Di Sidang Sengketa Pilpres, Mahfud Cerita MK Beberapa Negara Ini Berani Batalkan Hasil Pemilu Curang
Mahfud menjelaskan, MK sebenarnya bisa memberikan keputusan berani yaitu membatalkan hasil Pemilu curang.
Mahfud berharap, Indonesia berani melakukan hal yang sama pada hasil Pilpres 2024.
Di Sidang Sengketa Pilpres, Mahfud Cerita MK Beberapa Negara Ini Berani Batalkan Hasil Pemilu Curang
Cawapres Mahfud Md mengutip pernyataan Yusril Ihza Mahendra saat menjadi saksi hasil sengketa Pilpres 2014. Mahfud menjelaskan, sengketa hasil Pilpres yang dibawa ke Mahkamah Konstitusi (MK) sepatutnya tidak hanya berbicara soal hasil.
- Ganjar soal Putusan Sengketa Pilpres di MK: Saya dan Pak Mahfud Taat Konstitusi
- Sidang Lanjutan Sengketa Pilpres, KPU dan Bawaslu Masing-Masing Hadirkan Saksi-Ahli
- Sidang Sengketa Pilpres 2024, Kubu Ganjar-Mahfud Hadirkan 10 Saksi hingga Ahli Romo Magnis dan Hamdi Muluk
- Mahfud: Apapun Hasil dari Pilpres, Saya Terus Berjuang Untuk Demokrasi Indonesia
"Pandangan ini bukan pandangan lama, melainkan pandangan yang selalu baru dan terus berkembang sampai sekarang, yang melahirkan pandangan bahwa MK bukan Mahkamah Kalkulator," ungkap Mahfud saat berpidato di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) Jakarta, Rabu (27/3).
Mahfud menjelaskan, MK sebenarnya bisa memberikan keputusan berani yaitu membatalkan hasil Pemilu seperti yang terjadi di beberapa negara.
“Di berbagai negara, pelanggaran pemilu yang diadili oleh MK juga memberikan putusan yang berani, yakni membatalkan hasil pemilu karena dinilai berlangsung curang dan melanggar prosedur. Hal itu dilakukan MK di Australia, Ukraina, Bolivia, Kenya, Malawi, dan Thailand,” jelas Mahfud.
Oleh karenanya, TPN Ganjar-Mahfud meminta KPU untuk menggelar pemungutan suara ulang tanpa pasangan Prabowo dan Gibran. Permohonan itu disampaikan dalam petitum gugatan hasil Pilpres 2024 yang diajukan ke MK.
Secara terpisah, Yusril mengaku tidak ambil pusing soal pernyataan lamanya yang dikutip oleh ‘kubu lawan’. Dia menjelaskan, pernyataan itu bukan mengartikan dirinya inkonsisten. Sebab pada 2014, belum lahir payung hukum Pemilu yang membagi tentang kewenangan untuk membagi masalah Pemilu.
“Saya sangat mengerti persoalan ini. Jadi pendapat 2014 itu pasti akan berubah setelah 2017 karena adanya UU nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu yang membagi kewenangan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang muncul dalam penyelenggaraan Pemilu,” ujar Yusril.
“Jadi apakah saya mencla mencle? atau orang memang sengaja memberi gambaran ke orang-orang seolah-olah saya tidak mengerti persoalan ini?,” tanya Yusril.
Setelah payung hukum tentang Pemilu lahir, maka persoalan tentang proses Pemilu menjadi kewenangan Gakkumdu atau Penegakkan Hukum Terpadu. Sedangkan perselisihan hasil Pemilu, menjadi kewenangan dari MK.
“Kalau terjadi pidana itu kewenangannya Gakkumdu, kalau terjadi pelanggaran administratif pemilu, itu kewenangannya Bawaslu, maju ke Pengadilan Tinggi bahkan bisa maju ke Mahkamah Agung. Ujungnya, yang menjadi sisa dari itu semua adalah tinggal perselisihan hasil pemilu. Hasil Pemilu itu lah yang menjadi wewenang Mahkamah Konstitusi,” tutur klarifikasi Yusril.