Terpidana Mati Kasus Narkoba Hendra Sabarudin Kendalikan Hasil TPPU dari Penjara, Perputaran Uang Rp2,1 Triliun
Hendra dapat mengendalikan perputaran asetnya dari balik penjara hingga mencapai triliunan.
Direktorat Narkoba Bareskrim Mabes Polri membongkar kasus Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) terpidana narkoba kelas kakap jaringan internasional, Hendra Sabarudin. Hendra dapat mengendalikan perputaran asetnya dari balik penjara hingga mencapai triliunan.
Kasus itu merupakan hasil turunan perkara narkoba Hendra yang merupakan terpidana dengan vonis mati. Hendra saat ini tengah mendekam di Lapas Tarakan Kelas II A, Kalimantan Utara.
- Penampakan Tumpukan Uang Rp288 Miliar yang Kembali Disita Kejagung dalam Kasus TPPU Duta Palma
- PTPN Janji Lunasi Utang terhadap Karyawan dan Pensiunan Selesai Tahun Depan
- Pemerintah Tarik Utang Rp72 triliun per 15 Maret 2024, Turun Drastis Dibanding Tahun Lalu Mencapai Rp181 Triliun
- Hati-Hati, Mencoret Uang Rupiah Bisa Kena Denda Rp1 Miliar Hingga Pidana Penjara
"Dari hasil analisis keuangan oleh PPATK, perputaran uang selama beroperasi melakukan jual beli narkoba yang dilakukan oleh kelompok H tersebut mencapai Rp2,1 triliun," kata Kabareskrim Mabes Polri, Komjen Pol Wahyu Widada saat konferensi pers di lapangan Bhayangkara Mabes Polri, Jakarta Selatan, Rabu (18/9).
Beroperasi Sejak 2017
Hendra telah beroperasi sebagai bandar narkoba kelas kakap untuk jaringan Malaysia - Indonesia tengah sejak tahun 2017. Kasus tersebut kemudian baru terbongkar pada 2020 dan Hendra dinyatakan vonis hukuman mati.
Di kasus hukumnya, bandar kelas kakap itu berhasil lolos dari hukuman mati sehingga hukumannya diringankan menjadi 14 tahun penjara saja. Walaupun telah mendekam dari balik jeruji, Hendra masih mampu mengendalikan narkoba.
"Dari kegiatan mengendalikan peredaran narkotika, terpidana HS telah beroperasi sejak tahun 2017 hingga tahun 2023, telah memasukkan narkotika jenis sabu dari wilayah Malaysia sebanyak lebih dari 7 ton Sabu," jelas Wahyu.
Dari hasil penyelidikan, kata Wahyu, Hendra masih melakukan pengendalian peredaran narkotika di wilayah Indonesia bagian Tengah. Terutama di wilayah Kalimantan Utara, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi, Bali dan Jawa Timur.
Hendra pun turut dibantu oleh anak buahnya berinisial F dalam mengendalikan narkoba yang sudah ditetapkan sebagai DPO.
Di saat yang bersamaan juga Hendra mampu mengendalikan hasil perputaran uang narkobanya hingga mencapai Rp2,1 triliun dan sebagiannya dijadikan hasil Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
"Perputaran uang dan transaksi jaringan HS selama beroperasi sejak tahun 2017 hingga 2024 itu angkanya mencapai Rp2,1 triliun, dan sebagian uang yang didapatkan dari hasil penjualan narkoba ini digunakan untuk membeli aset-aset narkoba yang telah kita sita itu sekitar nilainya Rp221 miliar," beber Wahyu.
Untuk pencucian asetnya, Hendra dibantu oleh pelaku lainnya. Pertama adalah berinisial TR berperan sebagai pengelola uang hasil kejahatan. Kemudian berinisial MA sama perannya pengelola aset hasil kejahatan.
Sementara tersangka berinisial SJ berperan sebagai pengelola aset hasil kejahatan. CA berperan membantu pencucian uang, AA berperan membantu pencucian uang,
"NMY berperan membantu pencucian uang, RO dan AY semuanya juga membantu dalam pencucian uang," ucap jenderal bintang tiga itu.
Modus Operandi
Dalam modus operandi di kasus TPPU, terdapat tiga tahap yang dilakukannya. Dimulai dari menempatkan hasil kejahatan di Rekening-rekening penampung atas nama orang lain.
"Tahap Pelapisan (Layering), yaitu mentrasnfer uang dari rekening penampung ke rekening atas nama orang lain yaitu T, MA, dan AM," ujar Wahyu.
Pada tahap terakhir inilah, para pelaku kemudian membelanjakan sejumlah aset dari rekening anak buah HS.
Adapun aset yang berhasil disita oleh Polri di antaranya 44 bidang tanah dan bangunan, 21 unit kendaraan roda 4, 28 unit kendaraan roda 2, 6 unit kendaraan laut berupa 4 buah kapal, 1 speedboat, dan 1 jet ski, 2 unit kendaraan jenis ATV, all train vehicle, 2 buah jam tangan mewah, uang tunai Rp1,2 miliar, dan deposito di bank sebesar Rp500 juta.
Atas perbuatannya, para pelaku telah ditetapkan sebagai tersangka dan dikenakan pasal TPPU dengan pidana penjara maksimal 20 tahun penjara dan dan denda Rp5 miliar.