Komisi I minta pemerintah waspadai Pengadilan Rakyat di Den Haag
Mahfudz menilai agenda itu akan menjadi pintu masuk bagi gugatan hukum internasional kasus pelanggaran HAM.
Ketua Komisi I DPR, Mahfudz Siddiq mengatakan Indonesia harus mewaspadai agenda di balik penyelenggaraan Pengadilan Rakyat pada 10-13 November 2015 di Den Haag, Belanda.
"Rencana sejumlah aktivis bersama elemen keluarga eks-PKI menggelar pengadilan rakyat atas peristiwa 1965 harus dicermati dan diwaspadai pemerintah dan semua pihak," katanya di Jakarta, Jumat (13/11).
Mahfudz menilai agenda itu akan menjadi pintu masuk bagi gugatan hukum internasional terhadap dugaan kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia. Kasus-kasus itu menurut dia adalah bagian sejarah masa lalu yang semestinya sudah ditutup rapat, jika Indonesia ingin melangkah mantap ke depan.
"Bisa dipastikan agenda ini jadi pintu masuk untuk menciptakan destabilitas politik dan mendekonstruksi institusi TNI," ujarnya.
Politikus PKS itu menilai semua pihak semestinya punya sikap pandang sama tentang sejarah Indonesia dan juga terhadap reformasi TNI yang sudah berjalan baik. Menurut dia, ketika kekuatan asing sudah mampu mengontrol elemen-elemen masyarakat sipil dan masyarakat politik juga semakin terdelegitimasi di era demokrasi liberal, serta elemen masyarakat ekonomi makin terkooptasi oleh sistem kapitalis dunia, maka yang tersisa adalah institusi TNI.
"Rencana pengadilan rakyat internasional harus dibaca dalam alur skenario ini," katanya.
Dia mengatakan tidak habis pikir keterlibatan sejumlah pengacara Indonesia yang juga para tokoh masyarakat sipil dalam agenda ini. Menurut dia, Pemerintahan Jokowi pun jangan pernah bermain api dalam isu kasus 1965 karena itu hanya pembuka tutup botol saja.
Sebelumnya, pengadilan rakyat atau International People's Tribunal kejahatan kemanusiaan di Indonesia pada 1965 akan digelar di Den Haag, Belanda dari Selasa-Jumat (10-13 November 2015).
Anggota panitia pengadilan rakyat, Reza Muharam pengadilan itu digelar untuk membuktikan terjadinya genosida selama periode 1965 hingga 1966 yang selama ini tidak pernah diakui negara.
Menurut dia, persidangan akan diikuti tujuh hakim berlatar kalangan akademisi, pegiat hak asasi manusia, dan praktisi hukum, termasuk mantan hakim mahkamah kriminal internasional untuk Yugoslavia.
Para hakim itu menurut dia, akan menguji alat bukti yang memuat keterangan 16 saksi peristiwa 1965, sekaligus data-data yang disusun sejumlah peneliti Indonesia maupun mancanegara.
Terdapat sembilan dakwaan yang akan diuji panel hakim dalam sidang tersebut antara lain pembunuhan massal, penghilangan paksa, penyiksaan, dan kekerasan seksual pascameletusnya peristiwa 30 September 1965.
Reza mengatakan pengadilan itu tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat, dan yang digugat adalah tanggung jawab negara serta tidak ada gugatan terhadap individu maupun organisasi tertentu.