Kamis, Komisi II DPR bawa hasil revisi UU Pilkada ke paripurna
Saat ini pembahasan revisi UU Pilkada sudah masuk tingkat I.
Komisi II DPR masih dalam tahap merampungkan revisi UU Pilkada. Mereka menargetkan harus selesai besok, Selasa (31/5) bersamaan dengan pandangan akhir mini fraksi. Sebab Kamis (2/6) akan dibawa ke rapat paripurna.
"Selasa penyampaian pendapat akhir fraksi-fraksi, kami tanggal 2 juni akan diparipurnakan. Saya optimis tahapan penyelenggaraan pemilu masih bisa terlaksana sesuai rencana dan tidak terganggu," kata anggota Panja RUU Pilkada Hetifa Sjaifudian saat dihubungi, Senin (30/5).
Ditemui secara terpisah, Ketua Komisi II DPR Rambe Kamarulzaman menjelaskan bahwa saat ini pembahasan revisi UU Pilkada sudah masuk tingkat I.
"Hari ini, Panja menggelar rapat terakhir dengan Menkum HAM untuk membahas sejumlah poin penting yang belum disepakati sebelumnya," ungkap Rambe.
Rambe menjelaskan bahwa sejumlah poin penting yang belum ada kesepakatan dengan pemerintah adalah terkait anggota DPR, DPD dan DPRD harus mundur untuk bertarung di Pilkada. Pemerintah, kata dia, dalam rapat akhir pekan lalu menyatakan akan berkonsultasi dulu dengan Presiden untuk membicarakan poin tersebut.
Di satu sisi, kata Rambe, mayoritas fraksi di DPR menginginkan anggota legislatif tak perlu mundur jika maju di Pilkada. Sebabnya, lanjut dia, petahana juga tidak mundur saat maju di Pilkada.
"Kita ingin semua warga negara tak dibatasi maju di Pilkada. Kalau petahana hanya perlu cuti, legislatif juga sebaiknya demikian," tuturnya.
Dengan segala risikonya, kata Rambe, revisi UU Pilkada tetap harus dibawa ke paripurna pada 1 Juni mendatang. Termasuk opsi jika legislatif harus mundur jika maju di Pilkada.
Menurut putusan MK Nomor 33/PUU-XIII/2015, anggota legislatif harus mengundurkan diri setelah ditetapkan sebagai pasangan calon. Namun menurut dia, dalam pelaksanaannya harus ada faktor keadilan dengan petahana yang maju dalam Pilkada.
Rambe menjelaskan, anggota DPR sama seperti petahana yaitu elected official. Dirinya juga mempertanyakan kenapa calon petahana ketika maju di daerah lain harus mundur namun ketika di daerahnya sendiri tidak perlu mundur.
"Untuk menghindari politik uang maka telah disepakati bahwa dalam kampanye Pilkada diperkenankan dilaksanakan oleh pasangan calon. Hal itu menurut dia terkait kampanye perseorangan dan kampanye tatap muka, serta KPU akan mengatur mekanismenya," ujarnya.
Aturan itu, kata politisi Golkar ini, agar kampanye perseorangan tidak dimasukkan sebagai politik uang karena tidak mempengaruhi seseorang untuk tingkat keterpilihannya. Namun, menurut dia, harus ada batasan dalam mengeluarkan dana kampanye tersebut.
Rambe menambahkan, apabila dalam proses verifikasi diketahui KTP yang digunakan adalah palsu atau tidak jelas sumbernya maka akan didiskualifikasi. Menurutnya, KTP yang dikumpulkan oleh calon independen nantinya akan diverifikasi di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil untuk mengecek keasliannya.
"Setelah diketahui KTP yang digunakan asli, selanjutnya akan diumumkan di setiap kelurahan masing-masing. Tujuannya agar setiap masyarakat bisa mengecek," ucapnya.
Saat ini Komisi II dan pemerintah masih memikirkan batasan yang pas untuk menentukan didiskualifikasinya calon independen. Batasan jumlah KTP yang tidak terverifikasi itu masih terus dibahas di Panja. Sementara ambang batas calon independen bisa maju dalam Pilkada tidak berubah yaitu 6,5-10 persen dari Daftar Pemilih Tetap. Hal itu, menurut dia, seharusnya sudah tuntas dari awal dan untuk dasar DPT adalah Nomor Induk Kependudukan (NIK).