Warga Bekasi yang tak peduli politik
Dalam dua kali pilkada, yakni 2008 dan 2012, partisipasi pemilih warga Bekasi selalu rendah.
Kota Bekasi, yang sedang ramai di-bully di media sosial belakangan ini, dihuni oleh warga yang kebanyakan tidak peduli dengan politik lokal di wilayahnya. Setidaknya hal ini terlihat dalam partisipasi memilih warga dalam pemilu kepada daerah (pilkada) di kota satelit Jakarta itu.
Dalam dua kali pilkada, yakni 2008 dan 2012, partisipasi pemilih warga Bekasi selalu rendah. Golongan putih (golput) selalu menjadi ‘juara’. Dalam arti, jumlah suara yang tidak digunakan, selalu lebih tinggi dari suara yang diperoleh pasangan pemenang pilkada.
Pada Pilkada Kota Bekasi 2008, berdasarkan data rekapitulasi Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Bekasi, sebanyak 413.407 (35,37 persen) warga golput. Sementara pada Pilkada Bekasi 2012, sebanyak 820.610 (50,7 persen) warga juga tak menggunakan hak suaranya.
Maraknya golput memang sudah menjadi tren di pilkada-pilkada di Indonesia, namun Pilkada Kota Bekasi 2012 adalah sedikit dari pilkada-pilkada yang mencetak golput lebih dari separuh jumlah pemilih. Sebelumnya ada Pilkada Kota Surabaya 2005 yang mencetak angka golput 54,8 persen.
Meski KPU telah memberikan legalitas kemenangan pasangan calon, legitimasi etis kekuasaan tetap menjadi persoalan jika dalam pilkada ada separuh lebih warganya yang tidak memilih. Lalu, siapa yang golput di Kota Bekasi?
Sejumlah hipotesis menyebutkan, tingginya golput di kota satelit dikarenakan banyaknya warga komuter yang menghuni wilayah tersebut. Hipotesis ini salah satunya diungkapkan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Bekasi, Tubagus Hendy Irawan.
“Warga Bekasi ini memang tidak bisa diprediksi, kalau kerja mereka ke Jakarta, tapi kalau mendapat libur malah ke tempat-tempat wisata. Mereka ini yang berpotensi golput,” kata Hendy beberapa waktu lalu.
Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi pernah melontarkan data bahwa jumlah komuter di Bekasi adalah 60 persen dari 2,4 juta jiwa jumlah penduduk Bekasi pada 2012 atau berarti sekitar 1,4 juta. Rahmat, yang menang dalam Pilkada Kota Bekasi 2012, juga menduga komuter yang berjumlah sekitar 1,4 juta jiwa itu yang diduga menjadi golput.
Hipotesis minimnya partisipasi memilih di kota satelit yang banyak dihuni komuter ini sejalan dengan pendapat Anthony Downs (1957), bahwa warga negara akan memberikan suaranya bilamana partai atau calon tersebut dinilai dapat membantu memenuhi kebutuhan dasarnya: ekonomi. Inilah yang disebut Teori Pilihan Rasional (Rational Choice Theory) dalam politik.