkan bahwa Gatut meninggal dunia dan saat ini jenazahnya berada di RS Panti Rapih, Yogyakarta.
"Saya segera meminta suami untuk mengecek kebenaran kabar itu ke RS Panti Rapih. Saya tidak ikut ke sana karena harus memersiapkan rumah, jika kabar itu benar. Tak lama kemudian suami mengabarkan bahwa kabar meninggalnya Gatut itu benar," ucap Tini saat ditemui di kediamannya yang ada di kawasan Perumahan Nogotirto, Jumat (12/5).
Tini menceritakan bahwa jenazah Gatut pun kemudian dibawa pulang ke rumahnya. Jenazah Gatut disemayamkan sejenak di rumahnya sebelum dimakamkan di pemakaman keluarga yang ada di daerah Cungkuk, Soragan.
"Saat itu yang melayat banyak sekali. Penuh. Saya saat itu sampai bingung kenapa yang melayat bisa sebanyak itu," kata Tini.
Tini menceritakan bahwa selain banyaknya pelayat yang datang ke kediamannya, banyak pula aparat kepolisian yang berjaga di sekitar rumahnya. Aparat kepolisian, ucap Tini, ada yang mengenakan seragam lengkap tapi ada juga yang berpakaian preman yang berjaga.
"Suasananya mencengkam. Saya sampai takut. Karena banyak sekali polisi yang berjaga, Selain itu ada pula helikopter yang berulang kali terbang di atas rumah saya seperti mengawasi rumah saya," tutur Tini.
Tini mengungkapkan bahwa ada satu kejadian aneh saat jenazah Gatut sudah tiba di rumah duka. Telepon rumah, sambung Tini, tiba-tiba putus dan tak bisa melakukan panggilan maupun menerima panggilan.
"Aneh itu. Sebelumnya tidak ada masalah. Tiba-tiba telepon saya putus. Padahal telepon di tempat tetangga tak ada masalah atau lancar. Putus sampai sekitar empat hari. Padahal saat itu saat ingin mengabarkan kepada saudara-saudara maupun kerabat tentang kabar duka meninggalnya Gatut. Kan bisa itu mengabari saudara ataupun kerabat. Akhirnya saya dipinjami handphone oleh sepupu saya. Padahal tahun itu jarang ada yang punya handphone. Saya dipinjami handphone selama beberapa hari. Handphone malah sampai ditinggal sini," ingat Tini.
Saat jelang pemakaman, jenazah Gatut empat disalatkan di masjid yang tak jauh dari rumah Tini. Menurut keterangan beberapa teman dekat Gatut, saat itu Gatut sudah menjadi mualaf.
"Keluarga malah tidak ada yang tahu kalau Gatut sudah mualaf. Gatut tidak pernah cerita. Tetapi teman-temannya justru yang cerita. Waktu itu beberapa teman Gatut minta agar Gatut dikafani tetapi karena sudah terlanjur didandani, akhirnya permintaan itu kami tolak. Tetapi jika disalatkan tak masalah. Jadi waktu pemakaman Gatut itu pakai dua cara. Sembayangan ala Nasrani dan disalatkan di masjid. Bahkan saat masuk ke liang lahat, jenazah Gatut juga sempat diazani. Keluarga tak keberatan," papar Tini.
Saat usai disalatkan dan akan dimasukkan ke mobil jenazah, Tini menuturkan bahwa pelayat yang jumlahnya ribuan ini mendekat ke jenazah Gatut dan ingin ikut mengusung jenazah.
"Ramai sekali waktu itu. Teriakan-teriakan Allahu Akbar sering terdengar. Teriakan memprotes dan mengutuk kematian Gatut juga terdengar. Suasananya mencekam seperti mau demo. Aparat kepolisian sempat bersiaga," terang Tini.
Tini menambahkan saat mobil jenazah sudah berjalan menuju ke makam, di belakangnya ada ribuan pelayat yang mengikuti. Mereka, sambung Tini, seperti konvoi dan terus mengawal jenazah Gatut.
"Polisi mengawal dengan ketat. Bahkan sampai ke kuburan pun polisi masih terus berjaga karena banyaknya massa yang melayat," pungkas Tini.