Demokrat Curiga Pembentukan Tim Kasus Novel Untuk Kepentingan Jokowi di Debat
Wasekjen Partai Demokrat Rachland Nashidik curiga pembentukan tim gabungan kasus Novel Baswedan untuk kepentingan politik Joko Widodo jelang debat Pilpres. Dia mengungkapkan sejumlah kejanggalan dalam pembentukan tim ini.
Wasekjen Partai Demokrat Rachland Nashidik curiga pembentukan tim gabungan kasus Novel Baswedan untuk kepentingan politik Joko Widodo jelang debat Pilpres. Dia mengungkapkan sejumlah kejanggalan dalam pembentukan tim ini.
"Tim Gabungan Kasus Novel ini 'tailor made' agar pas dengan kepentingan politik Jokowi dalam Pemilu dan debat besok," kata Rachland melalui siaran pers kepada merdeka.com, Rabu (16/1).
-
Kapan Presiden Jokowi meresmikan Bandara Panua Pohuwato? Presiden Joko Widodo atau Jokowi meresmikan Bandar Udara Panua Pohuwato di Provinsi Gorontalo.
-
Apa isi dari gugatan terhadap Presiden Jokowi? Gugatan itu terkait dengan tindakan administrasi pemerintah atau tindakan faktual.
-
Kapan Prabowo bertemu Jokowi? Presiden terpilih Prabowo Subianto bertemu dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana kepresidenan, Jakarta, Senin (8/7) siang.
-
Apa yang diusulkan oleh Partai Demokrat terkait penunjukan Gubernur Jakarta? Hal senada juga disampaikan Anggota Baleg Fraksi Demokrat Herman Khaeron. Dia mengatakan, pihaknya tetap mengusulkan agar Gubernur Jakarta dipilih secara langsung. "Kami berpandangan tetap, Pilgub DKI dipilih secara langsung. Bahkan wali kota juga sebaiknya dipilih langsung," kata Herman Khaeron.
-
Kapan Partai Demokrat dideklarasikan? Selanjutnya pada tanggal 17 Oktober 2002 di Jakarta Hilton Convention Center (JHCC), Partai Demokrat dideklarasikan.
-
Apa yang menurut Jokowi merupakan urusan partai politik dalam proses pencalonan Anies Baswedan di Pilgub Jabar? Ya tapi kan itu urusan partai politik, mau mencalonkan dan tidak mencalonkan itu urusan koalisi, urusan partai politik," ucapnya.
Kejanggalan pertama, kata Rachland, Komnas HAM sebagai pihak yang memberi rekomendasi soal tim gabungan bertindak seperti Kompolnas. Padahal, menurutnya, bukan tugas Komnas HAM mengevaluasi kinerja polisi, kemudian mendesak Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengambil alih penanganan kasus Novel.
"Saya terus terang bingung kenapa Komnas HAM mengeluarkan rekomendasi kepada Kapolri berupa pembentukan Tim Gabungan untuk kasus Novel. Tugas Komnas HAM adalah memastikan kinerja polisi selalu berada dalam konformitasnya pada norma norma HAM," ujarnya.
Dia melanjutkan, ada kekacauan konsep pembentukan tim gabungan itu. Kasus pelanggaran HAM terhadap Novel dianggap bisa terjadi karena polisi membiarkan kasus ini berlarut dan mandek.
Di sini lah peran Komnas HAM diperlukan. Rachland menilai Komnas HAM seharusnya segera bertindak mendesak Presiden Joko Widodo tim pencari fakta untuk membantu polisi. Sayangnya, kata dia, Komnas HAM tidak mendesak Jokowi malah mengevaluasi kinerja polisi.
"Di sini lucunya: alih alih menggebrak meja Presiden, Komnas HAM malah mengevaluasi kinerja Polda. Lalu mendesak kasus Novel diambil alih oleh Kapolri dengan membentuk Tim Gabungan. Ini sama saja dengan mengakui Polisi bekerja. Kendati diperlukan tambahan keseriusan. Soalnya, bila polisi bekerja, lalu dimana letak pelanggaran HAM dalam kasus Novel? Kalau begitu, apa dasar bagi Komnas HAM turun tangan dalam kasus Novel?," terang dia.
Oleh karena itu, Rachland menegaskan, pihak yang mengusulkan tim gabungan ini tidak mempelajari sejarah Tim Pencari Fakta pasca reformasi. Dia membandingkan dengan TGPF Kerusuhan Mei 1998 dan dengan TPF Munir sebagai benchmark.
"Yang pertama didasari Keputusan sejumlah menteri, yakni Menhan/Panglima ABRI, Jaksa Agung, Menteri Kehakiman, Menteri Luar Negeri dan Menteri Peranan Wanita. Yang kedua bahkan didasari oleh Keputusan Presiden. Itu evolusinya dari sisi otoritas. Evaluasinya, kendati TGPF kerusuhan Mei 98 memiliki dasar otoritas yang kuat dan jurisdiksi yang luas, namun at the end of the day diakui memiliki kelemahan. TGPF bagaimanapun "cuma pencari fakta," tegasnya.
"Hasil temuan-temuannya, meski penting dari sisi pencarian kebenaran, namun tak berlaku sebagai barang bukti dalam proses hukum. Temuan TGPF harus diserahkan kepada Polisi untuk ditindaklanjuti oleh penyelidikan dan kemudian penyidikan, apabila bisa. Ini antiklimaks. Belum tentu polisi mau atau bisa menindaklanjuti temuan," sambung dia.
Karena sulitnya polisi mengungkap Kasus pembunuhan aktivis HAM Munir, lanjut Rachland, Presiden kala itu Susilo Bambang Yudhoyono mengambil inisiasi membentuk TGPF. Presiden sebagai otoritas tertinggi mengambil peran untuk melindungi polisi mengungkap kasus Munir.
"Soal lain, otoritas menteri ternyata tidak cukup, kurang kuat, untuk menembus tembok tembok kesulitan yang membentengi kejahatan akibat abuse of power. Evaluasi itulah yang membuat TPF Munir berbeda. TPF Munir dibentuk oleh otoritas lebih tinggi, yakni Presiden. Inilah kepanjangan tangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk membantu dan melindungi polisi dalam menyelidiki kasus Munir. Melapor langsung pada Presiden, tim ini dengan sengaja dirancang untuk diketuai penyidik Polri (Brigjen. Marsudhi Hanafi). Agar temuan-temuan Tim bisa langsung dijadikan barang bukti bagi proses hukum, apabila memenuhi syarat," paparnya.
Sederet temuan ini, menurut dia, membuat pembentukan tim ini dipenuhi kejanggalan. Dia heran tim gabungan yang dipimpin Kapolri Jenderal Tito Karnavian hanya bertugas mencari fakta atas penyerangan Novel.
"Di sini kita bertemu kejanggalan. Bila ini tim polisi, masak iya pekerjaannya cuma cari fakta? Sebaliknya, bila tim ini melakukan pekerjaan normal polisi yaitu menyelidiki kejahatan, apa perlunya membentuk 'Tim Gabungan', yang dari sisi nama mengingatkan publik pada TGPF Kerusuhan Mei dan TPF Munir? Ke sana sini tak sampai," ungkapnya.
Oleh karena itu, Rachland menyimpulkan, tim ini hanya alat untuk memisahkan Jokowi dari tanggung jawab atas Kasus Novel. Pada akhirnya, jika pengusutan kasus ini kembali mandek, Jokowi tinggal berdalih dan menyalahkan polisi.
Tim ini bukan hanya akan mengeluarkan kasus Novel dari daftar kesalahan Jokowi dalam urusan perlindungan HAM. Ia juga memberi kesan seolah Jokowi bertekad menuntaskan kasus Novel. Namun, bila tim ini gagal atau tak selesai, Jokowi tinggal menyalahkan polisi. Lalu menegaskan: "Itu tak ada hubungan dengan saya. Tim itu dibentuk atas rekomendasi Komnas HAM, bukan saya"," tandasnya.
Sebelumnya, Kapolri Jenderal Tito Karnavian akhirnya mengeluarkan surat perintah pembentukan tim gabungan penyidikan untuk mengungkap kasus penyerangan terhadap penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan.
"Bahwa itu benar Kapolri sudah mengeluarkan surat perintah tersebut atas tindak lanjut rekomendasi Komnas HAM terhadap ranah Polri dalam mengusut kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan," tutur Kadiv Humas Polri Irjen Mohammad Iqbal di Mabes Polri, Jumat (11/1).
Rekomendasi Komnas HAM itu diserahkan ke Polri pada 21 Desember 2018. Hampir sebulan setelah diterima, Kapolri Tito kemudian meneken tanda tangan pembentukan tim gabungan tersebut pada 8 Januari 2019.
Dalam surat bernomor sgas/3/I/HUK.6.6/2019 itu, Kapolri memimpin langsung tim. Ada 65 nama gabungan komponen Polri dan masyarakat yang tercantum dalam daftar tim gabungan untuk penyidikan kasus Novel.
Baca juga:
Jelang Debat, DPR Minta Pembentukan Tim Kasus Novel Tak Dibawa ke Ranah Politik
Beri Dukungan, Masyarakat Sipil Beri 'Pil Kuat' ke Pimpinan KPK
Novel Baswedan Kecewa Moeldoko Sebut Kasusnya Bukan Pelanggaran HAM Berat
Novel Baswedan Anggap Tim Bentukan Polri Bukan TGPF
Aksi Tuntut Penuntasan Teror KPK