UU Agraria belum memihak rakyat, petani Jatim tuntut reforma agraria
Sejumlah elemen massa yang tergabung dalam Aliansi Tani Jawa Timur (Alit Jati) menggelar aksi Hari Tani Nasional di depan gedung DPRD Jawa Timur, Selasa (26/9). Mereka menuntut pemerintahan Joko Widodo–Jusuf Kala (Jokowi-JK) segera melakukan reforma agraria.
Sejumlah elemen massa yang tergabung dalam Aliansi Tani Jawa Timur (Alit Jati) menggelar aksi Hari Tani Nasional di depan gedung DPRD Jawa Timur, Selasa (26/9). Mereka menuntut pemerintahan Joko Widodo–Jusuf Kala (Jokowi-JK) segera melakukan reforma agraria.
Elemen massa itu di antaranya Serikat Petani Indonesia (SPI) Jawa Timur, Aliansi Petani Indonesia (API) Jawa Timur, Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI), Kamus Pto Rakyat (Kamus PR), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) dan beberapa elemen lain.
"Reformasi agraria memang sudah dimasukkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) sejak awal pemerintahan Presiden Jokowi-JK," kata korlap aksi, Adib Dian Mahmudi.
Namun dalam perjalanannya, lanjut Adib, program legalisasi aset lebih banyak mendominasi pelaksanaan reforma agraria pemerintah. Belum menyentuh pada kebutuhan petani.
"Begitu juga pelepasan kawasan hutan yang mencapi 4,1 juta hektare, hanya berlaku untuk semua kawasan di luar Pulau Jawa," katanya.
Konflik Agraria di Indonesia
Dalam orasinya, para demonstran juga menyebut sejak Reformasi 1998 konflik agraria di Indonesia belum mendapat perlakuan khusus dari pemerintah.
"Konflik ini merujuk pada pertentangan klaim mengenai siapa yang berhak atas akses tanah, antara kelompok rakyat dengan lembaga pemerintah, atau badan usaha yang bergerak di bidang produksi, ekstraksi, konservasi, dan lainnya," kata salah satu orator aksi, Naning dari Komite Nasional Pertanian Keluarga (KNPK) Indonesia.
Kata dia, penyebab munculnya konflik juga bermacam-macam. Mulai dari warisan zaman Belanda sampai konflik baru. "Hal ini karena surat keputusan pemerintah yang memberi perizinan pada badan usaha tertentu, dengan memasukkan tanah kepunyaan akses rakyat ke dalam konsesi-konsesi agraria atau pembangunan infrastruktur," ucapnya.
Terbitnya Undang-Undang (UU) Nomor 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, kata dia lagi, menjadi salah satu contoh penyebab munculnya konflik agraria.
"Melalui undang-undang tersebut, pembangunan yang mengatasnamakan kepentingan umum menjadi semakin marak."
Oleh sebab itu, katanya lagi, konflik agraria bersifat struktural dan makin lama makin menciptakan konsentrasi pemilikan, penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah pada satu pihak. "Serta semakin menghilangkan hak atau akses agraria pada pihak rakyat," keluhnya.
Dengan situasi agraria yang timpang ini, masih kata Naning, justru menurunkan produktivitas dan kesejahteraan rakyat, terutama petani yang berkaitan langsung dengan tanah. "Fenomena ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah turut berpengaruh pada meningkatnya kemiskinan dan pengangguran di pedesaan," tandasnya.