Tokoh diaspora NTT deklarasi merawat kebinekaan
Tokoh diaspora NTT deklarasi merawat kebinekaan. Hadir pada acara itu tokoh-tokoh diaspora NTT, baik dari kalangan Muslim, Katolik dan Protestan. Di antaranya Jou Hasyim Wajmahing, Petrus Selestinus, Honing Sani, Gega Kasim, Marsel Ado Wawo, Hadi Djawas dan Zakarias Sabon.
Masyarakat diaspora dari Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang tinggal di Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi dan Depok (Jabodetabek) bertekad menjaga dan merawat kebinekaan atau kemajemukan bangsa ini. Alasannya, Bhineka Tungggal Ika adalah salah satu harga mati bangsa ini yang harus dijaga, selain Pancasila, UUD 1945 dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
"Kami warga NTT adalah bagian dari republik ini. Bangsa ini sudah menganut Bhineka Tunggal Ika. Kami memandang kebinekaan Indonesia yang termanifestasi dalam Pancasila sudah final. Kami siap menjaga dan merawatnya serta melawan upaya-upaya pemecah belah," kata Ketua Komisi XI DPR Melchias Marcus Mekeng dalam deklarasi Merawat kebinekaan di Jakarta, Jumat (11/11).
Hadir pada acara itu tokoh-tokoh diaspora NTT, baik dari kalangan Muslim, Katolik dan Protestan. Di antaranya Jou Hasyim Wajmahing, Petrus Selestinus, Honing Sani, Gega Kasim, Marsel Ado Wawo, Hadi Djawas dan Zakarias Sabon.
Melchias menjelaskan para pendiri bangsa ini sudah dengan susah payah meletakkan kebinekaan sebagai satu dasar keberadaan bangsa ini. Mantan Presiden Soekarno melahirkan ide Pancasila untuk pertama di kota Ende, Provinsi NTT. Dengan pengakuan kebinekaan maka bangsa ini bisa hadir seperti sekarang ini.
"Bahaya sekali jika kebinekaan ini lalu dibuang. Kita bisa bayangkan bagaimana anak cucu kita nanti kalau kebinekaan ini hilang. Mau tinggal di mana mereka? Kita berharap berbagai gerakan akhir-akhir ini yang coba memecah belah bangsa dan ingin membuang kebinekaan dapat segera diakhiri," tutur mantan Ketua Badan Anggar (Banggar) DPR ini.
Menurutnya, warga NTT sudah diwarisi kehidupan dalam nuansa kebinekaan. Di NTT, ada berbagai macam suku, agama dan ras. Kesemuanya hidup rukun dan tidak ada yang saling mempertentangkan.
"Warga diasporan NTT bertekad merawat kebinekaan dan menjaga Indonesia dengan semangat 100 persen NTT dan 100 persen Indonesia. Kami memandang realitas kebinekaan merupakan sarana untuk saling memahami, menerima, mengingatkan dan menolong satu sama lain," ujarnya.
Dia menambahkan dalam perkembangan terkini, telah muncul kondisi yang berpotensi mengancam kebinekaan. Dari waktu ke waktu, bahkan dari hari ke hari, potensi sentimen sektarian tampak semakin mengkristal. Hal ini dapat menjauhkan solidaritas kebangsaan di antara sesama anak bangsa.
"Kondisi ini, cepat atau lambat dapat mengacam dan membahayakan persatuan bangsa. Maka mari kita semua menjaga situasi sekarang agar tidak bertambah runyam. Nanti Indonesia ini bisa bubar," tegasnya.
Tokoh muslim Hasyim Wajmahing mengemukakan Indonesia ini bukan hanya warga Jakarta saja atau warga Muslim saja. Indonesia adalah negara yang dihuni oleh berbagai suku, ras dan agama. Karena itu, tidak ada alasan untuk meniadakan yang lain. Antar suku, agama dan ras yang berbeda harus saling harga-menghargai dan hormat-menghormati.
"Kami ingin mengajak seluruh bangsa ini menjaga kebinekaan. NTT yang memulainya. Harapannya, provinsi-provinsi yang lain juga melakukan hal yang sama. Mau jadi apa bangsa ini kalau kebinekaan ditiadakan?" kata Hasyim.
Dia berharap penggunaan atribut-atribut agama dalam meraih kekuasaan harus diakhiri. Jangan memobilisasi massa dengan memakai atribut agama dengan tujuan untuk meraih kekuasaan.
"Kami warga NTT memulai merawat kebinekaan ini. Kami mengambil inisiatif untuk membangun silaturahmi dan komunikasi dengan semua elemen bangsa untuk merawat kebinekaan," tegasnya.
Terkait dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh calon gubenur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), dia meminta semua pihak harus menghormati proses hukum yang sedang dilakukan. Polri sudah memeriksa Ahok dan sejumlah saksi. Polri juga menjanjikan gelar perkara secara terbuka.
"Jangan memaksa kehendak. Hormati proses hukum yang ada. Ini negara hukum. Kami masyarakat NTT akan tunduk pada hukum apapun putusan terhadap kasus yang ada," tutupnya.
Hal yang sama disampaikan Petrus Salestinus. Petrus yang juga seorang pengacara ini berharap penyelesaian kasus Ahok harus berlandaskan pada hukum. Jangan hukum yang dibuat sendiri atau menekan-tekan penegak hukum agar mengikuti kemauan sekelompok orang.
"Kita harus taat hukum. Bahaya kalau memaksakan kehendak. Nanti negara ini bisa kacau kalau seperti itu," ungkapnya.