Soal menyamar dan menguntit, agen BIN kalahkan CIA & Mossad
Zaman Soeharto, ibarat pohon saja punya telinga. Bagaimana dengan intel zaman Jokowi?
Presiden Jokowi belum menunjuk calon kepala Badan Intelijen Negara (BIN) untuk menggantikan Marciano Norman. Namun Menko Polhukam Tedjo Edhy Purdijatno mengisyaratkan akan ada perubahan gaya intelijen di bawah Jokowi.
Marciano mengaku Jokowi menilai BIN sering memberikan data yang tidak akurat. Koordinasi antara lembaga intelijen juga tak berjalan mulus. Hal ini yang akan membuat presiden sulit mengambil keputusan.
Intelijen di Indonesia memang punya sejarah panjang. Sepak terjang para intel di Indonesia dimulai dengan pelatihan Jepang pada para pemuda seperti Zulkifli Lubis.
Intel sempat menjadi king maker di era Soeharto dengan para jenderal seperti LB Moerdani dan Ali Moertopo. Saat itulah ibaratnya pohon saja punya telinga. Jangan pernah berkata miring soal penguasa Orde Baru dan kroninya jika tak ingin diciduk.
Sepak terjang intelijen Indonesia pun cukup diakui dunia. Pengamat Intelijen Ridlwan Habib menilai BIN punya kelebihan di banding agen negara lain.
"Kalau untuk menguntit atau menyamar BIN itu lebih jago dari Mossad atau CIA. Coba saja agen-agennya disuruh menyamar jadi tukang rokok atau menyamar jadi profesi lain, disuruh menguntit orang pasti dapat," kata Ridlwan.
Ridlwan juga menjelaskan agen-agen intelijen Indonesia lebih tahan banting dan tabah menghadapi cobaan. Mereka mengerti betul apa semboyan intelijen. Berhasil Tak Dipuji, Gagal Dicaci Maki, Hilang Tak Dicari, Mati Tak Diakui.
Namun kelemahannya BIN lemah dalam memberikan analisa. Mereka sering keliru mengolah data yang dikumpulkan intelijen di lapangan. Analisa yang lemah ini akan menghasilkan data yang salah. Hal inilah yang kini dikeluhkan Jokowi.
Ridlwan tak menampik jika kelemahan pengolahan data ini masih mewarisi sistem Orde Baru. Saat itu intelijen terlalu paranoid dan memandang semua hal sebagai ancaman. Kadang hal tak terlalu berbahaya pun dipandang berlebihan.
"Padahal BIN ini vital, jika BIN salah memberikan data dan saran untuk presiden, pasti keputusan presiden salah," kata alumnus S2 kajian sratejik intelijen UI ini.
Masalah lain yang harus dibenahi oleh Kepala BIN di era Jokowi adalah soal ego lembaga-lembaga intelijen. Saat ini setiap lembaga di bawah TNI, Polri atau yang lain tak pernah mau berbagi informasi. Ada semacam persaingan antara para intel ini.
"BIN ke depan harus menjadi tempat collecting data. Dia mengumpulkan data dari semua lembaga intelijen. Toh, semua lembaga intelijen itu kan melayani presiden," katanya.
Mengenai calon, Ridlwan meminta Presiden Jokowi memilih calon yang terbilang fresh. Dalam arti tidak ikut kubu-kubuan dalam dunia intel dan punya rekam jejak yang bersih.
"Tentu tak bisa lagi sekarang BIN main culik seenaknya," tutup Ridlwan.