SKK Migas berharap wilayah kerja mereka dilindungi
Pendapatan SKK Migas tahun 2012 mencapai Rp 300 triliun dan nilai itu 25 persen dari APBN Indonesia.
Perwakilan SKK Migas Sapta Nugraha mengatakan, wilayah kerja lembaganya adalah bagian dari obyek vital yang perlu dilindungi. Menurut Sapta pendapatan SKK Migas tahun 2012 mencapai Rp 300 triliun dan nilai itu 25 persen dari APBN Indonesia.
"Ada alasan kenapa wilayah kerja kami perlu dijaga sebagai obyek vital. Salah satunya pendapatan kami tahun ini yang mencapai Rp 300 triliun dan itu setara dengan 25 persen APBN," kata Sapta saat menyampaikan presentasinya dalam seminar "Sistem Keamanan Vital dalam menghadapi Ancaman Terorisme" di Hotel Millenium Jakarta .
Sapta mengakui kerja lembaganya rawan dengan gangguan keamanan. Tak hanya terkait dengan ancaman terorisme juga ancaman sosial dari lingkungan sekitar area kerja.
"Kadang dalam pelaksanaan kerja kami, ada pemblokiran dari masyarakat sekitar. Padahal kami sedang melakukan eksplorasi atau dilakukan oleh mitra kami. Menghadapi semacam itu butuh strategi. Ke depan masyarakat butuh diedukasi agar memahami wilayah kerja kami. Mohon dipikirkan bersama selain ancaman terorisme," ujar Sapta.
Untuk mengamankan wilayah kerja SKK Migas, menurut Sapta pihaknya bekerja sama dengan pihak kepolisian dan TNI AL untuk pengamanan anjungan minyak dan gas yang eksplorasinya di lepas pantai.
"Ada 350 wilayah SKK Migas yang tersebar di seluruh Indonesia. Makanya kami memiliki prosedur penanganan keamanan, dan kami bekerja sama dengan pihak polisi untuk di darat dan Angkatan Laut untuk anjungan lepas pantai," kata Sapta.
Untuk kerja sama dengan kepolisian, menurut Sapta, SKK Migas dalam kontrak itu menyebutkan pihak kepolisian menempatkan personelnya di seluruh wilayah area kerja SKK Migas. Baik lokasi yang dianggap perlu dan respon terpadu yang sewaktu-waktu dibutuhkan.
Lebih lanjut Sapta menegaskan, kerja sama dengan angkatan laut dilakukan saat pemindahan barang hasil tambang atau peralatan ke tempat lain yang melewati lautan. Namun, Sapta menuturkan sistem keamanan di laut lebih sulit daripada di darat.
"Pernah kami saat memindahkan peralatan untuk tambang ke pos lain, kapal Angkatan Laut yang mengawal kapal kami ternyata tertinggal, karena kapalnya lebih lambat. Terpaksa kami, kehilangan pengawalan keamanan saat itu," kata Sapta.
Dalam seminar itu, banyak usulan yang masuk tentang objek vital. Termasuk ada anggota dari salah satu perwakilan dari BUMN yang menanyakan syarat sebuah tempat dianggap objek vital hingga pengamanan apa yang didapatkan secara khusus.
Menjawab hal itu, Agus Surya Bakti yang juga Deputi Bidang Pencegahan, Perlindungan, dan Deradikalisasi BNPT hanya bisa mengutip Keputusan Menteri ESDM No. 1762, 2007. Objek vital dalam keputusan itu hanya menjelaskan kalau obyek vital adalah kawasan/lokasi/instansi dan usaha yang menyangkut hajat hidup orang banyak demi kepentingan negara dan sumber pendapatan negara yang bersifat strategis.
Sapta mengutip dalam Kepmen itu menyebut ada 126 fasilitas yang dianggap obyek vital. Mendengar hal itu banyak peserta sidang yang mencoba menawarkan agar hasil dari seminar itu diarahkan untuk membuat rancangan undang-undang tentang obyek vital negara.
"Mestinya bisa kalau mengingat banyak obyek vital yang dimiliki banyak perusahaan di Indonesia, lebih-lebih BUMN dan pihak asing yang berinvestasi. Namun sayang Pak Bambang Wuryanto dari Komisi VIII tidak bisa hadir yang mungkin bisa memberikan arahan dan masukan bagaimana mestinya," kata Agus.