Romo Magnis Nilai Tanggung Jawab Sambo Lebih Besar karena Perintahkan Bharada E
Magnis menjelaskan bahwa yang memerintah tentu yang pidananya lebih berat. Ia pun mengaitkan kasus tersebut pada zaman Nazi di Jerman yang pada saat itu orang-orang kerap menerima perintah dan merasa terancam bila tidak melakukannya.
Mantan Kadiv Propam Ferdy Sambo memberikan perintah kepada Bharada Richard Eliezer untuk menembak Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat yang berakhir dengan kematian. Ahli Filsafat Moral, Franz Magnis Suseno berpendapat, bahwa Sambo memiliki tanggungjawab yang lebih besar atas perintah penembakan itu.
Magnis dihadirkan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan oleh kuasa tim kuasa hukum Bharada Richard Eliezer dalam perkara pembunuhan berencana Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat. Dirinya dipanggil untuk memberikan kesaksian yang dapat meringankan Richard.
-
Apa sanksi yang diterima Ferdy Sambo? Ferdy Sambo diganjar sanksi Pemecetan Tidak Dengan Hormat IPTDH).
-
Siapa yang memimpin Sidang Kode Etik Polri untuk Ferdy Sambo? Demikian hasil Sidang Kode Etik Polri yang dipimpin jenderal di bawah ini: As SDM Polri Irjen Wahyu Widada.
-
Siapa Fredy Pratama? "Enggak (Tidak pindah-pindah) saya yakinkan dia masih Thailand. Tapi di dalam hutan," kata Direktur Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Polri Brigjen Mukti Juharsa, Rabu (13/3).
-
Bagaimana proses Sidang Kode Etik Polri untuk Ferdy Sambo? Demikian hasil Sidang Kode Etik Polri yang dipimpin jenderal di bawah ini: As SDM Polri Irjen Wahyu Widada.
-
Apa yang dilakukan Fredy Pratama? Nur Utami berubah sejak menikah dengan pria berinisial S, yang dikenal sebagai kaki tangan gembong narkoba Fredy Pratama.
-
Dimana Fredy Pratama bersembunyi? Bareskrim Polri mengungkap lokasi dari gembong narkoba Fredy Pratama yang ternyata bersembunyi di pedalaman hutan kawasan negara Thailand.
Mulanya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menanyakan antara yang memerintah dan diperintahkan siapa pidananya lebih berat.
Magnis menjelaskan bahwa yang memerintah tentu yang pidananya lebih berat. Ia pun mengaitkan kasus tersebut pada zaman Nazi di Jerman yang pada saat itu orang-orang kerap menerima perintah dan merasa terancam bila tidak melakukannya.
"Dalam pembicaraan mengenai yang terjadi di zaman Nazi, di Jerman. Di mana berulang kali orang melakukan perintah-perintah karena diperintahkan, mungkin dia juga terancam kalau tidak melaksanakan perintah," ungkap Magnis dalam ruang sidang Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (26/12).
Ia pun berpendapat budaya orang yang memberikan perintah kerap kali tidak dididik dan tidak dilatih untuk dapat bertanggungjawab. Melainkan mereka hanya tau memberi perintah tiap saat.
Terlebih dalam kasus pembunuhan brigadir J, Sambo selaku orang yang pada berpangkat jenderal bintang dua memiliki kuasa untuk memberikan perintah kepada Bharada E sekalipun itu perintah jahat. Sedang Richard hanya dapat mematuhi yang bila ditolak tentu ada hukuman tersendiri.
"Jadi jelas menurut saya jelas tanggung jawab yang memberi perintah itu, jauh lebih besar. Malah katakan saja yang diperintah itu, itu orang kecil, orang kecil biasa melakukan karena dia juga tahu akibatnya buruk kalau tidak melakukannya," pungkas ahli filsafat moral itu.
Dirinya juga menambahkan setiap orang tentu punya kesadaran akan bertindak jahat secara sadar. Sekalipun harus merenggang nyawa orang.
Namun ia juga tidak membenarkan kejadian penembakan yang dilakukan Richard, sekalipun sudah ada perintah dari atasannya.
"Dia menyadari menembak orang tidak bisa dibenarkan sama sekali, sekaligus dia mendapat perintah. Kalau dia ada di bawah pressure, pertama pressure waktu, kedua pressure budaya ketaatan yang dalam kepolisian amat penting. Tidak bisa di situ setiap orang berunding dulu apakah iya atau tidak, apalagi dalam situasi ini dia bisa menjadi sangat bingung. Dan mungkin akhirnya langsung bertindak sesuai secara instingtual, itu keluar," papar dia.
(mdk/eko)