Sanksi prostitusi dinilai belum jelas aturannya
Regulasi soal prostitusi tidak jelas terkait siapa yang akan dikenakan hukuman.
Wacana ingin menutup lokalisasi prostitusi, berupa hiburan malam atau pun panti pijat di DKI Jakarta, belakangan ini marak menjadi pemberitaan. Hal ini berawal ketika Pemprov DKI Jakarta melakukan penertiban kawasan Kalijodo menjadi Ruang Terbuka Hijau (RTH).
Penulis buku 'Jakarta Undercover' Moammar Emka menilai, regulasi soal prostitusi tidak jelas terkait siapa yang akan dikenakan hukuman. Apakah penyedia kamar, PSK-nya ataukah pelanggannya.
"Prostitusi online misalnya, yang kena hukuman siapa, pelaku atau PSK-nya? Kan enggak jelas. Ujung-ujungnya yang kena hukum germonya (mucikari)," ujar Emka, Jakarta (14/3).
Dia mencontohkan praktik prostitusi seperti yang dilakukan di hotel. Pengelola hotel sebatas hanya menyewakan kamar pada pengunjung.
"Untuk sampai dibuktikan adanya transaksi seperti beberapa nama di hotel berbintang yang sudah terjadi, susah dibuktikan apakah memang sengaja untuk prostitusi atau apa?" ucapnya.
Tak hanya itu, Emka menilai soal panti pijat pun bernasib serupa. Layanan esek-esek yang ada, sebetulnya tidak disajikan secara jelas. Mereka hanya menjual jasa pijat.
"Di panti pijat menu-menu itu (layanan esek-esek) adanya di dalam kamar, tidak kemudian dia menjadi semacam menu yang ditawarkan dengan terus terang seperti halnya di kafe. Jadi, sebenarnya dijual bukan layanan 'mandi kucing', yang dijual memang jasa pijatnya," jelasnya.
Yang terjadi ketika berada di dalam kamar, kata dia, adalah transaksi antara terapis dengan pelanggan. Pengelola hanya menyewakan kamar.
"Yang ada hanya semacam menyewakan kamar saja. Kan layanan pijat ada durasinya, ya pengelola hanya melakukan kayak di hotel menyewakan kamar," tandasnya.