Anggota DPRD DKI dan NTT gugat komposisi pimpinan ke MK
Pasal 327 ayat (1) dinilai tidak dapat menjadi dasar bagi pengisian komposisi pimpinan DPRD DKI.
Beberapa anggota DPRD DKI dan Nusa Tenggara Timur mempermasalahkan komposisi pimpinan yang diatur dalam Pasal 327 ayat (1) dan (2) Undang-undang (UU) Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3). Mereka berdalil keberadaan dua pasal tersebut menciptakan ketidakselarasan karena mengatur komposisi pimpinan dengan jumlah anggota antara 85 sampai 100 orang serta harus berasal dari partai pemenang pemilu.
Mereka adalah Mohammad Sangaji, Veri Yonnevil, Wibi Andrino, Muannas dari DPRD DKI serta Jimmi Wilbadus, Yucundianus, Jefri Unbununaek dari DPRD NTT. Atas dasar itu mereka mengajukan permohonan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Kuasa hukum anggota DPRD DKI, Ramdan Alamsyah mengatakan Pasal 327 ayat (1) tidak dapat menjadi dasar bagi pengisian komposisi pimpinan DPRD DKI. Menurut dia, jumlah anggota DPRD DKI lebih dari 100 orang sehingga perlu ada penambahan satu kursi wakil ketua.
"Jadi penambahan kursi Wakil Ketua DPRD Provinsi DKI Jakarta sebanyak satu kursi dinilai memenuhi aspek proposionalitas terhadap seluruh jumlah keanggotaan DPRD Provinsi DKI Jakarta yang melebihi 100 orang yakni 106 orang," ujar Ramdan dalam sidang di Gedung MK, Jakarta, Rabu (19/11).
Ramdan mengatakan penambahan satu kursi bertujuan untuk meningkatkan kinerja. Ini karena DPRD DKI memiliki lima komisi sehingga jika terdapat lima wakil ketua, kinerja dapat semakin efektif.
"Kami meminta agar pasal tersebut dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai satu orang ketua dan lima orang wakil ketua untuk DPRD Provinsi jika beranggotakan di atas 100 orang," kata dia.
Sementara itu, Kuasa Hukum anggota DPRD NTT, Muhammad Syukur Mandar mengatakan pemberlakuan Pasal 327 ayat (2) telah menimbulkan diskriminasi dan mencederai demokrasi. Ini karena pasal tersebut dinilai menghalangi para anggota DPRD yang memiliki kemampuan untuk menduduki komposisi pimpinan karena diisi oleh anggota dari partai pemenang pemilu.
"Pemohon telah kehilangan kebebasannya untuk ikut serta mengisi alat kelengkapan DPRD yang menimbulkan ketidakadilan," ungkap Syukur.
Terkait dengan permohonan ini, Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati menilai hal tersebut merupakan kasus konkret yang tidak menjadi wewenang MK. Selain itu, penetapan komposisi pimpinan merupakan kebijakan terbuka dari DPRD.
"Ini choice of law yang merupakan open legal policy (kebijakan hukum terbuka) pembentuk undang-undang. Bisa saja, kita diyakinkan karena provinsi DKI Jakarta persoalannya terlalu kompleks, sehingga dibutuhkan tambahan 1 wakil ketua DPRD,” kata dia.