Temuan sering tidak diungkap, BPK bakal bisa menyidik kasus
Selain kewenangan penyidikan, BPK juga harus diberikan independensi. Meskipun bukan independensi mutlak seperti KPK.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mendorong Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk proses penyelidikan dan penyidikan atas temuan yang didapatkannya. Hal ini karena saat ini hanya 50 hingga 51 persen temuan BPK yang ditindaklanjuti oleh KPK, padahal temuan kasus tersebut menyebabkan kerugian Negara yang besar.
"Kewenangan BPK hanya melakukan pemeriksaan, tidak sampai penyelidikan dan penyidikan. Kami maunya, temuan BPK itu bisa menjadi bukti awal tetapi dalam Undang-Undang (UU) BPK tidak mengatur hal itu," ujar Ketua BPK, Harry Azhar Aziz, kepada wartawan disela-sela seminar 'Sinergisitas BPK dan DPR dalam Pengelolaan Keuangan Negara untuk Mewujudkan Kesejahteraan Rakyat', di Lorin Solo Hotel, , Senin (16/3).
Dalam seminar tersebut berdasarkan pemeriksaan BPK, secara nasional dari 526 Pemerintah Daerah (Pemda), 34 provinsi, serta lebih dari 300 kabupaten/kota di Indonesia baru 34 persen di antaranya laporan keuangannya masuk kategori Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Jumlah Pemda yang masuk kategori WTP dari tahun ke tahun semakin meningkat.
Anggota Komisi XI DPR RI, Muhammad Hatta mengusulkan agar ada penambahan kewenangan BPK untuk menindaklanjuti temuan tersebut akan diatur dalam sebuah undang-undang.
"Saat ini Undang-Undang (UU) BPK telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) di DPR. Dalam UU tersebut BPK akan diberikan kewenangan untuk sampai tahap penyidikan. Jika disetujui pemerintah dan DPR, tahun 2016 mendatang sudah keluar Peraturan Pemerintah (PP)," ujar Hatta, saat ditemui wartawan, usai menghadiri seminar tersebut.
Kewenangan tersebut, menurut Hatta, lebih spesifik bagaimana BPK menindaklanjuti temuan di lapangan. "Jangan sampai temuan kasus yang menyebabkan kerugian negara berhenti di tengah jalan. BPK sebagai supreme audit diberikan kewenangan hingga penyelidikan atas temuan tersebut," imbuhnya.
"Jangan sampai temuan BPK, seperti dipingpong oleh kejaksaan dan kepolisian saat dilaporkan. Buat apa kinerja BPK yang sudah baik dan menemukan kerugian negara, kalau tidak ditindaklanjuti," jelasnya lagi.
Menurut Hatta, selain kewenangan penyidikan, BPK juga harus diberikan independensi. Meskipun bukan independensi mutlak seperti halnya KPK, tetapi independensi seperti yang diberikan kepada Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) di mana DPR masih memiliki kewenangan untuk melakukan kontrol dan mendapatkan laporan audit kinerja.
"Independensi di tubuh BPK tersebut diperlukan untuk menghindari konflik kepentingan. Seperti soal pendanaan, jika pemerintah mengeluarkan anggaran maka BPK bisa bekerja tetapi jika pemerintah tidak mengeluarkan anggaran, maka BPK akan tersandera," katanya.
Hatta menegaskan, penambahan kewenangan BPK tidak akan tumpang tindih dengan lembaga lain. Pasalnya BPK memiliki keilmuan khusus mengenai pemeriksaan laporan keuangan Negara, yang tak dimiliki oleh lembaga negara lainnya seperti kepolisian dan kejaksaan. "Ada aturan keuangan negara yang bersifat global internasional," pungkasnya.