Imam besar New York: JK yang saya kenal (1)
Kebetulan yang saya kenal, dan saya juga kagumi adalah Pak Jusuf Kalla.
(Pengantar: tulisan di bawah ini adalah tulisan Shamsi Ali, Imam Besar Islamic Center of New York dan Direktur Jamaica Muslim Center Amerika Serikat. Berikut tulisan beliau)
Tulisan ini juga bertujuan untuk memberikan informasi kepada para pemilih tentang siapa calon yang ada. Kebetulan yang saya kenal, dan saya juga kagumi adalah pak Jusuf Kalla maka sudah pasti saya menuliskan siapa JK itu berdasarkan yang saya tahu tentunya.
Tulisan ini terjadi tidak saja karena satu daerah dengan pak JK, tapi karena memang itulah yang saya tahu tentang beliau. Kalau seandainya saya juga tahu banyak tentang cawapres lainnya, pasti akan saya tuliskan. Sayang saya tidak terlalu mengetahui seluk beluk beliau. Bahkan sebenarnya di PAN, selain pak Amien Rais, saya lebih mengenal pak Sustrisno Bachir karena pernah ketemu dan berbicara langsung.
Saya mengenal nama "Kalla" sejak ketika sekolah di pondok pesantren Muhammaditah "Darul-Arqam" Gombara Makassar (ketika itu masih Ujung Pandang). Sebuah pesantren yang secara fisik sangat sederhana, terletak di atas tanah yang gersang bebatuan dengan bangunan yang juga sangat sederhana.
Bersebarangan dengan pondok itu ada tanah luar yang ditumbuhi oleh pohon-pohon mangga. Masih teringat di saat musim mangga anak-anak santri tidak jarang di malam hari diam-diam menyeberang untuk sekedar mendapat buah-buah mangga manis yang terjatuh karena kelelawar atau bahkan sisa-sisa dari kelelawar itu. Di pinggiran kebun luas itu ada sumur yang milik masyarakat. Oleh karena air di sumur pondok terkadang habis, maka santri biasanya pergi ke sumur ini untuk mandi.
Sejak itu kami selalu mendengar nama "Kalla" bahwa beliau itu adalah pemilik kebun dan semua isinya. Beliau sendiri ketika itu belum pernah saya lihat wajahnya kecuali dari gambar-gambar saja. Yang saya kenal beliau adalah pebisnis dan pemilik dari perusahaan penyalur mobil di Indonesia Timur.
Nama Kalla juga saya kenal dari perusahaan bus antar daerah. Maklum ketika itu kakak saya bekerja di Telkom dan ditempatkan di sebuah daerah di kabupaten Enrekang, kalau tidak salah sekitar 7 jam dari Makassar. Biasanya kalau saya berziarah ke beliau pasti memakai kendaraan atau bis milik NV Kalla itu.
Setamat dari pesantren saya keluar negeri, Pakistan, lalu ke Saudi, dan akhirnya terdampar di kota dunia, New York-AS. Sejak meninggalkan Indonesia itu saya tidak terlalu banyak mengikuti siapa dan apa tentang Jusuf Kalla.
Nama Jusuf Kalla kembali saya dengar ketika beliau diangkat menjadi menteri oleh presiden keempat, Gus Dur. Tapi kemudian diberhentikan. Akhirnya pemberhentian menimpa Gus Dur, Jusuf Kalla kembali diangkat menjadi menteri oleh presiden penerus Gus Dur, Megawati.
Pemilihan presiden demokratis pertama terjadi dengan calon presidennya, Bapak SBY, dan calon wakil presidennya, Bapak Jusuf Kalla. Beliau berdua memenangkan pemilihan demokratis pertama itu tersebut di tahun 2004 itu. Pada pemilihan selanjutnya di tahun 2019, walaupun sebenarnya masih berstatus wakil presiden dan masih Ketua Umum Golkar, namun SBY tidak secara gamblang menentukan siapa yang dikehendaki untuk menjadi wapresnya pada pemilu di tahun 2009 itu.
Pilihan SBY ternyata lain, maka Jusuf Kalla pun mencalonkan diri sebagai capres RI bersama cawapresnya, Wiranto. Walaupun pada pemilu kali itu beliau tidak menang dan hanya berada di urutan ketiga, setelah SBY dan Megawati, beliau telah dikenal sebagai tokoh nasional yang tegas, gesit, dan mampu menyelesaikan permasalahan-permasalahan rumit bangsa. Setelah tidak menjabat sebagai pejabat publik beliau menjabat beberapa jabatan penting di non pemerintahan, termasuk sebagai Ketua Umum Dewan Masjid dan juga Ketua Umum Palang Merah Indonesia.
Di tahun 2013 lalu, saya berkesempatan dipertemukan oleh Allah dengan beliau pada dua kesempatan. Satu di saat diundang menjadi khatib di masjid besar yang beliau ketuai, Al-Markaz, dan di penghujung tahun 2013 lalu di saat menghadiri acara diaspora di Jakarta diundang menjadi pembicara Halal bihalal bersamaan dengan pertemuan Saudagar Bugis-Makassar, di Makassar.
Di kedua kesempatan itu, saya banyak belajar dan menggali dari dekat sosok Jusuf Kalla sebagai berikut:
Satu, sederhana dalam kata dan sikap. Kesederhanaan dalam berkata itu ternyata menjadi wujud kehidupan pak Jusuf Kalla yang cukup sederhana. Mungkin sering kita dengarkan sepatunya yang JK Collection, tapi itu sisi kecil dari kehidupannya yang memang sederhana. Tidak mengada-ngada dan dibesar-besarkan. Masih ingat ketika beliau mengajak berangkat bersama dari Makassar ke Jakarta setelah acara Halal Bihalal tahun lalu. Dalam perjalanan ke airport beliau sempat singgah ke rumahnya sehingga secara sepintas saya melihat rumah beliau. Rumah itu sederhana. Artinya, tidak saya bayangkan rumah seorang pebisnis kaya dan mantan wakil presiden. Tapi itulah kehidupan beliau.
Ketika tiba di airport Makassar, walaupun semua orang berebut berjabat tangan, beliau tidak masuk ke ruang tunggu VIP. Tapi justru mengajak kami saat itu ke sebuah restoran sambil menunggu masa terbang dengan menikmati Coto Mangkasara.
Kesederhanaan ini juga terefleksi dalam berbagai aksi beliau selama menjabat sebagai pejabat publik. Penyederhanaan masalah yang sebenarnya rumit dan dan krusial. Mungkin yang paling nyata adalah upaya perdamaian yanhg beliau komandoi di Aceh. Dengan gaya bahasa sederhana itu beliau melakukan aksi diplomasi yang menundukkan kepala yang keras dari para pejuang GAM. Dan akhirnya semua merasa berhasil (win-win solution) dan terjadilah perdamaian itu.
Dua, beliau itu tanggap, cekatan dan tegas. Jika anda bercakap-cakap dengan pak JK maka mungkin saja anda akan memiliki persepsi bahwa beliau itu tidak terlalu berpikir dalam. Karena memang karakter birokrasi yang rumit itu bukan karakter beliau.
Beberapa karakter tanggap, cekatan dan tegas itu terasa ketika beliau menjadi capres, menurut orang dalam, menjadikan presiden SBY kurang sreg. Bahkan ada istilah beberapa langkah yang beliau lakukan, dilaporkan setelah hal itu tuntas. Yang pada akhirnya, sudah pasti akan dirasakan oleh sang presiden sebagai "melangkahi kebijakan".
Ada satu cerita yang beliau pernah sampaikan adalah ketika suatu saat pulang dari Jakarta. Di saat tiba di Makassar, beliau kemacetan dan tiba-tiba saja ingin mencari solusi dari kemacetan tersebut. Beliau saat itu juga menelpon Walikota Makassar, Arifin Ilham, dan seorang insinyur yang dia kenal. Beliau mengajak sang Walikota dan insinyur itu untuk melihat penyebab-penyebab kemacetan. Dalam pencarian itu didapatkan bahwa memang jalan menuju ke dan dari airport Sultan Hasanuddin harus diperbaiki. Maka jalan tol dari aiport ke Makasar berubah total dan cukup terasa nyaman.
Tiga, berbicara dari dari hati. Sebelum pak JK dicalonkan akan mendampingi JKW, banyak teman-teman Muslim memuji kelihaian dan kehandalan beliau dalam berbicara yang sederhana tapi tepat sasaran. Satu di antara banyak contoh yang bisa diungkapkan adalah ketika diundang menjadi pembicara di sebuah gereja dan ditanya: apakah mungkin non Muslim menjadi Presiden RI?
Beliau tanpa berpikir penjang memberikan jawaban yang sederhana, singkat tapi memang keluar dari hati nuraninya. Beliau kira-kira menjawab: "Secara konstitusi memang tidak ada larangan. Dan dalam dunia demokrasi itu boleh-boleh saja karena pilihan rakyat. Tapi nampaknya masih tidak mungkin Indonesia ini dengan penduduk hampir 90% Muslimnya akan memilih seseorang yang non Muslim. Di Amerika saja, lebih 300 tahun baru menerima kehadiran presiden berkulit hitam".
Saya juga pernah melihat Youtube beliau di mana pimpinan Laskar Kristen di Poso mengagumi beliau karena ketika mempertemukan kedua laskar: Islam dan Kristen, mereka masih saja bersikukuh saling menyerang. Maka oleh pak Jusuf ditawarkan tiga pilihan: 1. Berdamai, 2.Berperang hingga salah satunya habis, 3. Pemerintah mengirim tentara untuk memerangi mereka. Dan pada akhirnya mereka memilih pilihan pertama.
Suatu ketika di saat bertemu beliau menceritakan bahwa masih ada saja orang-orang Islam yang meminta agar libur akhir pekan dipindahkan ke salah satunya hari Jumat. Beliau waktu itu menjawab juga dari hati bahwa "tidakkah kita mengambil positifnya? Kalau liburan itu Jumatan maka boleh jadi banyak masyarakat memilih piknik ketimbang ibadah. Sebaliknya kalau mereka memilih untuk beribadah maka jadwal piknik dengan keluarga terganggu. Sementara kalau Jumat hari kerja maka sudah pasti mereka Jumatan, karena di semua tempat bahkan perkantoran sudah ada masjid-mesjid. Mendengar itu, saya terpikir sederhana pemikiran beliau tapi memang keluar dari hati nurani yang dalam.
Lima, beragama dengan aksi. Dalam dunia kehidupan beragama saat ini seringkali ekpresi agama kita ada dalam slogan-slogan. Islam itu indah dalam kata dan karya. Tapi kadang kata-kata yang keluar dari mulut atau terekspresi dengan jari jemari kita sangat kotor. Keindahan Islam dalam karya tidak nampak sehingga karya yang buruk atas nama Islam itu ikut mempeburuk wajah Islam di mata orang lain.
Di sinilah saya melihat keindahan beragama yang ada pak Jusuf Kalla. Tanpa banyak slogan dan retorika, beliau berbuat banyak untuk agama ini. Dalam kehidupan keluarganya, masih ingat di tahun 2013 lalu, saya berkunjung ke kediaman beliau ternyata ada pengajian ibu-ibu yang di sisi oleh seseorang yang suaranya tidak asing kepada saya, yaitu Ustad Najamuddin, yang pernah ke New York.
Ketika saya di Makassar, guru saya di pondok dahulu, Ustad Mansur Salim, juga seringkali mengisi pengajian di rumah beliau.
Tapi yang terpenting, kembali kepada tanah yang beliau miliki dekat pondok pesantren Gombara, ternyata beliau wakafkan untuk membangun pesantren putri Muhammadiyah, Khadijaah. Karena memang walau ayah beliau adalah tokoh NU, ternyata ibu beliau adalah aktifis Aisyiyah di Sul-Sel.
Enam, memiliki visi nasionalisme dan globalisme yang imbang. Perlu disadari bahwa globalisasi dunia kita tidak mungkin dielakkan. Hanya ada dua pilihan: menjadi pemain atau terpaksa menjadi korban globalisasi dunia yang dahsyat dan bergerak cepat.
Saya bisa memberikan banyak contoh visi pak JK dalam hal keseimbangan antara semangat nasionalisme dan globalisasi yang terjadi. Tapi mungkin yang ringan-ringan saja. Di saat saya diundang memberikan ceramah Halal Bihalal tahun lalu, pak JK sebagai tokoh PSBM (Persatuan Saudagar Bugis Makassar) memberikan sambutan pembukaan. Dalam sambutan itu beliau memaparkan bahwa dalam beberapa tahun lagi Indonesia akan menjadi bagian dari ASEAN Family. Yaitu membuka diri terhadap negara dan bangsa-bangsa se-Asia Tenggara. Pemaparan beliau jelas menghendaki Indonesia yang besar, hebat, dan memiliki daya saing, dalam berbagai bidang, termasuk di bidang perekonomian.
Setelah acara itu, beliau mengajak kami ke tower JK seperti yang saya sampaikan tadi. Di sana kami berdua naik ke lantai tertinggi gedung itu dan beliau kira-kira menyampaikan begini: "Syamsi, di sini ini (maksudnya Makassar) hanya ada tiga gedung tinggi; Ini (maksudnya JK Tower), Fajar dan Bosowa. Tapi saya tidak benarkan kekuatan asing menguasai kita, minimal di sini (Makassar)".
Kedua rangkaian cerita di atas menunjukkan kepada saya bahwa beliau memiliki jiwa nasionalisme yang sangat besar, tanpa melupakan bahwa dunia global saat ini menghendaki persiangan dan kemampuan membangun kerjasama internasional yang harmmoni. Pertautan keduanya ini merupakan karakter visi kepemimpinan yang diperlukan di abad 21 saat ini.
Tujuh, nilai kekeluargaan yang tinggi. Di hari saya mendapat kesempatan bersama beliau terbang dari Makassar ke Jakarta, beliau rupanya rencananya dijadwalkan menemani isteri beliau untuk meresmikan masjid di Pondok pesantren Aisyiyah "Khadijah" tadi. Ternyata karena keliling dulu ke kantor beliau bersama saya, shalat Zuhur, maka beliau terlambat.
Di situlah saya bisa melihat bagaimana beliau berkomunikasi dan berkoordinasi dengan isteri. Sambil menikmati coto mangksara, seperti yang disebutkan terdahulu, beliau menunggu dengan sabar kedatangan sang isteri. Setelah tiba, sang isteri pun rupanya sudah lapar sehingga beliau harus sabar lagi menunggu isteri tersayang dan beberapa teman lainnya untuk bersantap siang.
Dalam perjalanan dari Makassar ke Jakarta selalu saja ada canda dan tawa di antara beliau berdua. Atau misalnya beliau perlu makanan, maka sang isteri tidak canggung-canggung mencoba makanan itu terlebih dahulu untuk memastikan apakah itu sesuai selera beliau atau tidak.
Poin terakhir ini tidak bermaksud menyinggung siapa-siapa. Memang murni ingin menyampaikan bahwa terkadang cerminan keluarga itu menjadi cerminan kehidupan sosial pada level yang kebih luas. Kedamaian dan ketentraman dalam rumah tangga terkadang menjadi “signal” kedamaian hati dalam menyikapi kehidupan sosial yang lebih luas lagi.
Wallahu a’lam! (skj)