Waspada Hoaks Jadi Alat Propaganda Pecah Belah Keutuhan Bangsa
Dia mengatakan, beberapa hal yang tersebar melalui internet saat ini mengancam dan menyerang karakter serta persatuan bangsa, di antaranya adalah propaganda asing, intoleransi dan radikalisme.
Anggota DPD, Misharti, menyebutkan, hoaks dan propaganda yang menyebar di tengah masyarakat mengancam memecah belah bangsa.
Dia mengatakan, beberapa hal yang tersebar melalui internet saat ini mengancam dan menyerang karakter serta persatuan bangsa, di antaranya adalah propaganda asing, intoleransi dan radikalisme.
-
Siapa yang dipolisikan terkait dugaan penyebaran hoaks? Polda Metro Jaya diketahui mengusut dugaan kasus menyebarkan hoaks Aiman lantaran menuding aparat tidak netral pada Pemilu 2024.
-
Kenapa berita hoaks ini beredar? Beredar sebuah tangkapan layar judul berita yang berisi Menteri Amerika Serikat menyebut Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) bodoh usai Pusat Data Nasional Sementara (PDNS) 2 diserang hacker beredar di media sosial.
-
Bagaimana cara Kominfo menangani isu hoaks? Tim AIS Kementerian Kominfo telah melakukan pemutusan akses atas konten yang teridentifikasi sebagai isu hoaks.
-
Siapa yang diklaim sebagai tersangka yang dilepaskan dalam berita hoaks? Berita yang beredar mengenai kepolisian yang membebaskan tersangka pembunuhan Vina Cirebon bernama Pegi karena salah tangkap adalah berita bohong.
-
Siapa yang menyatakan bahwa tengkorak raksasa di Sri Lanka adalah hoaks? Melansir dari situs cek fakta Sri Lanka, factcrescendo.com, setelah dilakukan penyelidikan, juru bicara Departemen Arkeologi Sri Lanka menyangkal adanya pengetahuan atau bukti tentang penemuan tengkorak raksasa di Gua Pahiyangala.
-
Kenapa Agus Widanarko menggunakan kostum Gatotkaca untuk kampanye melawan hoaks? Danar mengatakan ia mengenakan kostum Gatotkaca karena unik dan mudah diingat masyarakat. Ia juga mengenakan kostum Gatotkaca untuk aksi-aksi lain.
"Ada juga weaponization of social media, ‘tempur politik di media sosial'. Hoaks menjadi alat propaganda yang dimanfaatkan banyak pihak, menjadi permainan politik di berbagai negara, termasuk di Indonesia," ujar Misharti, dikutip dari Antara, Kamis (17/12).
Dia memahami perkembangan dunia teknologi informasi yang sangat pesat memudahkan orang mendapat informasi dan menambah ilmu. Namun pada sisi lain, sering pula disalahgunakan segelintir orang untuk mencapai tujuan.
Kelompok kecil ini memanfaatkan kebiasaan generasi muda Indonesia yang amat bergantung pada ponsel pintar dan koneksi internet.
Sebagai kebutuhan primer, para digital native itu menggunakan internet sebagai medium eksistensi diri seraya menambah pengetahuan akan berbagai isu yang sedang berkembang, termasuk isu keadilan dan sosial politik.
Menurut dia, situasi ini membuka peluang untuk menyusupkan nilai-nilai yang dapat memprovokasi dan memecah belah sesama anak bangsa melalui konten-konten hoaks dan ujaran kebencian.
Secara tidak sadar, generasi muda Indonesia sebagai kelompok pengguna aktif media sosial pun ikut terpengaruh.
Teknologi Harusnya Beri Manfaat
Rata-rata anak muda terkoneksi dengan internet minimal empat jam sehari. Selain itu, kata dia saat ini orang juga hanya bisa terpisah tujuh menit dari gawainya.
"Seharusnya, kemajuan teknologi serta kemudahan mendapat informasi memberi manfaat bagi masyarakat, untuk saling menguatkan. Inilah pentingnya literasi," kata dia.
Pengguna media sosial, kata dia, harus dapat memilah mana berita yang pantas untuk dikonsumsi dan mana yang tidak. Terlebih lagi, berita-berita hoaks tersebut berpotensi merusak tatanan kehidupan masyarakat dan negara.
"Untuk itu, saya minta pemerintah, dalam hal ini Kemenkominfo, bertindak tegas. Termasuk juga kepolisian harus bertindak cepat dan tegas. Bila perlu harus diusut tuntas siapa saja yang menyebarkan berita hoaks tersebut dan diberi hukuman untuk memberi efek jera," ujarnya.
Sepanjang 2019, Kementerian Komunikasi dan Informasi menemukan 3.801 hoaks. Mayoritas hoaks itu adalah terkait politik, yaitu mengenai calon presiden dan wakil presiden, partai politik peserta dan penyelenggara Pemilu.
Sementara itu, per 16 November 2020, Masyarakat Anti Fitnah Indonesia yang berkolaborsi dengan cekfakta.com menemukan 2.024 hoaks beredar di Indonesia sejak awal tahun.
Setidaknya sepertiga dari jumlah tersebut adalah hoaks terkait pandemi Covid-19. Sementara isu lain yang kerap dijadikan tema hoaks adalah pilkada serentak 2020 dan UU Omnibus Law.
Peredaran hoaks sendiri umumnya terjadi di media sosial. Terbanyak ada di Facebook, kemudian platform lain seperti Twitter dan WhatsApp.
Pengemasannya yang mudah dicerna dan dibumbui kesan bombastis kerap membuat orang mudah mempercayai hoaks. Tak jarang, para pembuatnya menggunakan hoaks ini sebagai alat propaganda untuk memecah belah sesama anak bangsa.
(mdk/rnd)