Arief Hidayat Beberkan Keganjilan Putusan MK soal Kepala Daerah Usia di Bawah 40 Tahun Bisa Jadi Capres/Cawapres
Keganjilan ditemukan Arief seperti proses sidang yang lama hingga penarikan perkara perbaikan dilakukan kuasa hukum pemohon.
Keganjilan ditemukan Arief seperti proses sidang yang lama hingga penarikan perkara perbaikan dilakukan kuasa hukum pemohon.
Arief Hidayat Beberkan Keganjilan Putusan MK soal Kepala Daerah Usia di Bawah 40 Tahun Bisa Jadi Capres/Cawapres
Hakim Konstitusi Arief Hidayat membeberkan sejumlah keganjilan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan syarat calon presiden dan calon wakil berusia paling rendah 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah.
Arief bersama Saldi Isra, Wahiduddin Adams, dan Suhartoyo sebelumnya menyatakan beda pendapat atau disentting opinion dari lima hakim konstitusi lainnya terkait gugatan nomor perkara 90/PUU-XXI/2023 yang diajukan seorang mahasiswa Universitas Surakarta bernama Almas Tsaqibbirru tersebut.
Dalam petitumnya, pemohon Almas Tsaqibbirru meminta ditambahkan frasa 'berpengalaman sebagai kepala daerah' sebagai syarat capres-cawapres.
- Sidang MKMK Putuskan Arief Hidayat Tidak Melanggar Etik, namun Langgar Prinsip Kepantasan dan Kesopanan
- Tak Tahu Dugaan Lobi Putusan Batas Usia Capres-Cawapres, Arief Hidayat Sedih MK Diplesetkan Jadi Mahkamah Keluarga
- Arief Hidayat Bongkar Fakta-Fakta Kejanggalan Putusan MK
- Terima Kehadiran Relawan, PKS Siap Menangkan Anies di Pilpres 2024
Menurut Arief, dalam pengubahan frasa tersebut terdapat beberapa kejanggalan. Terutama dari proses perkara nomor 90 dari mulai didaftarkan hingga pengambilan keputusan jika dibandingkan empat gugatan dengan petitum terkait batas mininum capres-cawapres seperti gugatan nomor 29, gugatan nomor 51, gugatan nomor 55 dan gugatan nomor 91.
"Dari kelima perkara a quo saya merasakan adanya kosmologi negatif dan keganjilan pada kelima perkara a quo yang perlu saya sampaikan karena hal ini mengusik hati nurani saya sebagai seorang hakim yang harus menunjukan sikap penuh integritas, independen dan imparsial, serta bebas dari intervensi politik mana pun dan hanya berorientasi pada kepentingan bangsa dan negara Republik Indonesia yang berdasar pada ideologi Pancasila," kata Arief di ruangan sidang MK, Senin (16/10).
Jadwal Sidang Terkesan Lama
Keganjilan dan keanehan ditemukan Arief seperti proses persidangan gugatan, setelah agenda perbaikan permohonan menuju pemeriksaan persidangan dengan agenda mendengarkan keterangan DPR dan presiden terkesan terlalu lama. Bahkan menurut Arief, memakan waktu hingga 2 bulan, yakni pada Perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023 dan satu bulan pada Perkara Nomor 51/PUU-XXI/2023 dan Perkara Nomor 55/PUU-XXI/2023.
Meskipun hal ini tidak melanggar hukum acara baik yang diatur di dalam undang-undang tentang
Mahkamah Konstitusi maupun Peraturan Mahkamah Konstitusi, dikatakan Arief, penundaan
perkara a quo berpotensi menunda keadilan dan pada akhirnya akan meniadakan
keadilan itu sendiri.
Terlebih hal ini merupakan suatu ketidaklaziman yang saya rasakan selama lebih kurang 10 tahun menjadi hakim konstitusi dalam menangani perkara di MK. Oleh karena itu pada kesempatan ini pula Arief mengusulkan agar Mahkamah menetapkan tenggang waktu yang wajar antara sidang perbaikan permohonan dengan pemeriksaan persidangan untuk mendengarkan keterangan DPR dan Pemerintah, sehingga peristiwa seperti ini tidak akan atau tidak lagi terjadi di kemudian hari.
"Perbaikan ini dapat dilakukan dengan menyempurnakan hukum acara perkara pengujian undang-undang," ujar Arief.
Keganjilan Rapat Permusyawaratan Hakim
Arief juga menyoroti Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) pada Selasa, 19 September 2023 terkait pengambilan putusan terhadap Perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023, Perkara Nomor 51/PUU- XXI/2023, dan Perkara Nomor 55/PUU-XXI/2023, Anwar Usman tidak hadir. Sebab itu, forum dipimpin oleh Wakil Ketua.
"Dan saya menanyakan mengapa ketua tidak hadir, Wakil Ketua kala itu menyampaikan bahwa ketidakhadiran ketua dikarenakan untuk menghindari adanya potensi konflik kepentingan atau conflict of interest disebabkan isu hukum yang diputus berkaitan erat dengan syarat usia minimal untuk menjadi Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden," tutur Arief.
"Di mana kerabat Ketua berpotensi diusulkan dalam kontestasi Pemilu Presiden 2024 sebagai Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden oleh salah satu partai politik, sehingga Ketua memilih untuk tidak ikut dalam membahas dan memutus ketiga perkara a quo," kata Arief.
Pada akhirnya, kata Arief, ketiga perkara a quo yakni Perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023, Perkara Nomor 51/PUU-XXI/2023 dan Perkara Nomor 55/PUU-XXI/2023 diputus dengan komposisi mayoritas hakim menyatakan menolak permohonan a quo, meskipun ada pula hakim yang berpendapat lain.
“Namun demikian, pada Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 dan Perkara Nomor 91/PUU-XXI/2023 dengan isu konstitusionalitas yang sama, yaitu berkaitan dengan syarat minimal usia calon Presiden dan Calon Wakil Presiden, Ketua malahan ikut membahas dan memutus kedua perkara a quo, dan khusus untuk Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 diputus dengan amar dikabulkan sebagian,” ungkap Arief.
Arief mengaku tidak habis pikir dengan situasi tersebut. Terlebih, hal itu malah menimbulkan kejanggalan dan kecurigaan di kalangan hakim konstitusi yang turut serta dalam RPH tersebut.
“Sungguh tindakan yang menurut saya di luar nalar yang bisa diterima oleh penalaran yang wajar,” jelas dia.
Atas dasar itu, Arief kemudian mempersoalkan tindakan Anwar Usman dalam RPH pada Kamis, 21 September 2023. Menurutnya, Ketua MK pun beralasan ketidakhadiran pada pembahasan dan forum pengambilan keputusan pada Perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023, Perkara Nomor 51/PUU-XXI/2023 dan Perkara Nomor 55/PUU-XXI/2023 lebih dikarenakan masalah kesehatan.
“Dan bukan untuk menghindari konflik kepentingan atau conflict of interest sebagaimana disampaikan Wakil Ketua pada RPH terdahulu,” kata Arief.
Tidak sampai di situ, lanjut Arief, sebenarnya Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 dan Perkara Nomor 91/PUU-XXI/2023 yang dilayangkan oleh satu pemohon yakni Almas Tsaqibbirru telah dinyatakan dicabut oleh kuasa hukumnya pada Jumat, 29 September 2023. Namun berselang sehari yakni Sabtu, 30 September 2023, Pemohon membatalkan pencabutan kedua perkara a quo itu.
“Hal ini lah yang menurut saya aneh dan tak bisa diterima rasionalitasnya. Peristiwa ini turut menguji pula sisi integritas dan kenegarawanan seorang hakim konstitusi," ujar Arief.
Gugatan Sempat Ditarik untuk Perbaikan
Keganjilan lainnya diungkapkan Arief terkait gugatan yang diajukan Almas Tsaqibbirru sempat ditarik tetapi tetap dilanjutkan.
Arief menguraikan keanehan dan keganjilan gugatan nomor 90 itu terkait perbuatan hukum pemohon yang melakukan pencabutan perkara sepihak atas inisiatifnya sendiri tanpa berkoordinasi dengan Pemohon Principal karena malu dan khilaf yang disebabkan oleh adanya miskomunikasi internal
dalam tim kuasa hukum terkait penyerahan hardcopy berkas permohonan
sebanyak 12 rangkap.
"Menurut penalaran yang wajar, alasan kuasa hukum dimaksud tidak dapat diterima rasionalitasnya," ujar Arief.
Kedua adanya perbedaan waktu penerimaan surat pembatalan pencabutan perkara antara keterangan kuasa hukum pada persidangan hari Senin, 3 Oktober 2023 dengan waktu yang tertera pada Tanda Terima Berkas Perkara Sementara (TTBPS), yakni pada pukul 12.04 WIB, sedangkan berdasarkan
keterangan kuasa hukum pada persidangan, surat pembatalan pencabutan perkara diterima pada pukul 20.36 WIB.
Keganjilan selanjutnya adanya perbedaan nama petugas PAMDAL MK yang menerima surat
pembatalan pencabutan perkara menurut kuasa hukum Pemohon diterima oleh Dani (PAMDAL MK), namun nama yang tercantum dalam Tanda Terima Berkas Perkara Sementara (TTBPS), yakni Safrizal (PAMDAL MK).
Kemudian pola dan keterangan yang disampaikan Kuasa Hukum dan Pemohon Principal Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 (Almas Tsaqibbiru Re A) juga sama dengan pola dan Keterangan yang disampaikan Kuasa Hukum dan Pemohon Principal Perkara Nomor 91/PUU-XXI/2023 (Arkaan Wahyu Re
A), meskipun waktu persidangan untuk melakukan konfirmasi pencabutan atau penarikan permohonan dijadwalkan berbeda. Artinya, keterangan kuasa hukum dan Pemohon ihwal pencabutan dan pembatalan pencabutan perkara dilakukan secara sadar dan by design.
Keganjilan terakhir pada Sabtu, 30 September 2023, terdapat surat pembatalan penarikan
permohonan Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 dan Perkara Nomor 91/PUUXXI/2023 yang dikirim oleh Rudi Setiawan yang merupakan staf kuasa hukum Pemohon dan diterima oleh Pamdal MK.
"Permasalahannya yaitu mengapa surat pembatalan penarikan permohonan diregistrasi dibagian Kepaniteraan pada hari Sabtu, 30 September 2023 di hari libur dan bukan pada hari Senin, 2 Oktober 2023," ujar Arief.